TUL 2 - Pria Aneh

1798 Words
“Aku sedang patah hati.” Savira memejamkan matanya sejenak sambil mendengus tipis. “Jadi karena itu anda merasa sesak di d**a?” lanjut Sensei. Pria itu mengangguk lagi. Dokter menggeleng kecil sambil menghembuskan napas pelan. Sementara Savira sudah ingin memaki dalam hati. “Baiklah. Apa anda ingin istirahat sebentar di sini?” Pria itu mengangguk. Setelah dilakukan pemerikasaan mendetail, dokter meminta Savira memasangkan infus cairan makanan dan vitamin karena sepertinya pria itu kurang istirahat dan stres. Savira bergegas mengambil perlengkapan dan mulai memasangkan infus di tangan pria itu. “Tolong tarik napas anda saat saya mengatakan tarik napas, ya?” “Nona perawat, apa kamu pernah patah hati?” Pria itu bertanya tanpa menoleh. Savira tak menjawab. Wanita itu fokus mencari jalur pembuluh darah agar tak salah menusukkan jarum infus. “Aku baru pertama kalinya patah hati. Dengan wanita yang sudah lama kusukai.” Savira masih bergeming. “Dan aku–” “Sekarang tolong tarik napas anda.” “Ahhh!” Pria itu tak menurut dan akhirnya mengaduh karena nyeri yang mencubit kulitnya. “Kau harusnya–“ Tatapan pria itu terkesima saat netranya bertumbukkan dengan netra indah Savira sesaat. Wanita itu masih fokus mengerjakan tugasnya. Mengatur laju infus dan memastikan plester yang menahan infuset di tangan pria itu membuat posisi jarum dan tube selangnya tak goyah. Pria itu masih takjub menatap Savira. Tak pernah ia duga kalau di rumah sakit ini ia akan menemukan seseorang yang berasal dari negara yang sama dengannya. Wajah Savira yang imut dan cantik namun khas orang Indonesia itu pun membuatnya tertegun. Savira kembali menatapnya datar. “Ada lagi yang bisa aku lakukan untukmu?” Pria itu mengangguk. “Apa?” “Maukah kau menyembuhkan luka hatiku?” Kening dan asli Savira mengerut. Dalam batinnya meruntuk kesal pada pria itu. Namun, posisinya sebagai perawat menuntut wanita itu untuk tetap profesional dan sebisa mungkin menjawab dengan baik keinginan si pasien aneh tersebut. “Maaf. Tapi aku masih ada pekerjaan lain. Jika kau membutuhkan bantuan, kau bisa–“ “Namaku Langlang. Namamu siapa?” Savira segera membalikkan kartu identitas yang menggantung di saku scrub-nya dengan gerakan yang terlihat seolah tak disengaja. “Apa aku boleh minta nomer telponmu?” imbuhnya. Sinting! “Maaf Tuan. Tapi kau bisa memencet bel untuk memanggil petugas yang lain jika butuh–“ “Aku hanya membutuhkan obat.” “Obat?” Pria itu mengangguk riang. “Obat apa? Kau merasa pusing?” “Tidak. Aku hanya butuh satu obat.” “Apa itu?” “Aku akan mengatakannya. Tapi lewat nomer telponmu.” Savira mendesah panjang. “Tuan. Kalau kau terus bersikap tak sopan. Maka aku akan memanggil petugas keamanan dan melaporkanmu ke polisi dengan tuduhan pelecehan. Kau membuatku tak nyaman,” tutur wanita itu dalam bahasa Indonesia. Pria itu terhenyak. Ia sadar kalau apa yang dilakukannya sudah kelewatan. Apalagi di Jepang sangat mengedepankan tata krama meski mereka berasal dari negara yang sama. “Tunggu!” Savira menoleh dengan wajah datar. “Aku minta maaf. Maaf sudah membuatmu tidak nyaman. Aku hanya butuh teman bicara. Kupikir karena kamu dari Indonesia, aku bisa sedikit bercanda denganmu.” Savira bergeming. Wanita itu memilih pergi namun lebih dulu berpapasan dengan seseorang yang tampak tergopoh-gopoh mencari seseorang. Brukkk …. “Ahhh!” Savira yang hampir jatuh akhirnya terselamatkan. “Ah, untung kamu. Maaf, Vira. Aku mencari temanku yang bodoh. Apa di sini ada pasien bernama Langlang?” Savira berbalik menunjuk brankar di mana Langlang sedang menatap keduanya dengan tatapan melongo dan Savira membalasanya denga wajah datar. “Kalian saling kenal?” Tak ada yang menjawab meski keduanya menatap Langlang di tempat tidurnya. “Aku lanjutkan tugasku dulu.” Pria yang terlihat menggenal Savira itu pun mengangguk lalu menghampiri brankar Langlang. “Elo kenal dia?” “Emang kenapa kalau gue kenal?” “Namanya Vira kan kalau gue tadi nggak salah denger?” Pria itu terdian, "Lewa?!" Tatapannya berkerut dengan alis menanjak satu pada sahabatnya itu. “Jangan ganggu dia.” “Kenapa?” ketusnya tak terima. Pria yang dipanggil dengan sebutan Lewa itu kemudian mendesah berat dan mengatakan, “Jangan buat persahabatan kita hancur karena elo sama gue harus rebutan dia, oke?” Langlang bungkam. Memilih berbaring dan menatap langit-langit ruang IGD. “Dia masih nelpon lo?” “Mau neror siapa lagi? Lagian kenapa nggak lo selesain aja sih? Kalau dia nyusul ke sini, lo nggak akan bisa menghindar lagi.” Langlang memilih memunggungi Lewa. Sahabat sejak kecilnya itu selalu saja mengatakan hal yang mudah diucapkan tapi sulit sekali ia lakukan. “Bangunin gue kalau infusnya udah habis.” Lewa mendesah panjang. Duduk di samping brankar kemudian membuka ponselnya. Pria itu mendesah berat untuk kedua kalinya lagi lalu menatap punggung sang sahabat sebelum akhirnya memilih mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam hoodie. Waktu pun berlalu .... Tak terasa Savira yang lembur akhirnya bisa pulang. Wanita itu bergegas pergi ke tempat pencarian barang hilang di kota tempatnya tinggal. Savira berharap tas berisi pakaian scrub-nya yang tertinggal itu bisa ditemukan. Meski ini yang pertama kalinya, tapi Savira tahu kalau orang Jepang selalu menghargai benda hilang yang mereka temukan di jalanan. Apalagi jika benda itu tertinggal di kereta atau bus. Mereka memiliki tempat khusus untuk menyimpan barang-barang yang nantinya bisa dilacak berdasarkan ciri-ciri barang yang hilang juga lokasi di mana barang itu hilang. Percayalah, barang sekecil apapun yang hilang di Jepang baik itu milik penduduk lokal atau turis, kamu akan bisa menemukannya di tempat penyimpanan barang hilang di setiap kota yang ada di Jepang. Savira pun mendesah lega ketika akhirnya tas yang tertinggal itu ia dapatkan. Setelah mengisi data pada formulir dan menandatangi serah terima barang, wanita itu pun keluar dari bangunan yang mirip kantor polisi. Dugh … Sial sekali kening Savira terjeduk pintu kaca karena seseorang yang membukanya dari luar. “Aduh!” Wanita itu mendongak sambil berusaha memasang wajah tenang dan mengusapi keningnya yang sakit. “Maaf. Maaf sudah – kamu!” Wajah tenang Savira sektika lenyap begitu wajah yang orang yang membuat keningnya terluka adalah wajah pasien aneh yang ditemuinya siang tadi di IGD. “Vira? Sedang apa?” Lewa di belakang Langlang pun berseru. Langlang tersenyum. “Sepertinya kita berjodoh sekali nona Vira.” Vira tak menggubris. Seolah Langlang tak ada di sana, wanita itu memilih tersenyum manis pada Lewa. “Aku ngambil barangku yang hilang.” “Keningmu kenapa?” Lewa menghampiri wanita itu lantas memeriksa kening Savira yang memerah. “Keningmu terluka.” Savira mendesah pelan sambil menepis jemari Lewa dari keningnya dengan sopan. “Pintunya terbuka kencang sekali.” Lewa menatap Langlang sambil menggeleng dan mendesis, “Ceroboh!” “Aku duluan kalau begitu.” “Benar tidak ingin kuobati lukamu?” bujuk Lewa. Savira terkekeh. Kekehan imut yang membuat wajahnya tampak lucu dan menggemaskan. Membuat Langlang seketika terhipnotis. “Lupa, ya? Aku ini perawat. Nanti bisa kuobati sendiri. Aku duluan kalau begitu.” Savira sedikit membungkuk pada Lewa. Masih terlihat tak meperdulikan Langlang yang menatapnya intens sejak tadi. Lewa mengangguk. “Hati-hati.” Savira balas mengangguk. Langlang langsung bergerak cepat menggeser pintu dan mempersilakan wanita itu keluar. “Terima kasih.” “Sama-sama. Tapi alangkah baiknya kalau terima kasihmu diikuti dengan senyuman. Pasti wajahnya jadi semakin ramah.” Langkah Savira terhenti. Pandangan tajamnya masih datar sebelum akhirnya membalas dengan jawaban, “Dan ada baiknya juga seseorang yang sudah melakukan kesalahan minta maaf lebih dulu.” Langlang tertegun. Lewa mengulum tawa. Langlang tidak tahu saja, awal Lewa berkenalan dengan Savira pun wanita itu memang segalak saat ini. “Ah, aku lupa. Maafkan aku kalau begitu Nona Vira. Apa kau mau kuantar juga ke Rumah Sakit?” tawarnya setengah berharap dan menggoda wanita itu. “Tidak perlu. Aku tidak ingin punya urusan denganmu lagi.” Savira melengos. Langlang melongo sementara Lewa langsung terbahak-bahak begitu Savira terlihat menjauh. “Baru kali ini ada yang nggak luluh sama ketampanan gue.” Lewa berdecih. “Tampang putus asa merana gitu dari mana tampannya? Mirip nampan sih iya.” “Sialan lo!” “Udah buru cari barang lo yang ilang! Gue tunggu di sini. Gue masih banyak tugas. Laper lagi,” sahutnya kemudian mendudukkan pantatnya di kursi tunggu di dekat pintu masuk. Langlang pun melangkah ke dalam untuk menyelesaikan urusannya hingga tak berapa lama kemudian pria itu kembali dengan payung di tangannya. “Katanya mau move on. Payung ilang aja dicari,” ledek Lewa. “Justru karena gue mau hancurin semua barang yang dia kasih. Biar hancur sekalian kayak hati gue sekarang.” “Drama King!” “Nggak usah banyak mulut lo!” "Mulut gue cuma satu Tuan Muda Langlang Atmadireja," balas Lewa sambil melangkah lebih dulu. Kaki mereka pun terayun bersama menuju kedai ramen yang biasa keduanya datangi saat menjelang musim dingin seperti ini. Wajah Langlang yang awalnya ditekuk tetiba menjadi sumringah begitu melihat seseorang yang sedang ngobrol dengan salah satu koki di sana. “Sepertinya, kita memang ditakdirkan berdekatan Nona. Apa kau masih belum mau memberikan nomer teleponmu padaku?” Lewa di belakang pria itu mendesah berat dan akhirnya menghampiri Savira. Merangkul pundak wanita itu sambil berkata, Savira sempat tertegun. Namun ia langsung mengerti apa yang akan dilakukan Lewa padanya. “Kau benar-benar mau merebut kekasihku, Tuan Muda Langlang?” Savira mendongak. Langlang juga menatap tajam sahabat berkaca matanya itu. “Benarkah? Tadi anda bilang Nona Savira hanya gebetan? Kenapa sekarang anda bilang dia wanita anda Tuan Pahlewa? Dan sejak kapan juga anda punya kekasih?” “Do I have to tell you? Anda siapa memangnya?” Savira mulai tak nyaman dengan situasi mereka bertiga. Wanita itu memilih mengambil pesanannya. Namun, rangkulan Lewa membuatnya tak bisa berkutik. “Mas? Kamu mau apa?” “Dengar sendiri bukan Tuan Muda Langlang bagaimana Nona Savira yang cantik ini memanggil saya dengan panggilan Mas?” “Sialan lo, Tokek!” Langlang dan pria bernama asli Pahlewa itupun tertawa. Savira kebingungan. Langlang kemudian menghampirnya dan mengulurkan tangan. “Maafkan aku ya, Vira. Maaf sudah berlaku tidak menyenangkan. Aku sahabatnya si kutu kupret buku berkaca mata ini.” Savira tertegun sejenak sebelum akhirnya menatap Lewa dan mencari penjelasan. “Maafin temen Mas, ya? Dia memang begitu.” Savira mendesah lalu meraih jabat tangan itu sebentar dan segera melepasnya lagi. Namun, lagi-lagi Langlang menahannya. “Jadi, kalau sudah berteman begini apa aku masih belum boleh dapet nomer telpon kamu?” Savira menepis keras jabat tangan mereka lalu mengambil pesanan bentonya dan berpamitan pada semuanya. “Udah, nggak usah ngarep! Inget, lo gangguin dia lagi urusannya sama gue. Paham Tuan Muda Langlang?” Pria tampan yang sedang melanjutkan studi S2-nya di Jepang itu hanya bisa mendengus sambil memperhatikan sosok Savira yang terlihat berjalan ke arah halte bus. “Lo beneran nggak niat jodohin gue sama dia? Siapa tahu patah hati gue langsung sembuh kalau dirawat sama Suster Vira.” “In your dream!” “Sialan lo!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD