Seta

1725 Words
Lawang, 2011 Jingga mendorong sepeda pancal menaiki tanjakan dari Lawang ke arah Singosari. Biru di belakangnya membantunya. Jingga melirik Biru yang tersenyum riang. Pemuda itu tampak kagum pada pemandangan di kanan-kiri jalan. Lawang memang sudah jauh berkembang selama sembilan tahun terakhir. "Tempat ini jadi kayak kota besar," komentar Biru. "Biru," panggil Jingga sembari berdeham-deham. Pemuda itu mengalihkan perhatiannya padanya, menanti kelanjutan perkataan cewek itu "Apa penyebab kematianmu?" tanya Jingga. Biru terdiam beberapa saat lalu membuang muka. "Entahlah, aku udah lupa," jawabnya. Jingga tertegun. Dia menangkap nada yang aneh pada jawaban Biru tersebut. "Krisna bilang teman-teman kita saling bermusuhan semenjak kamu meninggal. Kenapa bisa begitu?" tanya Jingga. "Mana kutahu, sebelum aku meninggal kami baik-baik saja," sahut Biru, tetap melengos. Jingga mengerutkan kening. Dia ingat Biru selalu tak berani menatap lawan bicaranya ketika dia berbohong. Mungkinkah Biru sedang berbohong? Untuk apa dia berbohong? Setelah sampai di jalan yang datar Jingga menaiki sepedanya. Biru seperti biasa menongkrong di jok belakang sepeda. Setelah beberapa menit mengayuh, akhirnya mereka sampai juga di depan pos polisi yang berada di dekat Pasar Singosari. Jingga bertanya pada salah seorang polisi yang berjaga tentang keberadaan sahabatnya, Seta. Polisi berpangkat Brippol itu tersenyum ramah dan memintanya menunggu di dalam. "Dia sedang keluar sebentar, silakan tunggu di sini," kata Polisi itu sembari menyediakan tempat duduk untuk Jingga. Pria itu bahkan menawarkan minuman. Jingga menolaknya dengan halus karena tak ingin merepotkan. Jingga mengawasi Biru yang tengah berdiri di depan pos polisi. Hantu itu bersandar pada dinding sembari menatap lalu lintas di hadapannya. Sebagai jalur utama yang menghubungkan kota Malang dan Surabaya, jalan raya tersebut selalu dipadati kendaraan. Wajah Biru terlihat menyiratkan kesedihan yang mendalam, sehingga Jingga penasaran apa yang dipikirkan pemuda tersebut? Apakah dia menyesal setelah meninggal? Deru motor membuyarkan lamunan Jingga. Seorang pria berseragam polisi memarkir sepeda di depan pos. Pria itu membuka helmnya sehingga wajahnya terlihat. Jingga tertegun tersaat menatap pria tersebut. Penampilannya yang gagah dan atletis kontras dengan wajahnya yang cukup cantik. Tak salah lagi, pria itu adalah Seta. Seta menatap ke dalam pos polisi dan mengerutkan kening memandang Jingga. Sementara Biru yang berdiri di depan polisi bangkit dan mendekatinya dengan senyuman kecil. "Kamu sudah tumbuh jadi sebesar ini," komentar Biru sembari mendongak, Seta kini lebih tinggi darinya. Jingga tersenyum miris menatap pemandangan itu. "Seta, ada temanmu ini yang mencarimu," ujar polisi teman Seta tadi. Jingga mengangkat pantatnya dari kursi lalu menghampiri Seta. "Apa kabar, masih ingat aku? Aku Jingga." Mata Seta terlihat melebar. Sejenak pria itu terdiam sembari menatap nanar sosok di hadapannya. "Jingga...." *** Jingga dan Seta duduk berhadapan di sebuah Kafe di tepi jala raya, sementara Biru duduk di sebelah Seta sembari memandangi es krim yang dipesan Jingga. "Sudah lama sekali aku nggak makan es krim," keluhnya sembari mencebik. "Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi," kata Seta. "Aku pikir kamu nggak akan kembali ke sini." Jingga tersenyum kecil. "Karena nggak ada ada satu pun dari kalian yang menghubungiku, aku pikir kalian sudah melupakan aku," ujar Jingga. Dia lalu mengubah ekspresinya jadi agak serius. "Boleh aku tahu apa yang sebenarnya terjadi selama aku nggak ada di sini?" tanya Jingga. Seta menghela napas lalu menyandarkan punggung pada kursi. "Apa yang ingin kamu tahu?" tanya pria itu. "Apa penyebab kematian Biru?" tanya Jingga. Baik Seta maupun Biru yang duduk di depannya tampak tertegun. Biru lalu memalingkan wajahnya pada Seta, menanti jawaban apa yang akan keluar dari mulut pria itu. Biru menatap tangan Seta yang disembunyikan sahabatnya itu di bawah meja. Tangan itu gemetaran. "Dia gantung diri di kamarnya," jawab Seta akhirnya. Jingga membeliak. Dia menatap nanar kedua orang di hadapannya itu. "Bunuh diri?" ulang Jingga tidak percaya. Tanpa terasa titik-titik air mulai mengalir dari pelupuk matanya dan membasahi pipinya. Baik Seta maupun Biru sama-sama terpegun melihat reaksi Jingga tersebut. "Kenapa? Kenapa dia bisa bunuh diri? Apa alasannya?" desak Jingga. Seta menunduk. "Nggak pernah ada yang tahu apa alasannya. Sebagian besar orang menduga dia sangat frustrasi setelah ibunya meninggal sebulan sebelumnya karena kecelakaan. Di meja belajarnya juga ditemukan sobekan kertas yang bertuliskan kata-kata 'aku ingin bertemu denganmu,'" terang Seta. Jingga meremas roknya. Dia tak percaya dengan apa yang dikatakan Seta. "Nggak, Biru bukan orang selemah itu. Nggak mungkin dia bunuh diri," kata Jingga dengan suaranya yang bergetar. "Itulah kenyataannya," kata Seta sembari mengalihkan pandangannya ke jendela menatap kendaraan yang berlalu lalang. "Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu." Jingga menghapus air matanya dan berusaha menyetabilkan napasnya. "Lalu kenapa kalian bermusuhan?" tanya Jingga. Seta menghela napas lagi lalu menghirup kopi. "Setiap kali kami bertemu ada kami akan sadar bahwa Biru sudah nggak ada. Kenangan indah bersama Biru kini berubah menjadi kenangan pahit yang nggak ingin kami ingat." Jingga terdiam sesaat, dia menatap Biru yang duduk di sebelah Seta. Pemuda itu masih memandang Seta dengan wajah sendu. Seta berdiri dengan tiba-tiba sehingga mengejutkan Jingga dan Biru. "Maaf, aku masih kerja sekarang. Mungkin lain kali kita bisa mengobrol lagi," tutur Seta. Jingga mengangguk tanda mengerti. "Maaf, sudah mengganggu jam kerjamu." *** "Apa benar kamu bunuh diri?" tanya Jingga pada sosok hantu Biru yang duduk di belakang jok sepedanya. Mereka dalam perjalanan pulang ke rumah Jingga. "Sudah kubilang, aku nggak ingat, kan?" dalih Biru. Pemuda itu bahkan tak memandang Jingga ketika menjawab. Matanya menatap lurus pada tepi jalan yang mereka lewati. Jingga menghela napas. Jika Biru sudah menjawab seperti itu, artinya dia memang tidak ingin Jingga tahu apa alasannya. "Lalu kenapa kamu tadi terlihat sedih?" tanya Jingga. Biru menoleh dengan bingung. "Apanya?" "Saat kamu melihat Seta tadi, wajahmu terlihat sedih," kata Jingga. Biru merenung sejenak lalu menyandarkan punggungnya pada punggung Jingga. "Aku berbuat salah padanya sebelum aku meninggal. Aku belum sempat meminta maaf," tutur Biru. Jingga tertegun dan memperlambat kayuhan sepedanya. "Kesalahan apa yang kamu perbuat?" tanya Jingga sembari melirik Biru. "Urusan laki-laki," jawab Biru defensif. "Katakan saja padaku, mungkin aku bisa menyampaikan permintaan maafmu padanya," tawar Jingga. "Nggak ada artinya kalau bukan aku sendiri yang minta maaf," sahut Biru. Untuk beberapa saat lamanya baik Biru maupun Jingga sama-sama terdiam sampai akhirnya Biru membuka suara. "Kenapa kamu saja nggak bilang pada teman-teman kalau kamu bisa melihatku?" tanya Biru. "Mereka pasti terkejut kalau kamu bilang begitu," tambahnya. Jingga melirik Biru, pemuda itu masih memasang wajah sendu. Jingga menghela napas. "Nggak ah, nanti aku dianggap orang aneh dan stress," dengus Jingga. Biru mengalihkan padangan pada Jingga kemudian tertawa. "Benar juga, cewek umur dua puluh enam tahun yang masih jomlo, berhalusinasi melihat hantu dari mantan gebetannya yang sudah mati sembilan tahun lalu. Kamu benar-benar ngenes!" olok Biru. "Nggak usah dijabarin gitu!" hardik Jingga kesal. Biru malah semakin terbahak. Ketika mereka melewati papan nama dr. Arjuna Adinata, Jingga berhenti mengayuh sepedanya. "Ayo turun," kata Jingga. Biru terdiam sesaat lalu menatap rumahnya. Tempat itu sama sekali tak berubah meski sudah sembilan tahun berlalu sehingga membangkitkan rasa nostalgia. Tanpa terasa air matanya menetes, namun pemuda itu dengan cepat menyekanya. Jingga tersenyum kecil lalu mendorong sepedanya menuju halaman depan rumah tempat beberapa sepeda terparkir. Jingga memasuki lobi tempat tiga orang lansia sedang duduk menonton TV sambil terkantuk-kantuk. Jingga mengambil nomor antrian yang terpasang pada pintu ruang periksa lalu duduk di salah satu kursi. Biru mengikuti Jingga lalu duduk di sebelahnya. "Untuk apa kamu ke sini?" tanya Biru. Jingga tak menjawab. Dia tak mau dianggap orang aneh jika berbicara sendiri. Maka dia mengambil head set dari sakunya dan mulai menyalakan aplikasi radio dari ponselnya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dari Biru. Biru mendesis melihat perilaku Jingga tersebut. "105,7 fm Comso Radio. Penyejuk hati, penyegar suasana. Ketemu lagi bareng saya, Viola Vionita." Jingga tertegun sejenak saat mendengarkan suara yang keluar dari ponsel. Ini suara Vio. Rupanya gadis itu telah menjadi penyiar radio sesuai dengan apa yang dulu dia cita-citakan. Jingga tersenyum kecil sembari mendengarkan suara merdu Viola. Wanita itu terdengar ramah dan riang. Sungguh berbeda jauh dengan nada sinis yang didengarnya kemarin tatkala bertemu langsung dengan Vio. Jingga mendesah dalam hati. Sebenarnya apa yang membuat gadis manis dan lembut itu berubah? Setelah lansia terakhir keluar dari ruang periksa. Dokter Juna dengan jas putihnya muncul dari pintu. Pria yang berusia tiga tahun lebih tua dari Jingga itu tertegun ketika melihat kehadiran Jingga di sana. "Silakan masuk," kata pria itu. Biru terpaku di kursi sambil menatap nanar sosok di hadapannya itu. "Kakak," sapa Biru lirih dengan mata yang berkaca-kaca. Tentu saja hanya Jingga yang mampu mendengarnya. Jingga tersenyum kecut lalu melangkah lalu memasuki ruang periksa. Biru segera bangkit dan mengikutinya. Jingga dipersilakan duduk oleh Dokter Juna di kursi sementara sang dokter yang tampan dan tinggi itu duduk di hadapannya. Jingga terdiam sembari mengawasi dokter tersebut. Pria itu memiliki garis wajah yang tegas serta mata yang tajam. Wajahnya sangat mirip dengan Biru. Seandainya Biru masih hidup mungkin Biru akan berpenampilan mirip kakaknya tersebut. "Nama Anda siapa?" tanya pria tersebut. Tampaknya dia masih belum menyadari siapa Jingga, wajar saja dulu mereka hanya bertemu beberapa kali. Saat Jingga masih SMA, Kak Juna adalah mahasiswa baru fakultas kedokteran yang sibuk. "Jingga Anindhita," jawab Jingga. Pria itu tertegun. Dia berhenti menulis lalu menatap Jingga dengan gamang, seolah sedang meneliti wajah Jingga. "Jingga? Jingga putranya Kapten Hariyanto? Teman sekolahnya Biru?" tanya pria itu terkejut. Jingga tersenyum dan mengangguk kecil. "Apa kabar, Kak," sapa Jingga. Kak Juna tersenyum semringah. "Wah, kamu sekarang jadi cantik begini. Padahal dulu kamu dekil dan pecicilan," tutur Kak Juna sembari tertawa, namun tawanya itu tak bertahan lama. "Seandainya Biru juga bisa tumbuh sepertimu," lanjutnya lirih. Pria itu menutupi kedua matanya dengan telapak tangan. Entah apa dia dia sedang menangis. Jingga terpegun. Dia melirik Biru yang duduk di sebelahnya, pemuda itu membuang muka. Mungkin karena tidak ingin menatap wajah sedih kakaknya. "Maaf, aku terbawa suasana," kata Kak Juna sembari menggembangkan senyuman ramah. Tampaknya pria itu sudah berhasil menguasai emosinya. "Ada keluhan apa?" tanyanya. "Aku...." Jingga terdiam sejenak menimbang-nimbang lalu melanjutkan kalimatnya. "Aku berhalusinasi melihat hantu Biru." Baik Juna maupun Biru sama-sama membelalak mendengar ucapan Jingga itu. Biru sampai bangkit dari kursinya. "Kamu bicara apa! Bukannya kamu bilang nggak akan ngomong begitu! Kenapa kamu malah ngomong begitu di depan kakakku!" protes hantu itu. Jingga mengabaikan Biru, dia tetap menatap lurus Juna yang masih terperangah. "Apa menurut Kakak ini manifestasi dari stress?" tanya Jingga. Juna tertawa lalu menutupi matanya lagi dengan telapak tangannya. "Kamu hebat, Jingga," puji Juna ditengah tawanya yang kini lebih mirip suara tangisan. "Padahal aku selalu berharap dia akan muncul di depanku sekali saja. Tapi bahkan dia nggak pernah masuk di mimpiku. Kenapa ... kenapa justru kamu yang bisa melihatnya...." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD