Lawang, 14 Juli 2011
Erwin mengangkat dua karung semen di bahunya lalu meletakkannya di atas tanah. Dia merenggangkan otot yang sedikit nyeri, kemudian memandang langit. Langit hari itu berwarna biru cerah dengan sedikit awan. Membuatnya teringat akan kenangan beberapa tahun lalu yang sempat terlupakan.
Di suatu istirahat siang dia duduk bersama Samudra Biru, yang dulu merupakan sahabat baik serta sosok yang dikaguminya.
"Apa menurutmu aku ini keren?" tanya Biru.
Erwin berpaling pada sahabatnya itu lalu mengangguk pelan. "Ya, kamu sangat keren, seenggaknya kamu orang paling keren di Kecamatan ini."
Biru tertawa mendengar penuturan Erwin tersebut. Erwin mengerutkan keningnya dan menatap Biru dengan nanar. "Apanya yang lucu?" tanya Erwin.
Biru tak segera menjawab. Dia menatap langit di atas kepalanya dan termenung sejenak. "Apa kamu tahu kenapa langit berwarna biru?" tanya Biru tiba-tiba.
"Kenapa?" Erwin malah balik bertanya.
"Di pelajaran fisika SMP kita pernah dapat, kan? Bahwa cahaya matahari apabila melewati prisma akan dibiaskan menjadi tujuh warna?" terang Biru.
"Mungkin waktu itu aku bolos," sahut Erwin.
Biru tertawa lagi, tawa yang ringan dan menyenangkan sehingga membuat orang yang mendengarnya juga ingin ikut tertawa. "Atmosfir bumi mengandung molekul gas kecil dan partikel debu. Sinar matahari yang memasuki atmosfir tersebut bertemu dengan molekul gas dan partikel debu itu. Warna sinar yang memiliki gelombang sinar lebih panjang seperti merah dan kuning, dapat melewati dan menembus molekul gas dan debu tadi. Tetapi warna biru yang memiliki gelombang sinar lebih pendek dipantulkan kembali ke atas atmosfir. Itulah mengapa langit terlihat berwarna biru. Sementara samudra berwarna biru karena memantulkan warna dari langit."
Kerutan di dahi Erwin bertambah dalam. Dia semakin tak mengerti mengapa Biru tiba-tiba membicarakan ilmu fisika yang tak pernah disukainya. "Lalu kenapa memangnya?"
Biru berpaling pada Erwin lalu mengembangkan senyumnya. "Kamu menganggapku berwarna biru, mengagumi keindahanku dari jauh, tapi seandainya kamu mau mendekat kamu akan tahu bahwa aku sebenarnya tak berwarna."
"Erwin!" Suara dari sang mandor membuyarkan lamunannya. Erwin segera menghampiri pria tua dengan helm warna kuning itu. Meninggalkan kenangan bersama sahabat baiknya itu di belakang punggungnya.
***
Bripda Seta sedang mengerjakan laporan atas kasus pencurian yang baru-baru ini ditanganinya. Pria berbadan gagah dan atletis itu duduk dan meminum kopi jemarinya berlari-lari di atas keyboard komputer dengan lincah.
Sesaat dia berhenti mengetik karena file kasus yang hendak dicatatnya kurang lengkap. Seta membolak-balik tumpukan map di hadapannya namun tak menemukan file tersebut. Seta membuka laci mejanya untuk mencari map tersebut, namun yang ditemukannya di sana adalah sebingkai foto usang. Foto tujuh orang remaja di tepi pantai Balaikambang yang diambil sepuluh tahun yang lalu.
Seta mengambil foto itu lalu mengamati satu wajah usil dengan kaus warna biru cerah dengan topi warna biru yang berdiri di antara kerumunan itu. Ingatannya pun melayang pada peristiwa lampau. Di mana sosok itu masuk berdiri di sebelahnya.
"Kalau kamu ada masalah, ceritain ke aku," kata Biru sembari tersenyum kecil. "Kita ini teman, kan? Bagi bebanmu di atas pundakku."
Dada Seta serasa sesak ketika mengingat kata-kata pemuda itu. dia tak kuasa menahan air mata yang dengan segera mengaliri pipinya.
"Biru," desahnya lirih.
***
"Ibu, aku mau nasi goreng!"
Biru kecil berseru dengan riang gembira sambil mengacungkan mainan robot pemberian Krisna di tangannya. Rosa membelai puncak kepala putra semata wayangnya itu.
"Kamu kerjakan PR dulu, Ibu masak. Nanti kalau sudah selesai kita makan bersama," jawab Rosa.
"Oke!" Biru kecil melompat-lompat lalu berlari menuju kamarnya.
Rosa tersenyum kecil. Rosa tak menyangka janin yang sudah berulang kali coba untuk digugurkannya itu kini menjadi sosok anak yang begitu menggemaskan. Malaikat kecilnya itu kini menjadi alasannya untuk terus menjalani hidup.
Sembari mengupas bawang merah Rosa melihat memandangi langit dari jendela. Langit yang berwarna biru itu selalu mengingatkannya pada sosok yang dulu sangat dicintainya.
Suatu hari, saat dia teman-temannya berkunjung ke Cangar, sebuah pemandian air panas di kota Batu. Saat itulah teman-temannya sibuk berendam menikmati air hangat yang membuat tubuh menjadi rileks. Rosa hanya duduk di tepi kolam sembari mencelupkan kakinya.
"Rosa, kamu nggak berendam?" tanya Vio sembari memandangi gadis itu penuh tanya. Dia mengenakan kaos warna ungu dan celana pendek warna hitam yang sudah basah karena dipakainya berendam.
"Aku lupa bawa baju ganti," kata Rosa sambil tertawa.
"Payah, sudah tahu mau ke kolam renang, kok malah lupa bawa baju ganti," olok Krisna yang hanya memakai celana pendek warna hitam. Entah kenapa pemuda itu memang gemar mengoloknya seperti itu.
"Sayang banget, padahal airnya enak lho," kata Jingga. Gadis berkepang satu itu memunculkan sedikit kepalanya ke permukaan air.
"Nggak apa-apa, kalian nikmati saja, aku mau ambil minum dulu," kata Rosa.
"Minum air dari sini aja kenapa?" tanya Erwin si kolor ijo.
"Kamu minum air dari sini!" Seta si celana putih membelalak.
Erwin mengangguk mantap. "Emangnya kenapa? Ini kan, air matang," jawab Erwin polos.
"Tapi ini bekas berendam orang!" Seta bergidik ngeri.
Rosa hanya tersenyum kecil mendengar candaan teman-temannya. Dia hendak melangkah meninggalkan kolam tapi tiba-tiba muncul tangan dari dasar kolam yang menarik kakinya. Rosa terperanjat, dia tidak siap mempertahankan diri hingga akhirnya jatuh ke dalam air.
Si pemilik tangan tertawa riang melihat tubuh Rosa yang basah kuyub. Jingga mendekati pemuda itu usil itu lalu menjitak kepalanya.
"Kamu ngapain sih! Rosa kan sudah bilang dia nggak bawa baju ganti!" tegur Jingga gusar.
"Tenang saja, aku bawa baju satu lagi," kata Biru.
"Lalu pakaian dalamnya gimana, hah!" Jingga masih mendelik kejam.
Biru terpegun, dia baru sadar kalau Rosa itu perempuan yang butuh berbagai atribut pakaian dalam, beda dengan dirinya yang bisa tenang walau nggak pakai baju dalam.
"Oh iya, ya," kata Biru lirih.
"Bodoh, kamu!" Jingga menjitak kepala Biru lagi.
"Rosa nggak apa-apa?" tanya Viola khawatir. Rosa yang sudah jatuh ke air hanya menunduk sembari menutupi kedua wajahnya.
Biru terbelalak cemas. Masa sih Rosa nangis cuman gara-gara bajunya basah?
"Ros, kamu nggak nangis, kan?" tanya Biru. Tangan Biru menggapai Rosa tapi Rosa segera menepisnya dengan kasar.
"Jangan mendekat!" teriak Rosa tiba-tiba sehingga teman-temannya terkejut.
"Make up-ku sudah luntur, wajahku penuh bekas jerawat, aku pasti kelihatan jelek, jangan lihat aku," rintih Rosa.
Biru tertegun, jangan-jangan alasan Rosa sebenarnya nggak mau mandi bukan karena nggak bawa baju ganti tapi karena takut make up-nya luntur? Biru mendekati Rosa lagi lalu membuka dengan paksa telapak tangan yang menutupi wajah Rosa. Biru lalu menatap wajah itu dan menyeringai.
"Kamu cantik kok, tanpa make up sekalipun," puji Biru. Rosa terpegun mendengar ucapan Biru tersebut. Biru lalu berpaling pada teman-temannya. "Iya, kan teman-teman?"
"Iya! Kamu cantik Rosa!" Jingga turut memuji.
"Sangat cantik," kata Viola.
"Kamu seperti bidadari." Erwin mengacungkan jempolnya ke udara.
"Kamu cantik apa adanya," kata Seta. Seta melirik Krisna yang tak bersuara lalu menusuk pemuda itu dengan sikunya.
"Yah, cantikan dikit timbang Omas," kata Krisna akhirnya.
"Tuh, kan. Kamu harus lebih percaya diri," tutur Biru sambil menyeringai.
"Ibu?" Suara Biru membuyarkan lamunan Rosa. Anak umur delapan tahun itu menatap Rosa dengan gamang. "Kenapa ibu menangis?" tanyanya.
Rosa segera menghapus air mata yang menetes di pipinya lalu tertawa. "Enggak, ini gara-gara mengupas bawang," dusta Rosa.
"Benar? Bukan karena ibu sedih?" tanya bocah kecil itu penuh perhatian. Rosa meletakkan pisau dapurnya lalu menghampiri Biru dan memeluknya. Dia sungguh bersyukur karena malaikat kecil ini telah dititipkan kepadanya.
***
Viola duduk santai sembari mendengarkan detuman musik dari lagu "Masih Ada". Menjelang pertengahan lagu, Viola menarik napas lalu mulai berbicara.
"105,7 fm Cosmo radio, penyejuk hati penyegar suana. Ketemu lagi bareng aku Viola Vionita, di acara kesayangan kita, Grenada, Greget Anak Muda."
Vio memberi jeda sejenak sembari menikmati lagu sebelum mulai berbicara lagi. Kini dia sangat mahir berbicara dengan teknik on beat. Suaranya menjadi lebih santai namun lebih mantap serta sesuai dengan irama musik yang mengirinya.
Vio ingat, betapa culunnya dirinya delapan tahun yang lalu saat masih pertama kali masuk di dunia broadcaster. Dia sering salah tempo dalam hal berbicara di atas lagu. Lagunya ke mana, dia ngomongnya ke mana. Sekarang Vio bahkan sudah menjadi announcer yang cukup terkenal dan punya jadwal siaran yang cukup padat.
"Seperti biasa sore hari ini aku akan nemenin kamu selama satu jam ke depan. Buat kamu yang mau request bisa lewat twitter @cosmo_radio, atau bisa juga kring-kring langsung ke 442-775. Kita akan dengerin tembang-tembang hits Indonesia terbaru dan tentunya akan ada info-info menarik buat kamu simak. Jadi jangan pernah putar saluran frekuensi kamu ke frekuensi yang lain ya! Untuk lagu pertama mari kita dengarkan, 'Masih ada' dari Ello."
Vio tersenyum kecil lalu menjauhkan diri dari mic. Dia menatap sebuah bros berbentuk bros bintang warna biru yang tersemat di d**a kirinya. Bros itu membawa ingatanya melayang pada masa sepuluh tahun silam.
Ketika itu Vio masih seorang gadis remaja yang kikuk. Suatu hari Vio ditunjuk menjadi vokalis band kelasnya. Vio yang demam panggung hampir tak bisa berdiri dari tempat duduknya.
Saat itulah, Biru menghampirinya dengan cengiran khasnya. "Kamu gugup?" tanya Biru.
Vio mengangguk sembari mencengkram kakinya yang gemetaran. Biru menarik tangan Vio lalu meletakkan sesuatu dalam genggamannya. "Tarik napas dan hembuskan pelan-pelan," kata Biru.
Vio menuruti instruksi Biru. Ada rasa lega yang dalam dadanya setelah melakukan hal tersebut.
"Kamu sudah tenang?" tanya Biru.
Vio mengangguk sembari tersenyum. "Tapi apa ini Biru?" tanya Vio sembari memandangi benda dalam genggaman tangannya, yaitu sebuah bros berbentuk bintang yang berwarna biru.
"Itu jimat keberuntungan pemberian ibuku. Kalau aku memakai ini aku nggak akan gugup lagi," jelas Biru.
"Oh begitu, pantas saja aku sudah nggak gugup." Viola tersenyum menatap bros dalam genggamannya itu.
Biru memandangi wajah Viola yang tampak mengagumi bros itu lalu tersenyum. "Kalau kamu suka kamu boleh mengambilnya."
Viola terperanjat lalu menatap Biru dengan gamang. "Ta-tapi bukankah ini pemberian ibumu?" tanya Vio.
Biru menyeringai. "Aku sudah nggak butuh lagi. Keberanian adalah sesuatu yamg terlahir dari dalam dirimu sendiri."
"Kini aku sudah bisa percaya diri dengan kemampuanku sendiri," tutur Biru. "Kamu juga harus memberikannya pada orang lain yang lebih membutuhkan jika kamu sudah lebih percaya diri nanti."
Lamunan Vio berakhir ketika Bang Dicki dari ruang operator melambaikan tangan memberi aba-aba padanya untuk mulai mengoceh lagi. Vio mengembangkan senyumannya lalu menggoyang-goyangkan bahunya sesuai irama lagu sembari membacakan script iklan di sela lagu.
***
Krisna baru saja keluar dari kamar mandi. Handuk warna hitam masih bertengger di lehernya. Pria itu mematut di cermin sembari memandangi bayangan wajahnya. Bukannya sombong, tetap sekarang Krisna memang jauh lebih tampan daripada dirinya sepuluh tahun yang lalu. Bisa dibilang kematian Biru adalah titik balik perubahan hidupnya.
"Aku senang melihatmu sekarang, padahal dulu aku selalu meragukan masa depanmu."
Krisna tertegun sejenak saat kalimat pujian dari Jingga itu terngiang di telinga. Sepuluh tahun yang lalu ada seseorang yang mengatakan hal yang hampir sama namun dalam kontes yang berbeda. Orang itu adalah Biru.
"Aku benar-benar mengkhawatirkan masa depanmu. Cobalah sekali-kali agak serius."
Kalimat yang diucapkan Biru kembali bergema di telinganya. Krisna mendesah sembari memandangi langit kamarnya. Sembilan tahun telah berlalu sejak berlalu sejak Biru meninggal, namun bagi dirinya dan teman-temannya waktu terhenti saat itu, mereka terus terkurung dalam masa lalu.
Krisna mendengus. Dari dulu dia selalu iri pada Biru. Dia selalu berusaha keras agar dapat menyaingi pemuda itu, namun pada akhirnya dia selalu kalah. Bahkan setelah Biru meninggal sekalipun, Krisna tak pernah menang dari Biru.
***