Krisna

1372 Words
Lawang, 14 Juli 2011 Sembari meminum segelas s**u sapi buatan neneknya, Jingga menatap layar ponselnya. Sejak kemarin Biru belum juga membalas pesannya, sehingga membuat pikirannya menjadi was-was. Mungkin dia sibuk. Jingga menekankan pada hatinya. Namun rasa trauma karena Biru pernah mengabaikan pesannya sampai bertahun-tahun, kini kembali menderanya. Kalau dipikir-pikir memang aneh Biru menghubunginya lagi, setelah sembilan tahun berlalu, saat Jingga sudah kehilangan harapan untuk berjumpa pria itu lagi. Jingga menatap kalender yang dipajang di dinding oleh neneknya. Kurang lebih satu bulan lagi janjinya dan teman-temannya sepuluh tahun yang lalu itu akan tiba. Apa karena itu Biru menghubunginya? Senyuman Jingga mengembang sedikit. Dia tak perlu mengkhawatirkan hal-hal remeh. Bukankah mereka sudah berjanji akan bertemu lagi dua belas Agustus mendatang. Biru pasti menepati janjinya. Setelah menghabiskan sarapan dan mencuci piring, Jingga berpamitan dengan neneknya. Tempat kerja yang cukup dekat dengan rumah membuat cewek itu memutuskan untuk menggunakan kembali sepeda pancal yang dulu selalu dipakainya berangkat sekolah. Sembari berolahraga, Jingga dapat mengurangi sumbangsihnya terhadap emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan global warming makin memburuk beberapa tahun terakhir ini. Sepedah pancalnya masih dalam kondisi baik meski sudah lama tidak digunakan. Hanya perlu diberi oli dan dipompa bannya, benda itu sudah berfungsi lagi. Jingga mengayuh sepedanya menuju kantor sembari bersiul-siul riang. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambut bobnya mengingatkannya pada kenangan semasa SMA. Dua belas Agustus nanti, dia pasti bisa bertemu kembali dengan teman-temannya. Setelah memakir sepedanya di halaman parkir kantor, Jingga melangkah cepat menuju bagian personalia. Dia menyapa Pak Mahmud, direktur personalia yang telah membantu mengurus mutasinya beberapa bulan yang lalu. Pria itu juga baru datang dan tampak sedang membaca-baca beberapa berkas di ruangannya. "Selamat pagi, Pak," sapa Jingga sembari mengetuk pintu ruangan direktur personalia. Pah Mahmud yang seumuran dengan ayahnya tersenyum menyambut kehadirannya. "Oh, Mbak Jingga, ya?" tebak Pria itu. Jingga mengangguk. Dia merasa senang pria itu masih mengenali dirinya meski mereka hanya bertemu beberapa kali. "Selamat datang, bagaimana sudah siap bekerja?" tanya Pak Mahmud. "Siap nggak siap harus siap, kan, Pak," kata Jingga. Pak Mahmud tertawa. Baiklah, mari ikut saya berkeliling sebentar untuk orientasi. Pak Mahmud membawa Jingga berkeliling perusahaan sembari memperkenalkannya sebagai anggota baru divisi QC* yang dimutasikan dari Jakarta. Jingga merasa senang berkenalan dengan beberapa rekan kerjanya yang cukup ramah. Tempat terakhir yang mereka kunjungi siang itu adalah IPAL* yang berada di paling pojok belakang dekat sungai. "Ini Mbak Jingga, staf QC yang baru pindah dari Jakarta," kata Pak Mahmud untuk yang hampir ke lima puluh kalinya dalam hari itu. Pak Indra sang kepala divisi IPAL mengangguk ramah pada Jingga. "Selamat datang, Mbak Jingga, semoga betah bekerja di sini." "Terima kasih, mohon bimbingan dan bantuannya, Pak." Jingga turut mengangguk ramah. Jingga menatap sekeliling mengamati wajah para staf IPAL. Rata-rata usia karyawan di divisi IPAL itu masih tampak muda, hanya beberapa orang yang sudah sepuh. Salah pria anggota staf IPAL yang berdiri di belakang Pak Indra menatapnya. Mata mereka bertemu sehingga membuat Jingga jadi merasa agak canggung. Untunglah Pak Mahmud segera mengajaknya kembali ke ruang divisi QC. Pak Mahmud lalu menyerahkan Jingga pada Bu Riska yang menjadi kepala divisi QC. Wanita berusia awal empat puluh tahun yang ramah itu memberikan pengarahan pada Jingga tetang job deskripsi dan job spesifikasinya sebagai staf QC. "Aku rasa nggak ada yang beda dengan di kantor pusat, Jingga," kata Bu Riska sembari merapikan cepol pada rambutnya yang sedikit berantakan. "Setiap pagi tugasmu berkeliling dan memastikan prosedur pengolahan bahan sudah sesuai checklist SOP, setelah itu siangnya ke laboratorium untuk memastikan dokumentasi pengujian sampel, lalu sorenya pendokumentasian ke bagian pengemasan. Satu hal yang berbeda, setiap hari Jumat pagi aku biasa mengumpulkan seluruh staf untuk rapat intern kita. Itu saja yang perlu kamu tahu, selebihnya sambil jalan saja." Jingga mengangguk tanda mengerti. "Terima kasih dan mohon bimbingannya, Bu." Bu Riska tersenyum kecil. "Kamu unik juga, semua orang di sini berlomba-lomba mendapatkan jabatan di kantor pusat. Kamu malah minta dimutasikan ke desa ini." "Saya ingin merawat nenek saya, beliau sudah berusia tujuh puluh tahuh dan hidup sendiri," kata Jingga. "Lagi pula saya senang berada di sini, saya serasa kembali ke jaman saat saya masih muda dulu." Bu Riska tertawa. "Memangnya kamu itu umur berapa? Gaya ngomongmu kok kayak sudah uzur begitu. BTW, apa kamu masih jomblo?" Jingga tertawa garing sehingga Bu Riska dengan cepat menyimpulkan meski Jingga belum menjawab pertanyaannya. "Kamu tenang saja, di sini banyak yang masih muda dan ganteng, terutama di divisi IPAL. Apa kamu sudah ke sana tadi?" goda Bu Riska. "Ya, di sana memang banyak yang ganteng," aku Jingga jujur. "The Most High Quality jomblo di sini dari Divisi IPAL, namanya Krisna. Nanti aku kenalkan dia padamu," tantang Bu Riska. "Nggak usah, Bu," tolak Jingga sambil tertawa dan mengibas-ngibaskan tangannya. Jingga sedikit terkejut karena nama itu sama dengan nama salah satu sahabatnya semasa SMA. Namun, Jingga segera sadar bahwa nama itu cukup pasaran. "Kita ini dan Divisi QC, bukan hanya mempertahankan kualitas produksi saja yang penting, kualitas cowok ganteng di sini juga perlu dinilai," seloroh Bu Riska sambil mengedipkan sebelah matanya. Tawa Jingga kembali membahana sepertinya dia akan betah berada di sini dengan dipandu atasannya yang selebor itu. *** QC : Quality Control IPAL : Instalasi Pengolahan Air Limbah Tanggal 3 Agustus 2000 Jingga mengayuh sepedahnya cepat-cepat pagi itu. Hari ini hari senin dan dia sudah terlambat upacara. Begitu memarkir sepedanya di halaman sekolah, pagar sekolahnya sudah ditutup. Jingga mengerang frustrasi lalu berjongkok di depan pagar seperti orang hilang. Gara-gara semalam bergadang membaca Detective Conan sekarang dia kena imbasnya. Sambil merenungi nasib sialnya, Jingga melihat seorang anak laki-laki melangkah mendekati pintu gerbang sekolah yang sudah tertutup. Rambutnya agak gondrong dan warnanya agak kemerah-merahan. Dia melangkah dengan tenang, tidak tampak seperi anak yang datang terlambat. Ketika melihat pagar sudah ditutup dia berdecak-decak. "Sudah ditutup ya, payah," degusnya. Pemuda itu menatap Jingga sejenak dengan tatapan matanya yang garang. "Hai, telat juga ya?" sapa Jingga ragu-ragu. Pemuda itu tak menjawab sapaan Jingga meskipun matanya bertemu dengan mata Jingga. Dia melengos lalu berjalan mundur beberapa langkah. Dia mengambil ancang-ancang lalu berlari dan melompati tembok. Satu kali lompatan saja berhasil membuatnya bertengger di atas tembok. Jingga terpana melihat aksi pemuda tersebut. "Cu-curang! Aku juga mau masuk!" protes Jingga. Masalahnya, kakinya lebih pendek dari cowok itu, jadi mustahil rasanya dia bisa melompati pagar tersebut. Pemuda itu mengawasi Jingga sejenak lalu mengulurkan tangannya pada Jingga. Jingga tertegun, tak menyangka pemuda itu akan menawarkan bantuan padanya. "Ayo cepat, sebelum aku berubah pikiran," kata si pemuda dengan t**i lalat di bawah mata kiri itu, karena Jingga masih bergeming di tempatnya. Jingga tersenyum kecil lalu meraih tangan pemuda itu. *** Lawang, 14 Juli 2011 Jingga tengah menatap makan siang untuk karyawan Pabrik yang dihidangkan secara prasmanan di kantin. Mata Jingga menatap sop jamur tiram yang menjadi salah satu menu favoritnya. Perutnya seketika terasa sangat lapar. Jingga mengambil tatakan makan dari seng untuk mengambil nasi dan lauk. Saat itu, kebetulan ada seorang pria berseragam IPAL yang juga hendak mengambil tatakan tersebut. Tangannya bersentuhan dengan tangan Jingga sehingga Jingga terkejut. Jingga tersenyum canggung pada pria itu lalu mempersilakannya mengambil makan duluan. "Silakan duluan," kata Jingga. Bukannya segera mengambil makanan, pria itu malah terdiam. Dia mengawasi Jingga dari atas sampai bahwa sehingga membuat Jingga merasa risih. "Apa kamu pernah bersekolah di SMA X?" tanya pemuda itu. Jingga terpegun mendengar pertanyaan pria itu. Dia menatap pria itu baik-baik. Mata Jingga melebar saat mendapati t**i lalat di bawah mata kiri pria tersebut yang mengingatkannya pada seseorang. "Krisna?" tanya Jingga ragu-ragu. Pria itu menyunggingkan senyumnya. "Ternyata itu memang kamu. Sebenarnya aku sudah curiga dari tadi, tapi aku nggak yakin gara-gara penampilanmu berubah drastis. Apa kabar, Jingga?" Bibir Jingga mengembangkan senyuman. Dia hampir tak percaya pria yang ada di hadapannya saat ini sahabatnya semasa SMA dulu, yaitu Krisna. Krisna yang dikenalnya dulu bocah tengil yang hanya tahu berkelahi, tetapi pria yang ada di hadapannya ini adalah seorang karyawan yang tampak berdedikasi. "Krisna!" seru Jingga riang. "Ya, ampun! Bagaimana kamu bisa jadi gagah begini!" Jingga mengacak-acak rambut pomade Krisna sehingga cowok itu meronta-ronta. "Ya ampun! Lihat rambutmu yang dulu kurang gizi ini sekarang jadi keren begini!" Krisna mencekal tangan Jingga sambil mendengus. "Aku menata rambut ini empat puluh menit tahu!" protes Krisna kesal. Jingga malah terbahak. Hatinya berbunga-bunga, akhirnya setelah sekian lama harapannya terkabul. Dia akan berkumpul lagi dengan teman-temannya. Pertemuannya dengan Krisna hari ini adalah permulaannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD