bc

The Unexpected Love (Indonesia)

book_age18+
743
FOLLOW
10.5K
READ
family
fated
brave
drama
sweet
bxg
female lead
city
nurse
stubborn
like
intro-logo
Blurb

Blurb :

~Siap jatuh cinta? Maka kamu juga harus siap patah hati~

Meski pernah mendengar kalimat tersebut, dan menyetujuinya, Savira bertumbuh menjadi perempuan yang penuh kasih tapi kesulitan menyembuhkan luka-luka di hatinya akibat jatuh cinta tanpa siap patah hati.

Patah hati karena tak tau jadi orang ketiga, juga merana ditinggal mati sang kekasih hati dan sendirian menanggung hidup anak hasil cintanya dengan sang suami.

Savira yang berusaha bertahan hidup di negeri orang bagaikan rumput liar yang mengering perlahan saat kemarau.

Savira menutup rapat pintu hatinya untuk sebuah rasa yang dinamai ‘CINTA’ sampai ia bertemu dengan Langlang, pria patah hati yang sempat terkesima pandangan pertama pada Savira, Perawat berwajah datar yang tampak tegas dan defensif padanya.

Akankah pintu hati Savira yang sudah ditutup rapat itu kembali terbuka dan bisa menerima kehadiran cinta yang ditawarkan Langlang? Ataukah Savira akan selamanya menyimpan hati hanya untuk ia dan anaknya seorang?

~Cinta adalah getaran kebahagiaan yang membuat detak jantungmu terus berdegub, bahkan ketika hanya namanya yang menyapa pikiranmu~

Bandung, 28 Maret 2021 saat pertama kali cerita ini kutulis.

Design cover create with Canva Pro and Pixabay

chap-preview
Free preview
TUL 1 - Patah Hati
“Aduh!” Savira meruntuki dirinya sendiri, kesal begitu menyadari kalau dirinya terlambat bangun pagi ini. “Shindu! Shindu! Sayang! Bangun yuk! Bunda terlambat nih.” Bocah kecil bernama Shindu itu langsung terduduk sambil menguap dan meregangkan tangannya begitu sang Bunda mengguncang tubuhnya. “Bunda nggak nyalain alarm ya?” Savira mengangguk. “Maafin Bunda ya?” “It’s oke Bunda Sayang,” sahutnya lalu bangun dan masuk ke kamar mandi sementara sang Bunda membereskan tempat tidur mereka. Shindu mandi sendiri. Bocah itu terbiasa mandiri karena pekerjaan sang ibu yang sering kali menuntut shift lebih. Mereka juga hanya tinggal berdua. Karena itulah Shindu dituntut untuk terbiasa mandiri sejak usianya empat tahun. Saat mereka pindah ke apartemen sederhana ini satu tahun yang lalu. Usai membereskan tempat tidur, wanita itu pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Namun, belum kakinya sampai ke luar kamar, bunyi ponselnya terdengar nyaring. Savira terpaksa kembali ke dalam kamar dan mengangkat telepon dengan dering panggilan khusus dari orang terdekatnya. “Halo, Mas.” “Kamu pasti terlambat? Mas kan sudah bilang kalian menginap saja di sini kemarin,” omel pria di seberang telpon sana. Savira mengusap tengkuknya. “Aku nggak enak nanti kalau Mas harus nganterin ke Rumah Sakit. Kan beda jalan kalau dari rumah Mas.” “Ya sudah. Setengah jam lagi Mas sampai. Nggak usah siapkan sarapan. Ada sandwich dan bento.” Savira terkekeh. “Iya. Mas selalu yang terbaik. Makasih. Hati-hati nyetirnya.” “Tentu saja!” Klik …. Savira mendesah lega. Setidaknya ia tak perlu menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Waktunya jadi lebih hemat. Lagipula, di sekolah Shindu anak-anaknya akan makan makanan yang sama untuk menu makan siang yang sekaligus disajikan oleh mereka sendiri. Jadi Savira juga tidak perlu menyiapkan bekal makan siang untuk Shindu. Ia cukup menyiapkan s**u permentasi untuk dan beberapa snack sehat untuk camilan bocah itu. Salah satu hal yang Savira sangat syukuri setelah memilih tinggal di Jepang dan membuatnya tenang meski harus meninggalkan anaknya lama di sekolah. Wanita itu pun lantas menyiapkan pakaian anaknya sebelum ia sendiri mandi di kamar mandi yang lain. Hanya belasan menit saja, keduanya sudah bersiap. Duduk meminum jus dan s**u sambil menunggu kehadiran seseorang yang akhirnya memencet bel apartemen mereka. “Daddy!” Shindu langsung loncat ke pangkuan pria yang dipanggilnya Daddy begitu pintu terbuka. “Kita langsung berangkat saja ya?” “Mas beneran nggak sibuk?” “Mas nggak sibuk Vira. Lagipula sudah kewajiban Mas antar Shindu. Daddy kan Ayahnya Shindu. Iya nggak?” tuturnya sambil memberikan tas kotak bekal makanan pada wanita itu. “Iya, dong!” jawab Shindu ceria sambil memberikan kecupan sayang di pipi pria yang usianya terlihat cukup jauh dari Savira itu. “Ayo berangkat sekarang!” imbuh pria itu diangguki Savira. Wanita itu kemudian berjongkok. Membiarkan Shindu mencium tangan lalu memeluknya. “Ibu kerjanya yang semangat ya. Shindu juga bakal semangat belajar di sekolahnya.” Savira tersenyum balas memeluk pria kecil itu lalu mengulur pelukan dan berseru, “SEMANGAT!” ucap keduanya dengan kompak. “Mas pergi dulu ya, Vira. Kamu hati-hati bawa motornya?” Pria itu mengusak sayang puncak kepala Savira. Savira mengangguk. Berpisah di bawah setelah memasangkan seat belt dan mentupkan pintu mobil untuk sang anak dan melambaikan tangan. Bergegas wanita itu pergi menuju tempat di mana ia memarkirkan motornya listriknya. Lagi-lagi Savira memekik kesal, meruntukki kecerobohannya yang lain karena motor listriknya lupa diisi daya. Sialnya lagi, Savira tak punya sepeda. Baru ia sadari kalau sepeda benar-benar penting kali ini. “Baiklah. Bulan depan beli sepeda Savira. Lagipula Shindu kayaknya udah pengen juga,” lirihnya kemudian bergegas pergi ke stasiun untuk naik kereta. Savira terengah-engah tiba di stasiun setelah berlari dari apartemennya. Tapi sepertinya hari ini memang hari sial Savira. Ada kejadian luar biasa yang menyebabkan keterlambatan kereta sudah bisa dipastikan akan berlangsung lama. “Ya ampun! bunuh diri lagi,” keluhnya dengan bahasa Indonesia. Takut didengar orang sekitarnya. Setelah memegangi kedua lututnya dan mendongak melihat papan pengumuman, Savira menegakkan punggung. Sudah tak aneh lagi jika di Jepang banyak kejadian seperti ini. Orang-orang akan membuka kunci pintu otomatis kereta lalu lompat bunuh diri dari dalamnya. Membuat perjalanan kereta lainnya terhambat. Setidaknya satu jam kedepan. Itupun paling cepat. Padahal lalu lintas sedang padat jam pekerja. Tak ada waktu lagi Savira pun bergegas keluar stasiun, berlari ke arah halte bus. Benar-benar ingin mengeluh, wanita itu hanya berlari lagi menuju halte terdekat, dan untungnya ia berhasil mendapatkan bus. Savira tampak gugup. Berulang kali melirik jam di pergelangan tangannya untuk memastikan berapa lama lagi waktunya tiba. Ini kali pertamanya Savira berangkat ke rumah sakit menggunakan bus. Dan dari halte tempatnya berhenti Savira lagi-lagi harus belari lagi karena jarak Rumh Sakit tempatnya berkerja cukup jauh dari sana. Dadanya sesak. Pakaian yang dikenakannya juga basah karena keringat. Padahal sudah akan musim dingin. Langkahnya mendadak terhenti begitu sudah akan sampai di depan IGD. Savira yang terlambat lima belas menit itu pun langsung disuguhi pemandangan kacau di depan pintu masuk IGD. Terjadi kecelakaan bus sekolah dengan sebuah truk yang mengakibatkan penumpannya mengalami luka parah. Beberapa harus dioperasi. Termasuk supir truk kontainer yang terkena serangan jantung sehingga mobil yang dikemudikannya oleng dan menabrak bus. “Ya Tuhan. Ada apa ini?” “Kecelakaan, Vira. Ayo lekas! Akan ada operasi.” Savira tak punya waktu untuk menghela nafas. Wanita itu berlari lagi menuju ruang ganti dan hampir saja menabrak rekannya yang juga sedang diburu waktu. Savira mengangguk sambil meminta maaf lalu bergegas masuk ke dalam ruang ganti perawat wanita. Sial! Sekali lagi kesialan itu mendatanginya. Ia sepertinya ketinggalan tas yang berisikan seragam scrub yang biasa ia kenakan selama berjaga di IGD dan ruang operasi di dalam bus yang tadi ditumpangi. “Bagaimana ini?” Ceklek … “Savira! Cepat! Kenapa kau melamun?” “Seragam baru yang sudah kucuci tertinggal, Kujira.” Wanita yang satu departemen dengan Savira itu langsung menggeleng tak percaya. Savira ceroboh sekali kali ini. “Pakai punyaku,” unjuknya pada loker miliknya. Savira tak bisa menolak. Tinggi mereka sama tapi ukuran tubuh Kujira lebih kecil darinya. Namun, apa mau dikata. Daripada ia tidak memakai scrub-nya. Savira mencuci wajah dan mengelap tubuhnya sedikit sebelum mengenakan seragam dan bersiap menuju ruang operasi. Alhasil wanita itu sedikit tak nyaman ketika mengenakan pakaian yang agak ketat di tubuhnya. Setelah berjam-jam operasi, Savira kembali ke ruangan istirahat dan membuka sarapan yang belum dilahapnya sama sekali. “Vira san?” Punggung lelah itu langsung tegap begitu mendengar namanya dipanggil. “Hai, Sensei?” “Setelah ini temani saya ke IGD ya?” “Berapa menit lagi?” “Lima menit. Cukup untuk menyelesaikan sarapan terlambatmu sekali bukan?” ledek sang Dokter ditanggapi Savira dengan senyum. “Hai! Arigatou gozaimasu, Sensei!” Dokter pria itu pun melambaikan tangan sebelum menutup pintu ruangan. Savira bergegas menyelesaikan sarapannya. Sudah hampir dua tahun ini ia bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta di Jepang. Ritme kerjanya memang serba cepat. Tapi Savira sudah terbiasa. Termasuk memakan makanannya dengan cepat karena bangun kesiangan. Meski begitu, sesuai cita-citanya Savira menjalani profesi tersebut dengan senang hati. Rencannya ia akan meneruskan program studinya sebagai perawat. Namun, masih belum menemukan waktu yang pas mengingat ia punya anak kecil yang juga harus diurus. Savira bergegas mencuci tangan dan menghampiri Sensei yang memintanya menemani ke IGD. Mereka memeriksa beberapa pasien lainnya yang berdatangan. “Keluhan pasien ini apa?” tanya si Sensei pada Dokter jaga yang awalnya memeriksa dan meng-input data pasien di komputer. “Dia bilang dadanya sesak dan sakit sekali.” “Demam?” Dokter jaga itu menggeleng. “Tensi darahnya rendah tapi ritme jantungnya di angka normal. Tidak ada keluhan mual atau berdebar. Dia bilang ingin tetap diperiksa.” “USG? EKG?” Dokter muda itu mengangguk lagi. “Baiklah. Ayo Suster Vira,” pungkasnya. Savira mengangguk. Mengikuti langkah Dokter senior itu menuju sebuah brankar yang diisi seorang pria dengan wajah muram dan lesu, tak terlihat sedang terluka atau kesakitan. Lingkaran hitam di matanya menunjukkan kalau pria itu seperti kurang tidur. “Selamat pagi!” ucap sang Sensei lalu memeriksa papan d**a berisi catatan pasien yang baru saja diserahkan Savira. Pasien ini memang tidak pernah punya riwayat sakit yang terekam dalam rekam medik Rumah Sakit ini. “Apa yang ada rasakan saat ini, Tuan?” tanya si Sensei. “Sakit.” “Di bagian mana?” Pria itu menunjuk dadanya dengan tangan. Savira sedikit aneh dengan ekspresi pria itu. Seperti orang yang mati rasa. “Apa sakitnya menjalar sampai ke punggung?” Pria itu menggeleng. “Lebih dari itu.” Dokter dan Savira mengerutkan keningnya. “Maksud anda?” “Sakitnya lebih dari itu. Menjalar sampai ke seluruh tubuh bahkan hingga ke tulang dan darahku.” Dokter dan Savira pun kembali menukar tatapan aneh. “Tuan, apakah anda benar-benar sedang terluka dan merasa kesakitan?” Pria itu mengangguk. “Iya. Aku patah hati.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.2K
bc

My Secret Little Wife

read
97.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook