Bab 3 - When Disaster Come

1003 Words
Rani terduduk lemas di kursi ruang tunggu depan ruang pemeriksaan Deeva. Air matanya tak berhenti keluar. Tubuhnya bergetar, dia meremas kedua tangannya sembari mengigit ujung bibir. Meruntuki kebodohanmu yang tidak mengetahui bahwa Deeva sakit. Dia merasa lalai menjadi seorang ibu. Terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak memperhatikan kesehatan Deeva. Dalam hati, dia terus berharap Deeva baik-baik saja, menghipnotis pikirannya bahwa hal terburuk yang dia takutkan tak akan pernah terjadi. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" Pekik Rani saat melihat dokter keluar dari ruang pemeriksaan. "Kami belum bisa memastikan, anak ibu harus menjalani pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui penyakitnya," ucap dokter wanita itu. "Tapi, anak saya nggak apa-apa, kan Dok?" Rani panik tanpa sadar menggoyangkan tangan dokter wanita itu meminta penjelasan. "Anak saya tadi pagi masih baik-baik saja, dok. Dia bahkan masih bisa tertawa gembira bersama saya. Katakan dokter anak saya nggak apa-apa?!" Tangis Rani histeris sembari terus mengguncang tubuh sebelum kemudian tubuhnya luruh. Dokter itu terenyuh, sontak dia mengangkat ibu muda di depannya. Dia mengerti perasaan ibu muda ini, anak sulungnya juga seusia gadis kecil yang dia rawat tadi. Tau bahwa ibu ini begitu ketakutan melihat buah hatinya terbaring di ranjang rumah sakit. "Ibu tau sejak kapan anak Ibu radang gusi dan memar seperti itu?" Tanyanya pelan. Rani terdiam memikirkan sejenak kapan Deeva terakhir mengeluhkan sakit pada mulutnya, "Radang gusinya sejak satu bulan yang lalu, dok. Tapi, memar kebiruan itu baru saya ketahui pagi tadi. Ada apa dengan anak saya, Dok?" Tanya Rani mulai kembali panik. Dokter itu terdiam, dari raut mukanya seolah mengatakan penyakit yang Deeva alami sedikit serius. "Katakan sama saya, Deeva nggak kenapa-napa kan, Dok?!" Tanya Rani was-was dengan air mata yang tak berhenti mengalir. "Saya belum bisa memastikan, tapi dari gejala yang saya lihat, anak ibu kemungkinan menderita Leukima," ucap dokter itu pelan. "Le-leukima, Dokter?" Tanya Rani dengan suara bergetar memastikan bahwa dia salah dengar. Air matanya mengalir dengan deras. Tubuhnya luruh ke lantai, kakinya lemas tak mampu menopang tubuhnya saat mendengar malaikat kecilnya sedang sakit keras. Jantungnya seperti diremas begitu kencang. Kepalanya seperti dipukul ribuan palu. Tangisnya semakin keras, beberapa kali, dia meneruskan nama Deeva. Dia tak sanggup memikirkan harus berpisah dengan buah hatinya. Dokter itu kembali mengangkat tubuhnya, "bisa saja saya salah. Anak ibu perlu melakukan pemeriksaan lanjutan," kata dokter itu mencoba menenangkan. Ditatapnya ibu muda di depannya sebelum kemudian memberi tissu kecil yang selalu dia bawa kemana-mana. "Ibu harus kuat," katanya membuat Rani memandang uluran tangan itu, "anak ibu sedang menunggu ibu sekarang. Ibu nggak mungkin memperlihatkan tangisan itu kan?" Lanjutnya membuat Rani tersadar. Dengan cepat, Rani menarik beberapa tissue dari tangan dokter itu sebelum kemudian menghapus air matanya dan berdehem. Dia tak ingin malaikat kecilnya melihat wajahnya pernug dengan air mata. ***** Rani menahan Isak tangis, menatap Deeva yang terkulai lemah di atas ranjang rumah sakit setelah berbagai pemeriksaan yang dia jalani. Berbagai alat yang terpasang di tubuh mungilnya membuat dadanya sakit. Perlahan, tangannya menggenggam tangan Deeva yang tak terpasang jarum infus. Mengecupnya beberapa kali, kemudian menempelkan di pipinya sembari membisiki Deeva agar cepat bangun. Rasanya tak sanggup melihat anaknya yang selalu ceria kini diam. Dia tak ingin Deeva berlama - lama di rumah sakit. Hatinya hancur saat dokter memvonis Deeva terkena Leukimia. Kenyataan yang begitu tiba-tiba ini membuatnya tak siap. Dia tak becus menjadi seorang ibu sehingga membuat Deeva harus terkena penyakit menyakitkan itu, dia terlalu sibuk mencari uang dan akhirnya mengabaikan kesehatan Deeva. Dia yakin bahwa Deeva tidak begitu saja mengidap penyakit ini. Banyak gejala yang terjadi, namun dia mengabaikannya. Tangisnya kembali pecah. Berharap hasil pemeriksaan kecocokan sumsum tulang belakang yang dijalani tadi cocok dengan malaikat kecilnya. Tami, wanita pengasuh Deeva itu menatap Rani dengan cucuran air mata. Dia tak sanggup melihat seseorang yang sudah dia anggap sebagai kakaknya itu hancur. Pandangannya mengarah ke arah Deeva, gadis cantik yang ia jaga itu tak pernah sekalipun mengeluh sakit. Dia selalu terlihat ceria dan kuat bahkan saat harus ditinggal Rani bekerja. Dia ingat bagaimana paniknya dia saat Rani menyuruh datang ke rumah sakit. Dengan tergopoh memasuki rumah sakit. Lututnya lemah saat melihat Rani terduduk sembari menangis keras memanggil Deeva. Hatinya sakit melihat gadis kecil itu terbaring dengan selang oksigen yang ada di hidungnya. Rani orang yang begitu berjasa kepadanya. Ia datang disaat ia baru saja kehilangan kedua orang tuanya. Kesedihan yang sama membuat Rani meminta agar Tami mengikutinya kepada Paman yang merawat Tami. Rani sudah menganggap Tami sebagai keluarganya sendiri, membiayai hidup bahkan menyekolahkannya hingga lulus SMA. Awalnya Rani bahkan hendak menguliahkannya, namun Tami menolak, Ia lebih suka menjaga Deeva setiap harinya. "Permisi Bu, Ibu dipanggil dr. Riska ke ruangannya," kata salah seorang perawat membuat Rani tersadar lalu segera menghapus air matanya. Rani membenarkan pakaiannya yang kusut lalu bergegas menuju ruang dokter yang menanggani Deeva. Di dalam hatinya ia berharap ada secercah harapan dari hasil pemeriksaannya. "Tam, jaga Deeva ya" ucap Rani dengan suara parau, Tami mengganguk lalu berjalan ke arah tempat duduk yang ditempati Rani tadi. *** Rani terkulai lemas saat Dokter mengatakan sumsum tulang belakangnya tidak cocok. Jalannya tertatih menuju kamar Deeva, pandangan matanya kosong. Beberapa kali, ia harus berhenti dan menyandarkan tubuh ke dinding koridor. Air matanya kembali tumpah, entah sudah berapa lama air matanya keluar selama beberapa hari ini. Terlalu banyak kabar buruk yang dia terima hanya dalam waktu tiga hari. Dokter memang mengatakan bahwa kemungkinan kecocokan mereka memang sangat kecil. Golongan darah Deeva berbeda dengannya. Saat dokter menanyainya apakah ada keluarga lain yang bisa menjadi donor untuk gadis kecilnya, Rani terpaku. Keluarganya da Pria itu bahkan tak tahu akan kehadiran Deeva. Dapatkah dia meminta mereka memberikan sumsum tulang belakangnya kepada Deeva? Kesadaran itu datang kepada Rani, bergegas dia berjalan menuju kamar Deeva. Mengambil tas dan kunci mobil setelah meminta Tami untuk menjaga anaknya sampai dia kembali. Setidaknya ia harus berhenti bersembunyi dan bertemu dengan mereka. Sebesar apapun kebencian mereka kepadanya karena tak memberikan kabar setelah hampir 6 tahun tak Rani pedulikan. Kesembuhan anaknya, malaikat kecilnya adalah nomor satu. Rani harus mendatangi mereka dan meminta untuk mendonorkan sumsum tulang belakang untuk malaikat kecilnya walaupun dia harus berlutut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD