Ruang Rindu

1086 Words
Lawang, 20 Agustus 2000 "Ini namanya Seta." Biru memperkenalkan seorang anak laki-laki bertubuh pendek dan berwajah cantik pada gengnya ketika mereka berkumpul hari minggu pagi itu. "Apa kabar, semuanya," sapa Seta dengan senyuman manisnya pada teman-teman barunya. "Mulai hari ini, dia akan menjadi anggota Geng kita," jelas Biru. Para sahabat Biru terdiam sembari mengamati teman baru mereka tersebut dengan saksama. Krisna mendekatkan wajahnya pada Seta dan memerhatikan pemuda itu baik-baik. "Kamu cewek?" tanya Krisna sambil mengerutkan kening. "Aku cowok," jawab Seta sambil menyeringai. "Krisna patah hati deh!" goda Rosa. "Enak aja!" Krisna langsung mengelak. Sementara teman-temannya yang lain tetawa dan ikut menggoda Krisna. "Ayo kita berangkat sekarang." Biru mengingatkan teman-temannya. Seluruh anggota geng mengamini. Mereka hendak menjadikan Kebun Teh Wonosari sebagai destinasi awal dalam proyek mengelilingi kota Malang. Kebun itu letaknya cukup dekat dari sekolah mereka, yaitu sekitar delapan kilometer. Mereka hanya butuh berjalan sedikit ke jalan raya lalu naik angkot yang mengantarkan mereka menuju perkebunan. Dalam waktu dua puluh menit saja mereka sudah sampai di perkebunan teh seluas kurang lebih satu hektar tersebut. Hamparan dedaunan warna hijau menyambut mereka begitu sampai di sana. Tujuh orang muda-muda itu terpana melihat keindahan panorama alam nan cantik yang menghibur mata. Jinggalah yang lebih dulu berlari mengampiri rimbunan daun-daun hijau itu. "Huah! Ini keren sekali! Aku berasa seperti di film-film," kata Jingga. Gadis itu lalu tertawa riang sambil menyenandungkan lagu film India favoritnya yang sempat booming saat era krisi moneter dua tahun yang lalu. "Tum pas aaye... yun mus kuraye...tumne na jaane kya...sapne dikhaye. Abto meradil, jaaqena sota hai, kya karoon haye. Kuch kuch hotai!" "Jingga perhatikan jalanmu, awas jatuh." Baru saja Rosa selesai memperingatkan, kaki Jingga sudah terantuk batu karena dia tak memerhatikan jalan. Biru yang berada di belakangnya persis, ikut menjadi korban karena tidak siap. Mereka terjatuh lalu berguling-guling ke bawah bersama-sama. Rosa dan Viola menjerit panik, sementara para lelaki segera menghampiri Biru dan Jingga dengan cemas. "Kalian nggak apa-apa?" tanya Erwin. Biru memegangi kepalanya yang terasa pening lalu mengangguk. "Ya, aku nggak papa." Biru lalu berpaling pada Jingga yang mengerang di sebelahnya. "Hati-hati dong, kalau jalan!" Biru menjitak pelan puncak kepala gadis itu. "Maaf," sahut Jingga sembari menyeringai. Viola dan Rosa mendekat. Viola terpekik ketika melihat kondisi tubuh Jingga. Gadis itu gemetaran menunjuk lengan kanan Jingga yang berdarah. "Jingga itu nggak apa?" tanya Vio. Mata Rosa membelalak ketika menyusuri arah pandang Vio. "Ya ampun ... itu pasti sakit." "Apanya?" tanya Jingga masih belum sadar. "Itu tanganmu." Seta menunjuk lengan Jingga. Jingga menyusuri telunjuk Seta. Matanya membeliak ketika menatap kulit tangannya yang mengelulas disertai darah yang merembes dari sana. Gadis itu sekonyong-konyong berteriak kencang sembari mengaduh sehingga teman-temannya dibuat bingung. "Kok baru teriak, sel sarafmu lambat amat reaksinya," ejek Krisna. "Tadi nggak sakit, setelah aku tahu, rasanya jadi sakit," keluh Jingga. Gadis itu hendak meniup lukanya, tapi bibirnya tiba-tiba ditutup oleh telapak tangan Biru yang besar. "Jangan ditiup! Kamu mau menyebarkan bakteri di mulutmu ke sini?" tegur Biru. "Sini, biar aku obati." Biru membuka tasnya lalu mengeluarkan kotak P3K kecil dari dalam sana. Dengan sigap Biru membersihkan luka Jingga dengan kasa dan antiseptik lalu mengoleskan salep dari ekstrak plasenta dengan cutton bath. Jingga terpegun, debaran-debaran asing seketika muncul di relung hatinya. "Peralatan P3K-mu lengkap, keren!" puji Vio. "Ibuku yang maksa bawa ini. Buat jaga-jaga katanya. Nggak nyangka aja beneran berguna sekarang," kata Biru. Ibu Biru adalah seorang dokter Puskesmas. "Kamu harus hati-hati. Kamu itu cewek, kalau lukamu membekas bagaimana?" tutur Biru. Jingga terdiam sembari memandangi Biru yang masih sibuk mengobati lukanya. Itulah hari di mana Jingga jatuh cinta pada Biru. *** Lawang, 14 Juli 2011 Jingga menatap foto kenangan sepuluh tahun yang lalu bersama teman-temannya yang diambil di tepi Pantai Balai Kambang. Dadanya terasa semakin nyeri menatap wajah-wajah bahagia dalam foto tersebut. Pada kenyataanya kini mereka itu sudah berubah. Jingga memfokuskan pandangannya pada Biru yang mengenakan kaus serta topi warna Biru. Pemuda itu tersenyum dengan cengiran usil khasnya. Kini Jingga mengerti alasan mengapa Biru tiba-tiba berhenti membalas pesannya sembilan tahun yang lalu. Biru telah meninggal. Jingga sesungguhnya masih belum dapat memercayai hal tersebut. Benarkah Biru telah meninggal? Lalu siapa yang kemarin menghubunginya via f*******: atas nama Biru? Jingga ingat, orang yang mengaku bernama Biru itu menjawab bahwa dia berada di tempat yang lebih baik daripada Jingga ketika ditanya soal pekerjaan. Jingga menggeleng pelan. Dia adalah orang yang rasional. Dia tak pernah percaya pada keberadaan hantu dan sejenisnya. "Pasti ada orang iseng yang ingin mempermainkanku," katanya. Jingga menatap jam di dinding kamar yang menunjukkan pukul tujuh malam. Langit di luar sana cukup cerah dan bertabur bintang. Mungkin jalan-jalan malam sebentar bisa membuat pikirannya yang ruwet menjadi lebih rileks. Jingga pun mengambil jaket lalu melangkah keluar kamar serta berpamitan pada neneknya sebelum pergi dari rumah. "Malam-malam begini mau jalan-jalan?" tanya neneknya terkejut ketika mendengar penuturan Jingga saat dia hendak berpamitan. "Ini belum malam kok. Masih jam tujuh," dalih Jingga. "Ya sudah, hati-hati, nanti kamu ketemu hantu lho," goda neneknya. Jingga tersenyum tipis. Justru itulah yang diharapkannya. Dia ingin bertemu dengan hantu Biru. Setelah memeroleh ijin dari neneknya. Jingga pun menyusuri sekitar rumahnya tanpa tujuan yang pasti. Bayang-bayang Biru masih melekat erat pada benaknya. Cara pemuda itu tertawa, ekspresinya ketika marah, cemas dan galau masih terpampang jelas dalam ingatan Jingga. Jingga sungguh tak memercayai bahwa Biru telah pergi. Jingga tak ingin percaya bahwa cinta pertamanya itu telah tiada. Langkah kaki Jingga tanpa sadar membawa Jingga menuju sekolahnya. Jingga menyusuri jalan menuju halaman belakang sekolah. Di bawah pohon ceri yang rindang, Jingga berhenti. Di situlah tempat dia mengubur kapsul waktu bersama sahabat-sahabatnya sepuluh tahun yang lalu. Jingga termenung menatap gundukan tanah di bawah pohon itu. "Dua belas Agustus sepuluh tahun, mendatang kita akan bertemu lagi di tempat ini." Ucapannya sepuluh tahun yang lalu itu kembali terngiang di telinga Jingga. Kenyataannya kini tak ada yang peduli pada janji tersebut. Teman-temannya saling bermusuhan. Biru juga sudah meninggal. Hanya dirinya sendiri yang terus mengingat janji palsu tersebut. Tanpa terasa air matanya luruh. Jingga membenamkan kedua telapak tangannya pada wajahnya lalu menangis tersedu-sedu. "Biru ... Biru..." "Kamu Siapa?" Jingga tertegun mendengar suara sumbang itu. Suara yang amat mirip dengan suara Biru. Apa karena dirinya terlalu rindu pada Biru sehingga dia berhalusinasi mendengarkan suara pemuda itu? "Kenapa memanggilku, siapa kamu?" Jingga terperanjat. Suara itu terdengar lagi. Jingga menurunkan kedua tangannya, dia menengadah dan menatap lurus sosok yang berada di hadapannya. Seorang pemuda dengan jaket warna biru berdiri di depannya. Penampakannya masih sama persis dengan orang yang dikenalnya sepuluh tahun yang lalu. "Kamu siapa?" ulang pemuda itu. Jingga terpana. Bibirnya perlahan memanggil nama remaja tersebut. "Biru?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD