Pulang

1741 Words
Lawang, 12 Juli 2011 Jingga menyandarkan punggung pada bantalan kursi. Matanya mengawasi sawah-sawah hijau yang membentang dari Jendela. Hanya tinggal tiga puluh menit lagi, dia akan sampai di kota Malang. Kota yang tak pernah dikunjunginya selama sepuluh tahun terakhir. Seorang pramugara melewatinya, sembari menawarkan minuman. Jingga mengangguk lalu mengeluarkan dompet untuk mengambil uang. Begitu benda itu dibuka, matanya tertuju pada satu foto usang yang terselip di sana. Foto yang diambil dengan menggunakan kamera analog sepuluh tahun yang lalu itu yang sudah sangat buram. Tujuh wajah di sana tersenyum pada kamera. Setelah membayar pesanan kopi, Jingga kembali termenung memandangi foto pada dompetnya. Sepuluh tahun lamanya dia tak pernah bertemu dengan wajah-wajah dalam foto itu. Ketika naik ke kelas dua SMA, ayahnya secara tiba-tiba dipindahtugaskan ke Papua sehingga Jingga beserta keluarga harus ikut. Pada masa itu, tahun 2001 di Malang ponsel masih merupakan benda yang cukup mewah. Jangankan smartphone yang menjamur seperti sekarang, ponsel Nokia dengan layar monokrom dengan game legendaris ular-ularan yang kini sudah hampir punah merupakan ponsel paling populer pada masa itu. Hanya Biru, satu-satunya temannya yang memiliki ponsel, sementara sahabat-sahabatnya yang lain tak memiliki cukup uang untuk membeli benda tersebut. Bahkan Jingga sendiri juga tak memiliki handphone. Dia selalu meminjam milik ayahnya untuk menghubungi Biru. Pada awal tahun pertama kepindahannya ke Papua, Jingga masih sering berhubungan dengan Biru melalui SMS. Jingga meminta Biru menceritakan apa saja kegiatan yang dilakukan oleh anggota geng mereka hari itu tanpa dirinya. Biru pun selalu mengabarkan aktivitas-aktivitas mereka yang menyenangkan. Suatu hari pada tahun kedua setelah kepindahannya, Biru berhenti membalas pesannya. Beberapa kali Jingga mencoba menghubunginya namun nomor ponsel Biru sudah tidak aktif lagi. Jingga beberapa kali berpikir untuk pulang ke Malang dan menemui teman-temannya. Namun, ongkos pesawat dari Papua ke Malang tidak terjangkau bagi dirinya yang masih SMA. Orang tuanya pun tak akan mengijinkan dirinya pergi sejauh itu sendirian. Jingga menyadari bahwa hubungannya bersama para sahabatnya itu benar-benar telah terputus. Setelah lulus dari SMA, Jingga mengambil kuliah di S1 SKM di Universitas Airlangga, Surabaya. Beberapa kali Jingga berpikir untuk pulang ke Lawang untuk menemui teman-temannya. Namun hatinya tidak merasa yakin. Selama ini hanya dirinya saja yang berusaha mencari mereka. Mereka tak pernah ada usaha mencari dirinya. Mungkinkah perasaan rindunya hanya sepihak saja? Lalu apa yang akan dikatakannya setelah bertemu dengan mereka nanti? "Mereka pasti sudah melupakan aku," gumam Jingga lirih. Waktu satu tahun yang dilaluinya bersama sahabatnya di Lawang sepuluh tahun lalu adalah kenangan yang sangat indah bagi Jingga. Namun, namun belum tentu teman-temannya merasakan hal yang sama. Kereta api mulai berdecit hingga akhirnya berhenti di Stasiun Lawang. Jingga menggeret kopernya lalu turun dari kereta api. Setelah menyusuri jalan keluar, dia melihat seorang wanita tua agak bungkuk dengan rambut warna putih yang duduk di lobi di luar stasiun. "Yangti!" sapa Jingga riang. Wanita tua yang sedang terkantuk-kantuk itu bangkit lalu tersenyum menatap Jingga. "Jingga, cucuku, kamu sudah besar sekali." Jingga menghampiri wanita itu lalu memeluknya erat-erat. "Yangti naik apa ke sini? Kok nggak tunggu di rumah saja?" tegur Jingga. Dia mengkhawatirkan kesehatan neneknya. Dua minggu yang lalu wanita itu dikabarkan pingsan. Itulah alasan mengapa Jingga dapat hadir di sini hari ini. Karena ingin merawat neneknya, dia memohon pada perusahaan larutan isotonik tempatnya bekerja di Jakarta agar dimutasikan ke kota ini. "Yangti naik bentornya Pak Man. Yangti nggak apa-apa kok, Yangti masih sehat. Masa ada cucu kesayangan Yangti mau datang, Yangti nggak menjemput?" dalih sang nenek sembari menggerak-gerakkan lengannya. Jingga tersenyum kecil atas jeri payah neneknya. Mereka lalu naik ke atas becak motor Pak Man yang sudah menjadi langganan neneknya selama bertahun-tahun. Kendaraan beroda tiga itu membawa mereka menyusuri jalan menuju rumah Yangti. Setelah menyeberang rel kereta api, Jingga dapat melihat sebuah SMA. Itu adalah sekolah tempat dia pernah menimba ilmu selama satu tahun lamanya. Gedung bangunan itu sudah lebih besar dan ditingkat. Jauh sekali bedanya dengan sepuluh tahun yang lalu. "Itu sekolahmu." Yangti mengingatkan. Jingga tersenyum sembari mengangguk. Bentor terus melaju melewati PT Otsuko, anak cabang perusahaan minuman isotonik tempat Jingga bekerja di Jakarta. "Aku akan bekerja di sini, Yangti." Jingga menjelaskan pada neneknya. Sang nenek tersenyum dan mengangguk-angguk. "Cukup dekat ya dari rumah." Bentor lalu berbelok pada jalan setapak yang kanan dan kirinya masih berupa sawah-sawah yang dulu sering menjadi rute Jingga saat berangkat sekolah. Melewati jalan ini membawa hawa nostalgia baginya. Dia serasa kembali pada masa-masa SMA-nya. Mata jingga terpaku saat mereka melewati sebuah rumah bercat putih saat mulai memasuki perkampungan. Papan nama dr. Arjuna Adinata terpasang pada halaman depan rumah tersebut. Itu adalah rumah milik Biru, salah seorang sahabatnya semasa SMA. Arjuna adalah nama kakaknya. Kak Juna sudah jadi dokter ya? Jingga membatin dalam hatinya. Lalu dia jadi apa sekarang? Apakah dokter juga? Jingga mencoba mengingat-ingat. Kalau tidak salah dulu Biru pernah mengatakan dia ingin menjadi dokter seperti kakak dan ibunya. Biru adalah anak yang cerdas dan selalu mendapat peringkat terbaik di sekolah. Pasti dia telah berhasil meraih impiannya. "Yangti sudah memasak tumis jamur tiram kesukaanmu." Kata-kata neneknya membuyarkan lamunan Jingga. Jingga balas menyunggingkan senyum gembira pada neneknya. "Asyik!" *** Jingga menggeret masuk kopernya ke dalam kamarnya. Dia lalu mengawasi kamarnya. Hampir tak ada yang berubah dengan kamar itu meski sudah ditinggalkannya selama sepuluh tahun terakhir. Neneknya pasti sudah membereskan tempat ini ketika tahu Jingga memutuskan tingga bersamanya. Rak bukunya masih tertata rapi. Sebagian besar isi rak itu adalah komik terutama QED dan Detective Conan. Jingga memang sudah jatuh cinta pada genre misteri sejak SMA. Jingga membuka jendela. Semilir angin seketika menerpa wajahnya dan menerbangkan rambut bobnya. Jingga menatap hamparan sawah hijau yang memanjakan matanya. Di seberang sawah itulah ada rumah Rosa, salah seorang sahabat karibnya ketika masih SMA. Jingga termenung sembari menopang dagunya. Dia penasaran bagaimana nasib Rosa sekarang. Bisakah dia mengunjungi gadis itu nanti? Mata Jingga menatap seorang wanita dengan baju putih dan rok warna hitam yang menggandeng seorang anak laki-laki berseragam SD. Jingga tercengang sembari memandang wanita tersebut. Bukankah itu Rosa? Batinnya. Suara panggilan neneknya yang lembut berkumandang dari ruang makan. "Jingga, ayo kita makan." Jingga menoleh dan menjawabnya. "Ya, Yangti." Ketika dia kembali berpaling pada jalan di seberang sawah, dua sosok itu sudah lenyap. Jingga mengehela napas lalu melangkah keluar kamar. Dirinya disambut oleh hidangan karya neneknya yang telah tersedia di atas meja makan. Jingga segera menarik kursi lalu duduk di sebelah neneknya. Ketika duduk Jingga langsung merasa tak nyaman. Kaki kursi tersebut cukup pendek dan membuat kakinya tertekuk. "Kursi Yangti ini sudah lama ya, mau nggak Jingga belikan baru?" tawar Jingga. Yangti yang tengah mengambil sup jamur tersenyum tipis. "Ini kursi yang dibeli dari gaji pertama kakekmu. Yangti ingin menyimpannya." Jingga terpegun. Dia tersenyum canggung lalu mulai menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Dia tak pernah tahu bahwa meja dan kursi makan ini adalah benda berharga bagi neneknya. Ponsel Jingga bergetar. Jingga mengeluarkan benda itu dari sakunya dan mendapati satu notifikasi dari aplikasi f******k. Mata Jingga melebar saat melihat ada permintaan pertemanan dari akun bernama Samudra Biru. Jingga menerima permintaan tersebut, tak beberapa lama ada private message dari akun tersebut. Samudra Biru : Ini Jingga Anindhita dari SMA X bukan? Jingga tertegun sejenak lalu membalas pesan tersebut. Jingga Anindhita : Ya, apa ini Biru dari SMA X? Jingga menatap was-was layar ponselnya, menunggu jawaban dari akun tersebut. Benarkah ini Biru? Sudah lama sekali mereka tidak berhubungan. Mengapa sekarang Biru menghubunginya? Samudra Biru : Ya, apa kamu masih ingat janji kita sepuluh tahun yang lalu? Jingga tercenung menatap pesan tersebut. Dia tak menyangka setelah sembilan tahun berlalu dia dapat kembali berhubungan dengan Biru. *** Lawang, 28 Juli 2000 Mentari pagi bersinar cerah, menemani Jingga memasuki kelas 1F. Sebulan yang lalu ayahnya yang bekerja sebagai angkatan darat dipindahkan dari Madura ke Malang, sehingga kini dia kini dia bersekolah di SMA x, sekolah terfavorit di Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Jingga menatap teman-teman sekelasnya yang tampak sedang bercanda. Sepertinya mereka sudah akrab meskipun baru saja masuk SMA. Mungkin saja mereka dulunya bersekolah di SMP yang sama. Sebagai putri dari seorang prajurit TNI, Jingga cukup sering berpindah-pindah sekolah. Di sekolah terakhirnya kemarin, dia tidak mendapat sambutan yang cukup baik oleh teman-temannya bahkan mendapat label sebagai anak sombong. Jingga jadi merasa was-was, akankah dia mendapatkan teman-teman yang menyenangkan di sekolah ini? Jingga memutar pandangannya mencari bangku yang masih kosong. Hampir seluruh bangku di kelas tersebut sudah terisi penuh. Mata Jingga menatap satu bangku kosong dari deret dua dari kiri dan baris tiga dari depan. Di samping bangku tersebut ada seorang gadis yang sedang memandangi wajahnya pad cermin. Gadis itu cantik sekali, rambutnya sebahu dan agak ikal, kulitnya putih. Bulu matanya tampak panjang dan lentik. "Permisi," sapa Jingga pada gadis itu. Gadis manis itu mendongak dan menatap Jingga. "Ya?" "Apa di sini kosong? Boleh aku duduk di sini?" tanya Jingga. "Ya, boleh," jawab gadis itu sambil tersenyum. Diluar dugaan, ternyata dia gadis yang ramah. Jingga pun meletakkan tas ranselnya pada bangku tersebut lalu mulai berkenalan dengan gadis itu. "Kenalkan, aku Jingga." Jingga mengulurkan tangannya pada gadis manis itu. Gadis itu balas menjabat tangan Jingga. "Rosa, kamu dari SMP mana?" tanya gadis bernama Rosa itu. "Aku dari Pamekasan," jawab Jingga. "Pamekasan, Madura?" tanya Rosa tak percaya. "Ya, ayahku baru dipindahtugaskan di sini." "Ayahmu tentara?" tebak Rosa. Jingga mengangguk sebagai jawaban. Kedua gadis itu lalu mengobrol santai. Mereka membahas acara TV yang sedang booming saat itu yaitu Telenovela Rosalinda. Kedua gadis itu sama-sama terpesona pada ketampanan sang tokoh utama Fernando Jose. "Ros! Rosa!" Terdengar sebuah suara memanggil Rosa dari belakang. Serong kiri belakang bangkunya duduklah seorang cowok yang memakai jaket biru. Cowok itu berambut cepak itu cukup tampan. "Rosalinda!" Pemuda itu memanggil nama Rosa lagi, tetapi Rosa tampak tidak memedulikannya. "Dia manggil kamu tuh," kata Jingga sembari menunjuk cowok berjaket biru itu dengan dagunya. "Pura-pura saja nggak dengar. Abaikan saja!" dengus Rosa lirih tetapi wajahnya berpura-pura tersenyum. Cowok berjaket biru itu tidak kehabisan akal. Dia menyobek secarik kertas dari bukunya lalu menuliskan sesuatu di sana dan melemparkannya ke arah Rosa. Sayangnya benda itu meleset dari kepala Rosa dan malah masuk ke dalam kerah baju Jingga. Jingga tercengung sejenak lalu berteriak malu. Buntalan kertas itu sekarang berada di balik bajunya. Beberapa anak yang mengawasi hal itu turut tertawa, termasuk Rosa. Sementara si cowok berjaket biru itu terpingkal-pingkal sembari menyembunyikan wajahnya pada meja. Hanya bahunya saja yang terlihat bergetar naik turun karena menahan tawa. Jingga berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan buntalan kertas itu dari balik bajunya. Cowok berjaket biru itu benar-benar membuatnya malu. Awas saja nanti! Aku pasti membalasmu! Geram Jingga dalam hati. Itulah pertemuan pertama Jingga dengan Biru, sahabat karib, musuh bebuyutan, sekaligus cinta pertamanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD