Janji

1244 Words
Lawang, 12 Juli 2011 Ini Biru! Jingga menatap ponselnya dengan tak percaya. Dia tak menyangka setelah sembilan tahun lamanya tak bertemu, dia akan kembali berhubungan dengan pemuda itu. Jingga menjawab private message itu dengan segera. Jingga Anindhita : Ingat dong. Tanggal 12 bln dpan, kan? Btw, gimn kbrmu skrng? Kmu kerja di mna? Jingga merasakan debaran jantungnya meningkat. Dia serasa kembali pada masa sembilan tahun lalu, masa di mana dia sangat menantikan SMS dari Biru. Tak beberapa lama kemudian ponselnya bergetar. Samudra Biru : Aku kerja di tempat yang lebih baik darimu, haha. Jingga mendengus ketika membaca pesan itu. Biru tetap sombong seperti biasa. Jingga pun segera mengetikkan pesan balasan. Jingga Anindhita : Kalau gitu ayo kita ktemu, dan buktikan siapa yang lebih baik! Agak lama sekali jawaban dari Biru baru muncul sehingga membuat hati Jingga was-was. Dia takut Biru berhenti menjawab pesannya seperti dulu. Setelah Jingga selesai makan malam dengan neneknya, balasan dari Biru belum juga muncul. Ketika Jingga sedang mengeluarkan barang-barang dari dalam koper, balasan yang dinantikannya itu masuk. Samudra Biru : Sekarang aku nggak bisa, tapi tanggal dua belas Agustus nanti sesuai janji kita aku akan datang. Tolong bantu aku untuk mengumpulkan teman-teman. Jingga Anindhita : OK! Jingga terdiam sejenak setelah menuliskan jawaban pesan tersebut. Dia berpikir sebentar kemudian akhirnya mengetikkan sebuah pertanyaan pada Biru. Jingga Anindhita : Knpa kmu nggak balas SMS-ku 9 tahun lalu. Bukan karena pesan terakhir yang aku kirim, kan? Jingga menatap ponselnya dengan cemas. Dia sungguh ingin tahu apa yang menyebabkan Biru berhenti membalas pesannya. Namun di sisi lain dia juga takut jika alasan Biru adalah karena menghindari dirinya. Sebab dalam pesan terakhirnya sembilan tahun yang lalu, Jingga sempat menyatakan perasaannya pada pemuda itu. Samudra Biru : Pesan apa itu? aku nggak ingat. Ponselku hilang jadi aku kehilangan nomormu. Jingga tertegun saat membaca pesan jawaban dari Biru tersebut. Hatinya merasa sangat lega. Dia selalu berprasangka Biru tak mau menghubunginya lagi karena pesan terakhirnya itu. Syukurlah bukan itu alasannya. Jingga Anindhita : Bukan pesan yang penting kok, lupakan saja. Samudra Biru : Kalau begitu, sampai ketemu tanggal dua belas Agustus nanti. Jingga Anindhita : Oke. Jingga melompat senang ke atas ranjangnya sembari menciumi ponselnya. Hatinya benar-benar berbunga-bunga karena bisa berhubungan dengan Biru lagi. Malam itu, Jingga pun tak dapat tidur karena terus memikirkan Biru. Dia baru bisa terlelap setelah pukul dua belas lebih. Dia bermimpi bertemu lagi dengan teman-temannya dan membongkar kembali kapsul waktu mereka. *** Jingga mengubah acara saluran TV beberapa kali dengan remote di tangannya. Hari ini adalah hari minggu namun hampir tak ada acara televisi yang menarik. Jaman sekarang sungguh berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu. Awal tahun 2000-an, di hari minggu selalu bertebaran film kartun untuk anak-anak. Jingga ingat, dulu jam setengah tujuh pagi ada film kartun Let's and Go yang digemarinya dan teman-temannya. Para cowok-cowok sahabatnya itu bahkan membeli mobil Tamiya dan merakitnya sendiri karena demam film kartun tersebut, meskipun mereka sudah duduk di bangku SMA saat itu. Jingga yang saat itu masih tomboy juga belajar merakit mobil mini 4WD, tapi bukannya berhasil Jingga malah menghancurkannya. Akhirnya dia hanya menonton saja saat anak-anak kampung menggelar balapan mobil tersebut di lapangan depan balai desa. Jingga ingat, hampir seluruh pertandingan itu dimenangkan oleh Biru sehingga pemuda itu menjadi begitu congkak. Itu sungguh masa-masa yang menyenangkan bagi Jingga. Lelah dengan tayangan televisi yang tak bermanfaat, Jingga memutuskan untuk berjalan-jalan saja keliling kampung. Dia ingin mengunjungi rumah teman-temannya sembari melihat-lihat seberapa pesat perkembangan kampun dibanding dengan sepuluh tahun lalu. Setelah berpamitan pada neneknya, Jingga pun menyusuri sawah dengan sandal jepitnya menuju rumah Rosa yang paling dekat dengan rumahnya. Rumah itu tak terlalu banyak berubah. Hanya cat temboknya saja yang berbeda. Sepuluh tahun lalu rumah ini dicat warna pink, sedangkan kini dicat warna putih. Jingga memandang rumah itu dengan heran. Dulu rumah itu terkesan cerah dan ceria namun kini terkesan suram. Rupanya cat rumah itu berpengaruh besar terhadap suasana rumah. Jingga mengetuk pintu rumah Rosa tiga kali. Tak lama munculah seorang wanita separuh baya dengan rambut penuh uban yang mengenakan daster. Jingga mengenalinya sebagai ibu dari Rosa. "Selamat pagi, Budhe," sapa Jingga ramah. Wanita itu balas menyapa lalu mengerutkan keningnya bingung. Tampaknya dia sudah tak mengenali Jingga. "Mencari siapa, ya?" tanya wanita itu. "Saya Jingga, Budhe, temannya Rosa jaman SMA dulu," terang Jingga. Mata wanita itu tampak membelalak. Dia lalu tersenyum dan menatap Jingga takjub. "Nak Jingga? Ya ampun, kamu sudah sebesar ini! Kamu tambah cantik sekarang," puji wanita itu. Jingga hanya terkekeh kecil. "Rosanya ada, Budhe?" tanya Jingga. Ibu Rosa tertegun. Matanya yang tadinya berbinar berubah mendung, kesedihan terpampang jelas di matanya. "Anu ... Rosa...." "Assalamualaikum." Terdengar suara seorang pria dari arah kebun. Muncul seorang pria tua dengan baju lusuh penuh lumpur yang membawa cangkul di tangannya. Pria itu menatap Jingga dengan bingung. Jingga mengenalinya sebagai ayah dari Rosa. Jingga pun segera mengangguk dan menyapa pria tersebut. "Apa kabar, Pakdhe?" sapa Jingga. "Siapa ya?" tanya pria itu. "Ini Jingga, Pak, putranya Kapten Hariyanto teman sekolahnya Rosa," terang Ibu Rosa. Wajah pria itu bertambah muram. Dia meletakkan cangkulnya begitu saja di muka halaman lalu menyerobot masuk ke dalam rumah. "Suruh dia pulang saja, Buk." Jingga tertegun. Dia ingat sejak awal ayah Rosa memang galak. Ayah Rosa dulu tak menyukai penampilan Erwin dan Krisna yang mirip berandal sehingga melarang kedua pemuda itu bergaul dengan putrinya. Namun, baru kali ini Jingga diusir oleh Ayah Rosa. Ibu Rosa menunduk sembari mengigit bibirnya. Wanita itu tampak gugup dan bingung dengan apa yang harus disampaikannya pada Jingga. Ayah Rosa yang sudah duduk di sofa ruang tamu mengibas-ngibaskan bajunya yang penuh peluh. "Kenapa masih diam saja di situ? Cepat suruh dia pulang dan buatkan aku kopi!" titah Ayah Rosa galak. Ibu Rosa sampai terperanjat karenanya. "Ma-maaf, Nak Jingga, Rosa sekarang sudah nggak tinggal dengan kami," kata Ibu Rosa akhirnya. Jingga tercengung lalu bertanya. "Kenapa, Budhe?" Ibu Rosa tersenyum getir. "Banyak sekali hal yang terjadi, Nak." Wanita itu lantas menutup pintu. Jingga bergeming di depan pintu, dia tak mengerti dengan penjelasan Ibu Rosa tersebut. *** Jingga mengucapkan salam ketika memasuki rumah. Neneknya yang tengah beristirahat sembari menonton gosip di televisi tersenyum. "Kamu sudah pulang?" sapa Yangti ramah. Jingga tersenyum lalu duduk di samping neneknya. "Yangti, aku baru saja mampir ke rumah Rosa," kata Jingga. "Tapi malah diusir sama Pakdhe Mul, Budhe Mul bilang Rosa sudah nggak tinggal sama mereka, apa Yangti tahu kenapa?" tanya Jingga. Nenek Jingga terdiam sejenak lalu menatap langit-langit. "Banyak hal terjadi saat kamu tidak ada, Jingga. Setahu Yangti, Rosa memang sudah tidak tinggal dengan keluarganya sejak sembilan tahun lalu." "Kenapa?" kejar Jingga. "Yangti tidak tahu persisnya, hanya sekedar mendengarkan gosip saja. Rosa adalah sahabatmu. Ada baiknya kamu tanyakan sendiri padanya." Jingga mengerutkan keningnya. "Tapi bagaimana aku bisa menemuinya?" "Coba tanyakan pada teman-temanmu yang lain," usul Yangti. Jingga lalu teringat akan private message dari Biru. Biru pasti tahu alasan mengapa Rosa sampai diusir oleh orang tuanya. Jingga lalu meraih ponselnya dan menghubungi akun f******k Biru. Jingga Anindhita : Biru, aku baru main ke rmh Rosa, tpi malah diusir. T^T Apa Rosa sedang bertengkar dengan keluarganya. Apa kamu tahu kenapa? Jingga menghela napas sembari menunggu balasan dari Biru yang tak kunjung datang. Beberapa puluh kilometer dari rumah Jingga, sebuah ponsel berdering nyaring. Seseorang yang tengah membaca buku meraih ponsel tersebut lalu membacanya. Orang itu tertegun saat membaca pesan dari Jingga tersebut. Dia mulai menimbang-nimbang, perlukah dia memberitahukan hal yang sebenarnya pada Jingga? Setelah berpikir sejenak, orang itu menggeleng. Dia meletakkan ponselnya, lalu lanjut membaca buku. Dia mengabaikan pesan dari Jingga tersebut. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD