"Vano, kamu gak makan?" Hendra bertanya, menghentikan langkah kaki Vano yang sedang menaiki anak tangga. Vano terdiam 5 detik, kemudian dia membalikkan badannya lalu menatap laki-laki yang sedang menatapnya juga.
"Gak yah, Vano gak laper," jawab Vano ketus, lalu meneruskan langkahnya lagi menuju lantai 2.
Dara dan Shinta hanya melihat dengan kebingungan. Vano, anak yang memiliki 'perut karet' bisa tidak lapar, ah tidak mungkin.
...
Tok tok tok
Ketukan pintu semalam ini, sangat jarang terdengar oleh Vano, dan Vano jelas tahu siapa yang baru saja mengetuk pintu kamarnya.
"Boleh ayah masuk?"
Hendra berdiri di depan pintu kamar Vano, dengan senyumannya, ketika melihat anaknya yang terakhir ia lihat masih pendek sekali. Setelah Vano memberikan jalan pada Hendra, supaya lelaki paruh baya itu masuk ke dalam kamarnya, Hendra langsung melihat sekeliling kamar Vano. Dia sudah tidak melihat kamar Vano selama 4 tahun.
"Ayah mau ngapain?" tanya Vano, sontak membuat Hendra kembali menatap mata Vano.
Hendra berjalan menuju tempat tidur Vano dan menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur Vano.
Vano berdecak, menatap Hendra yang sepertinya hanya ingin usil padanya. "Yah, Vano ngantuk. Kalau gak ada yang penting keluar aja deh," keluh Vano dingin sambil menatap Hendra malas. Sedangkan Hendra memejamkan matanya sebentar.
"Kamu masih dendam?" tanya Hendra, membuat Vano terdiam. "Ayah tanya, kamu masih dendam?" tanya Hendra lagi.
"Ayah, Vano lagi gak niat ngomongin itu." Vano lagi-lagi menjawab ketus.
"Ayah liat kamu masih gak mau nganggep Dara sebagai adikmu." Hendra kini bangkit dari posisi tidurnya menjadi duduk.
"Ayah."
"Vano."
"Yah, Vano lagi gak niat ngomongin itu." jawab Vano sembari duduk di sofa kamarnya.
"Kamu lebih mementingkan Naura daripada adikmu?"
"Ayah." Vano berusaha menghentikan pembicaraan Hendra. Dia tidak mau mengingat masa lalunya lagi.
"Vano." sahut Hendra, membuat Vano semakin kesal.
"Ayah, Vano gak mau inget masalah itu lagi." jawab Vano dengan nada sedikit kesal.
"Kalau kamu tidak mau mengingat masalah itu lagi, kenapa kamu masih tidak bisa menganggap Dara sebagai adikmu?"
Vano kembali berdecak. “Ayah gak tahu suatu hal. Kalau Ayah tahu, mungkin Ayah akan sama marahnya sama aku,” balasnya.
“Kita keluarga loh, Van.” Hendra memperingati.
"Ayah, Vano ngantuk. Ayah keluar aja deh, Vano mau tidur, besok mau sekolah."
"Vano, Vano, kamu ini seperti anak kecil. Ya udah, kamu tidur. Tapi, ayah akan meminta jawaban itu lagi."
"Udah, Ayah keluar." Vano langsung menarik lengan kanan Hendra, sehingga posisinya kini tengah berdiri. Vano mendorong Hendra keluar dari kamarnya, sedangkan Hendra hanya tertawa jahil melihat kelakuan anak pertamanya.
...
"Andara?" Dara menengok, karena merasa namanya dipanggil. Saat berbalik Dara mendapati laki-laki yang sedang ia tidak sukai sama sekali.
"Hm." jawab Dara singkat, padat, tidak jelas.
"Ih sok-sokan belajar jadi cewe dingin."
"Ada apa, Kak Darren?" tanya Dara dengan senyuman terpaksa.
"Besok jam 4 sore gue jemput ya." Dara hanya menatap Vano dengan wajah datar. "Baru pertama kali, gue liat cewe dingin. Gue kira cuma cowo doang yang bisa dingin," tambah Darren dengan melihat arah lain. Dara tidak meladeni Darren, malah ia langsung berjalan menuju ke kelasnya.
....
"Hiat weng..." ucap Yoyo asal dan langsung melempar tempat pensil Rara yang berisi lebih dari 12 pulpen ke arah pintu.
"HADUH!" teriak Dara yang terkena lemparan tempat pensil, tepat di dahinya. Yoyo yang merasa salah sasaran itu, langsung mengalihkan pandangannya berusaha tak melihat wajah garang Dara.
"SIAPA YANG NGELEMPAR?" tanya Dara dengan nada tinggi. Semua anak yang berada di kelas sontak menunjuk Yoyo, yang sedang pura-pura melihat foto di bagian belakang kelas.
Dara mengambil tempat pensil tersebut dan berjalan menuju Yoyo. Dalam jarak sekitar 1 meter, Dara melemparkan kembali tempat pensil Rara dan strike! Tempat pensil itu mendarat dengan tepat di kepala belakang Yoyo, membuat Yoyo meringis kesakitan.
"TEMPAT PENSIL GUE WOYYY!" teriak Rara yang tidak diperdulikan Dara maupun Yoyo. Yoyo masih mengusap-usap kepala belakangnya, sedangkan di dahi Dara sudah meninggalkan jejak merah yang cukup lebar. Dara menatap kesal Yoyo, membuat Yoyo menundukkan kepalanya.
"Ini cewe galak juga ya."
Beberapa siswa di kelas langsung menengok ke arah suara yang tidak begitu familiar. Berbeda dengan Dara yang masih tetap di posisinya, karena suara yang menurutnya sangat familiar.
Kayak kenal nih suara. Dara membatin. Ia menengok dan benar saja, Darren berada di hadapannya hanya beda 10 cm.
"Darren!" teriak Dara yang terkejut dan spontan mendorong Darren untuk menjauh.
"Panggil gue Kak! Bentar, ini merah kenapa?" Perkataan Darren langsung teralihkan, karena bekas merah di dahi Dara. Darren menundukkan kepalanya sedikit, sehingga sejajar dengan kepala Dara, kemudian Darren mengelus pelan dahi Dara yang merah.
Astaga baper gue Darren! Batin Dara. Pipinya sudah mulai memerah malu.
“Popcorn woy!”
“Bioskop mulai!”
Siswa di kelas Dara sudah mulai bersiul-siul jahil dan ada yang berteriak.
"Nga-ngapain lo disini!?" balas Dara yang masih berusaha menenangkan pendemo di dalam hatinya. Darren lantas menurunkan tangannya dari dahi Dara.
"Ya lo, ninggalin gue!" jawab Darren tiba-tiba ketus.
"Udah balik sono!"
"Eh, Darren, dicariin malah ngapel disini," ucap Figo mengagetkan Dara dan Darren.
"Udah balik sana!" usir Dara lagi. Darren hanya menatap tajam Dara.
"Istirahat ke kantin atau gak lo gue datengin setiap jam istirahat selama 1 bulan!" ucap Darren lagi, sebelum dia menghilang dari pintu kelas.
Kok bisa ya gue dapet masalah sama nih anak. Gumam Dara pelan.
"Lo jadian sama kak Darren?" tanya Andien membuat Dara bangun dari lamunannya.
Haduh, Dara jadi meringis kalau Andien dan Dino berpacaran. Karena, secara tidak langsung Andien selalu berada di kelas Dara.
"Ih, apasih enggak kok." Dara membalas, sembari mengambil buku Bahasa Indonesia miliknya.
"Awas ya bohong! Udah gue balik ya." Andien pun kembali ke kelasnya.
"Guys! Pak Denny gak masuk, kita dikasih tugas, tapi gak usah dikerjain ya." Ucap Bagas membuat kelas yang tadinya rusuh menjadi diam.
"Lo aneh, Gas, masa gak dikerjain!" protes Rara.
"Ya lo kalau mau kerjain, tinggal kerjain. Disuruh kerjain hal 18, 20, 25, 26, 29, sama 31. Tuh yang mau kerjain ya kerjain aja," jelas Bagas yang direspon dengan suara kelas yang kembali ricuh.
"Udah ah gue mau ke kantin," ucap Dara meninggalkan kelas. Tak perlu waktu 2 menit sudah banyak yang mengikuti Dara. Yoyo dan Bagas sudah berada di kanan kiri Dara. Sisanya sudah berlari menuju kantin, karena takut ketahuan guru.
"DARA, BAGAS, YOYO!!" panggilan dengan teriakan tersebut membuat Yoyo, Bagas dan Dara menengok ke belakang untuk mencari asal suara teriakan tersebut dan telinga yang masih ditutupi tangan, karena kerasnya teriakan.
Yap, di belakang Yoyo, Bagas dan Dara sudah ada wanita berbadan besar, dengan rambut di konde dan memakai kacamata, itu adalah Bu Diah, guru tergalak nomor satu di SMA Pahlawan.
"Eh Ibu, apa kabar?" Dara berusaha mengalihkan pembicaraan dan tersenyum dengan senyuman andalannya.
"APA KABAR-APA KABAR! KALIAN SEMUA MAU KEMANA!?" bentak Bu Diah dengan nada tinggi.
"Mau ke kantin, Bu.” Dara membalas. “Kenapa Bu? Ibu mau ikut,” lanjutnya asal.
"Oh kamu mau ke kantin. Boleh kok." Bu Diah berujar, tetapi kemudian ia menjewer kuping Dara. "Boleh, setelah kamu membersihkan gudang sekolah!" tambah bu Diah.
"Bu, cuma Dara aja kan bu. Kita gak usah."
"Enak saja, kamu sama Bagas membersihkan toilet!"
"Yah lo nanya sih Yo!" omel Bagas. Hanya dibalas dengan cengiran milik Yoyo.
"Oh iya, toilet wanita apa toilet pria bu?" tanya Bagas membuat Dara dan Yoyo menepuk jidat mereka masing-masing.
"Toilet waria, khusus Bagas!" jawab bu Diah menatap tajam Bagas.
"Hehe, maaf bu." Yoyo dan Bagas pergi menuju toilet cowo dan Dara pergi menuju gudang belakang sekolah. Gudang yang sangat ditakuti se-SMA Pahlawan.