Keputusan

1042 Words
Zaman sekarang sedang tren istilah pacaran di kalangan darah muda darahnya para remaja. Aku tahu apa artinya dan paham betul bagaimana pengaplikasiannya. Hanya saja… aku tidak berminat sama sekali untuk mengaplikasikannya. Dua orang sahabatku: Baek dan Akio. Masing-masing dari mereka memiliki pacar. Aku juga mengenal pacar mereka sekalipun berbeda sekolah. Mereka juga sering mendorongku untuk berpacaran. Namun, aku tegas menolak. Belum waktunya. Begitulah jawabanku setiap mereka menanyakan perihal pacaran. Aku khawatir pada pola darah muda masa kini di mana mereka mengalami pendewasaan dini. Umur sekita ini waktunya belajar. Baru juga empat belas tahun. Sudah memanggil mimi pipi dengan pacar. Itu benar-benar asing dalam kehidupanku. Aku juga tidak mau mengenalnya terlalu dekat. Banyak orang bilang aku seperti orang jaman dulu. Kampungan. Katrok! Tapi, aku akan tetap berpegang teguh dengan kepercayaan ini sampai kapan pun. Termasuk keteguhan tidak bicara dalam bahasa alay. Itu juga. “Terus gimana kawinnya?” tanya Baek, “Ta’arufan gitu?” Kalau dalam situasi terdesak di mana aku harus bicara seperti ini. Baek akan memintaku menjawab dengan menggunakan bahasa isyarat. Apa dia mengerti bahasa isyarat? Tentunya tidak. Tapi, Akio mengerti. “Dia… mau… dijodohin… aja,” terang Akio perlahan. “Njir! Abad 21 ini, men. Mau dijodohin? Mending dengan kejeniusan lo itulo bikin mesin waktu. Terus balik ke jaman Datuk Maringgi,” usul Baek. Boleh juga. “Udahlah, Baek. Ini kan hidup dia. Jangan menghakimi dengan pola pikir lo sendiri. Pacaran bisa jadi sama kayak konsep perjodohan dalam kepala lo di kepala dia,” bela Akio. Lagi-lagi… kamu memang paling mengerti aku, Akio. Andai namamu Akiko. Kukawini kau. “Tetep aja,” kata Baek bersikukuh. “Ya udah, kita mau nonton apa, nih?” tanyanya gundah gulana. “Pilihan film-nya ada tiga genre. Aksi, fantasi, sama sains fiksi. Gue sih sukanya fantasi. Dia pasti sains fiksi. Kalo lo jelas aksi,” respon Akio. “Mending kita gambreng,” putus Baek. Gambreng? Metode jaman kapan itu? Cuih! @ @ @ Kami bertiga di dalam bioskop film romance. Seisi bioskop sesenggukan berjamaah menghayati adegan sedih pemeran utama wanita. Saat menghadapi kematian pemeran utama pria. Klise sekali. Tapi, juga sangat sukses mendapatkan hati penonton. Di sisi kananku: Baek yang sangar sampai tak tahan meremas-remas popcorn. Di sisi kiriku: Akio yang kul sedang krisis tisu. Di sisi tengah: alias diriku sendiri… Sudahlah. Setengah jam setelah adegan mengharu biru. Film selesai dengan epik. Penonton menghambur keluar dari cengkraman dingin ruang bioskop. “Gile, itu film tersedih yang pernah gue tonton,” aku Baek. Aku dan Akio: dia ngomong gitu juga kemarin ( ̄ω ̄) . “Pengen banget gue punya cewek kayak gitu. Itu adalah cewek idaman gue,” akunya lagi. Aku dan Akio: dia komentar gitu juga kemarin ( ̄ω ̄). Dan asal kalian tahu. Pacar Baek sama sekali tidak mirip dengan semua “cewek idaman”-nya. Mungkin kalian penasaran kenapa kami jadi nonton film romance. Semua ada urutan ceritanya. Jadi… @ @ @ “Hom pim pa alaiyum gambreng!” Aku kertas. Baek batu. Akio gunting. “Hom pim pa alaiyum gambreng!” Aku gunting. Baek kertas. Akio batu. “Hom pim pa alaiyum gambreng!” Aku batu. Baek gunting. Akio kertas. “Eh, lu pada yang bener, dong!” emosi Baek sambil menempelengi kepala kami satu-satu. “Bro, mungkin ini isyarat dari Yang Kuasa,” kata Akio dramaking. “Alaah, elo juga mulai aneh-aneh aja,” tempeleng Baek lagi. “Nggak. Gue pernah denger. Apa pun yang dilakukan lalu berimbas pada meruginya satu pihak. Dan keuntungan di pihak yang lain disebut judi. Judi itu haram, bradar,” kata Akio. “Nggak usah khotbah lo! Hari Sabtu ini,” tempeleng Baek lagi ke kepala Akio. “Bagaimana menurutmu, saudaraku?” tanya Akio. Aku mengangguk. Damai sekali jiwa ini mendengar seseorang berbicara dalam bahasa yang baik. “Aaah, cukimay lo semua. Terus mau apa kalau gitu? Mau apa?” pekik Baek. Aku mengatakan saranku pada Akio. Ia langsung mengangguk setuju. “Mending kita ke mall sebelah.” Mungkin ini yang orang sebut bromance. @ @ @ Kami sepakat makan di foodcourt. Baek yang penggemar msg memesan soto ayam plus Royco. Akio yang penggemar bau bensin memesan nasi goreng plus wadah kecil. Sementara aku yang normal-normal saja: es campur plus Bon Cabe level 50. Eksperimen rasa, brow… “Lo liat film tadi. Manusia menemukan cinta dengan caranya sendiri. Lo nggak boleh sampai membiarkan diri terjatuh dalam kesalahan karena nggak peka masalah perasaan,” nasihat Baek. Super sekali. “Dia bilang… belum ada perempuan yang… menarik buatnya,” terang Akio. “Emang yang menarik kayak gimana?” tanya Baek. “Kayak nggak tau gue aja,” terang Akio. “Lo ngeharepin cewek sepinter Kio dan secantik Sabrina? Nonsense! Di dunia nyata cewek pinter itu tampang profesor semua. Lo harus membuka hati. Cewek itu yang penting bisa mengisi kekosongan dalam hati,” nasihat Baek. “Gue takut,” kata Akio lagi menyuarakan bahasa isyaratku, “Terkadang manusia tidak membutuhkan alasan untuk sebuah ketakutan. Jadi, jangan tanyakan apa yang gue takutkan. Tidak semua manusia harus sama, ‘kan? Tolong biarkan gue bebas memilih kebahagiaan gue sendiri. Walau tidak seperti kalian. Maupun seperti orang kebanyakan.” “Gue bukannya mengekang. Tapi, lo itu temen gue. Ngeri gue bayangin lo umur tiga puluhan masih dalam status: mengejar PhD,” lanjut Baek. “Ya itu terserah gue. Mau sampai tua masih mikirin kuliah juga suka-suka gue. Pokoknya kepentingan kita berbeda,” translate Akio pelan. Bertolak belakang denganku yang membahasakannya secepat mungkin. Aku jadi tidak berselera. Kutinggalkan mereka tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Akio berusaha menahanku. Namun, aku tidak bisa lagi terlalu lama bersama kalian. Mungkin persahabatan kita dua tahun lebih terakhir. Akan berakhir lebih cepat dari yang seharusnya. “Lu, sih. Ada-ada aja pake ngomong gitu segala. Udah tau dia cengeng,” tegur Akio. “Mau dibiarin?” balas Baek. “Dulu kan elo sendiri yang menteorikan. Jangan lawan air sama air. Basah.” “Tapi, jangan lawan air sama api juga. Jadi air panas. Air sama tanah. Jadi becek. Air sama udara. Jadi masuk angin,” balas Akio. “Nah, lo ngerti sendiri. Udah, ah. Gue duluan juga,” pamit Baek. Akio pun tertinggal sendiri. Makanannya dan makanan Baek sudah habis. Tapi, es campur kenapa masih utuh. “Kenapa ada merah-merahnya? Mubadzir itu dosa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD