Bab 4

1778 Words
    “Jadi, gimana?” tanya Ruby yang sedang mencomot kentang goreng pesanannya.     Siang ini Rana janjian bertemu dengan Ruby di mal. Tepatnya di salah satu restoran fast food di sana. Rana sangat lega bisa keluar dari rumah Sagara karena awalnya ia tidak akan diizinkan pergi jika tidak membawa bodyguard. Untung saja Rana tahu cara memerintah dan mengancam. Alhasil, Rana bisa keluar ke mal bertemu dengan Ruby hanya dengan sopir saja.     “Benar dugaan kamu, By. Sagara nggak nolak dijodohin sama kamu,” jawab Rana lesu.     “Terus, apa yang bisa kamu lakukan buat bikin Sagara berubah pikiran, Ran?”     “Aku berencana untuk menjadi orang yang tidak penurut terhadap Sagara. Siapa tahu dengan begitu dia malas menghabiskan sisa hidupnya sama kamu,” jawab Rana lagi.     Menurut Rana, pria seperti Sagara pasti memilki ego yang tinggi. Jenis orang yang tidak suka dibantah atau disepelekan. Dan sebagai Ruby, Rana bisa bersikap seenaknya sendiri karena Ruby pun terkadang memiliki kecenderungan tidak mau dipaksa melakukan ini dan itu. Jika dua orang keras kepala bersatu, bukanlah hanya akan menyebabkan ketidakharmonisan? Jadi, bisa jadi Sagara akan menyadari ketidakcocokan mereka dan memutuskan untuk membatalkan perjodohan itu. Rana rasa itu bukan ide yang buruk. Patut dicoba.     Ruby menganggukkan kepala. “Oke, terus kabarin aku pokoknya.”     “Iya, By,” balas Rana. “Omong-omong, gimana pertemuanmu sama Farand semalam?”     Ruby tersenyum lebar mendengar pertanyaan Rana. “Lancar. Dia titip salam buat kamu, Ran. Juga ucapan terima kasih sekaligus berduka karena aku nyuruh kamu berpura-pura jadi aku.”     “Risiko pekerjaan,” balas Rana terkekeh.     “Oh iya, mereka mempelakukanmu dengan baik kan di sana?”     “Iya, By. Aku punya kamar yang sangat luas. Terus aku juga punya pelayan pribadi. Bahkan Sagara menyiapkan bodyguard buat aku. Apa itu nggak berlebihan?”     Ruby tertawa ringan. “Nggak lah. Menurutku itu hal wajar untuk ukuran pelayanan buat calon istri Sagara.”     Rana menghela napas dalam. “Ya, sepertinya begitu.” Hanya saja Rana kan bukan calon istri Sagara yang sebenarnya.     Setelah selesai makan, mereka melanjutnya pergi jalan-jalan untuk berbelanja. Awalnya Rana menolak untuk berbelanja baju ataupun tas dan sepatu, tapi karena Ruby mengatakan bahwa akan terlihat aneh jika dirinya pergi ke mal tanpa membeli sesuatu, akhirnya Rana mengiyakan apa saja yang dipilihkan Ruby untuknya. Lagian, sudah seharusnya Rana yang sedang menjadi Ruby itu boros.     “Kamu bilang nanti malam Sagara ngajakin dinner?” tanya Ruby sambil menempelkan gaun berwarna ungu pastel ke badan Rana. Gaun itu tampak indah dengan tule bergambar bunga di bagian roknya.     “Iya. Tapi, aku belum memutuskan untuk datang,” jawab Rana.     “Kenapa?” tanya Ruby bingung.     Rana menghela napas dalam. “Apa kamu akan datang gitu aja kalau diajakin Sagara makan malam?”     Ruby mengangguk santai. “Iya. Aku akan datang. Bukankah itu momen yang tepat untuk mengenal Sagara lebih dalam? Dan dengan begitu semakin mudah buat kamu mencari strategi yang pas untuk melancarkan misi,” jawabnya. “Tapi, terserah kamu, Ran.”      “Iya juga sih, By. Tapi, aku tuh takut kalau berduaan sama Sagara. Dia punya aura mengintimiasi yang kuat. Belum lagi kalau aku salah ngomong dan malah bikin kedokku terbongkar.”     Ruby menepuk pundak Rana dan menatapnya dengan yakin. “Kamu nggak boleh pesimis. Ruby itu selalu optimis. Ngerti,” katanya.     “Iya, By,” balas Rana yang membuat Ruby tersenyum lebar.     “Beli ini, ya,” katanya menunjuk dress yang tadi ditempelkan ke tubuh Rana. “Sama itu.” Ruby menunjuk dress berwarna merah muda dengan potongan pas badan. Bagian pundak atasnya terbuka dan ada ruffle mengelilingi lengan dan d**a.     “Apa itu nggak terlalu seksi?” tanya Rana bingung.     “Nggak ada yang namanya terlalu seksi buat Ruby,” kata Ruby meyakinkan Rana.     Rana menghela napas dalam. “Terserah kamu lah, By. Aku pasrah aja.”     “Oke,” seru Ruby antusias. ***     Rana terdiam lama menatap beberapa gaun di lemarinya. Sebelumnya, ia tak pernah merasa sebingung ini untuk sekadar memilih pakaian yang akan ia kenakan. Namun, semenjak menjadi Ruby, ia merasa harus berhati-hati dalam banyak hal. Salah satunya adalah berpakaian. Karena Ruby itu modis dalam berpakaian.     Rana melirik gaun merah yang diberikan oleh Sagara. Ia menimbang-nimbang haruskah dirinya mengenakan gaun itu atau tidak. Tetapi, jika dirinya ingin menjadi seorang pembangkang di hadapan Sagara, seharusnya ia menghindari memakai gaun itu.     Rana menghela napas dalam. “Baiklah,” katanya menatap dress merah muda yang dibelikan oleh Ruby siang tadi. Rana akan mengambil keputusan nekat untuk mengenakan dress tersebut. Entah ia akan terlihat classy dan mahal atau seperti p*****r dan murahan ketika mengenakan dress itu. Yang mana saja sepertinya tidak masalah baginya selama tidak sesuai dengan yang diinginkan Sagara.     Rana menghabiskan waktu hampir satu jam untuk berdandan. Lalu, setelah siap ia langsung menuju mobil yang akan mengantarkannya bertemu dengan Sagara di salah satu restoran mewah. Dan sekitar satu jam kemudian Rana sampai di sebuah gedung bertingkat tempat ia dan Sagara akan malaksanakan makan malam.     Dengan jantung berdegup hebat Rana keluar dari lift dan berjalan memasuki pintu kaca yang dibukakan oleh pelayan restoran. Ia menatap sekeliling restoran mencari sosok Sagara. Restoran ini tampak begitu berkelas dengan dekorasinya yang mewah. Namun, di dalam restoran itu sangat sepi. Hanya ada seorang pria yang tengah duduk di meja yang berada di dekat kaca besar yang menampilkan pemandangan malam kota Jakarta yang penuh kerlip lampu. Itu adalah Sagara.     Perlahan Rana berjalan mendekat ke arah pria itu. Dagunya ia angkat tinggi dengan d**a yang membusung ke depan. Ia mencoba berjalan dengan anggun dan penuh percaya diri. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.     “Nona Ruby,” sapa Sagara menoleh ke arah Rana yang saat ini sudah berada di depan meja Sagara.  “Saya sempat berpikir jika kamu nggak akan datang,” tambahnya sambil bangkit berdiri menyambut Rana.     “Maafkan keterlambatan saya,” ucap Ruby sedikit menundukkan badan sebagai tanda penyesalan meskipun sebenarnya dirinya tidak benar-benar menyesal. “Sepertinya saya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mempercantik diri. Saya hanya tidak ingin tampill biasa saja di depan Sagara,” lanjutnya.     Sebenarnya Rana memang sengaja untuk datang terlambat. Ia malah berharap Sagara akan marah dengan keterlambatannya yang hampir setengah jam. Dengan begitu Sagara akan punya banyak alasan untuk menolak perjodohannya dengan Ruby yang sangat tidak profesional.     “Saya sangat tersanjung,” balas Sagara mempersilakan Rana duduk. “Tapi, saya lihat kamu tidak mengenakan gaun yang saya berikan.” Sagara mengamati Rana dengan seksama.     Rana duduk di kursi yang berhadapan dengan Sagara. Ia tersenyum kecil mendengar ucapan Sagara. “Warna merah membuat saya tampak lebih tua,” jawabnya. “Sepertinya begitu,” kata Sagara ikut tersenyum. Jenis senyum sopan yang tidak ingin menyinggung lawan bicaranya. “Merah muda memang cocok untuk kamu.”     Ucapan Sagara membuat wajah Rana bersemu merah. Ia merasa malu mendengarnya. Rana tidak benar-benar menyukai warna merah muda. Ia pun tidak beranggapan bahwa warna itu cocok untuknya. Warna itu terlalu tampak ceria untuk dirinya yang agak kelam. Rana tidak suka.     “Haruskah kita memesan makanan sekarang?” tanya Sagara.     “Oke,” jawab Rana mengangguk singkat.     Sagara memanggil palayan lalu mulai memesankan makanan untuk mereka berdua. Rana membiarkan Sagara memilihkan makanan untuknya karena dirinya agak bingung harus memesan apa.     Diam-diam Rana mengamati Sagara yang masih sedang berbicara dengan pelayan. Pria itu tampak luar biasa tampan dengan dandanan yang tidak begitu heboh. Malam ini Sagara mengenakan kemeja berwarna putih dibalut jas biru gelap yang tidak dikancing. Untuk ukuran pria yang sedang makan malam dengan perempuan yang akan dijodohkan dengannya, tampaknya Sagara tidak begitu terlalu berusaha dalam hal penampilan. Karena jika pria itu memang menantikan makan malam ini, seharusnya dia mengenakan sesuatu yang beraksen warna merah karena dia meminta Ruby mengenakan warna itu.     “Ada apa?” tanya Sagara melirik ke arah Rana. Tampaknya pria itu menyadari bahwa Rana tengah memperhatikannya.     Rana menggeleng pelan. Lalu ia menoleh ke sekeliling ruangan. “Restoran ini tampak sepi.”     “Saya sengaja menyewa restoran ini untuk kita berdua,” jawabnya menyunggingkan senyum.     Romantis sekali, sindiri Rana dalam hati.     “Great,” balas Rana.     “Saya dengar tadi siang kamu pergi ke mal tanpa bodyguard yang sudah saya siapkan?” tanya Sagara yang membuat Rana mengangguk. “Kenapa?”     “Ya, kenapa?” balas Rana. “Saya rasa saya tidak butuh bodyguard.”     “Itu kan untuk keselamatanmu, Nona Ruby.”     “Apa kamu nggak bisa panggil saya dengan nama saja tanpa embel-embel nona?”     Sagara tersenyum simpul dan menganggukkan kepala. “Tentu saja, Ruby.”     “Saya bukan anak presiden yang memerlukan pengawalan.”     “Tapi kamu anak dari Hendrick Addams.”     “Dan saya rasa nggak ada orang yang tahu jika saya anak dari Hendrick Addams selain kamu dan orang-orang yang bekerja untuk keluargamu.”     Ya, buktinya Sagara sendiri tidak tahu bahwa yang sedang duduk di hadapannya adalah Rana Azalia, bukan Ruby Leena Addams, anak perempuan satu-satunya dari Hendrick Addams. Jadi, jika Sagara saja tidak tahu, semestinya orang lain pun juga tidak mengetahui fakta itu.     Sagara mendenguskan tawa ringan. “Sepertinya begitu. Saya dengar, sebelumnya pun kamu selalu tertutup hingga tidak banyak yang tahu tentang Ruby.”     “Selain karena Papa orang yang terlalu protektif, saya pun tidak begitu suka menunjukkan diri kepada dunia luar. Jadi, mungkin karena itu tidak banyak orang yang tahu mengenai saya.”     Hendrick memang terlalu protektif terhadap Ruby. Pria itu menyewa banyak pengawal hanya untuk melindungi Ruby dari orang-orang yang ingin mencelakainya. Karena sebagai pengusaha sukses, banyak sekali pesaing yang ingin menjatuhkannya dengan cara-cara licik seperti menculik Ruby atau mengancam akan membunuh keluarganya. Pernah dulu sekali Ruby hampir diculik ketika pulang sekolah. Dan sejak kejadian itu Hendrick lebih merahasiakan sosok Ruby. Bahkan Hendrick pernah beberapa kali menyuruh Rana menggantikan Ruby untuk menghadiri pesta. Rana pun pernah jadi korban penculikan karena mereka kira dirinya adalah Ruby. Untung saja Rana tidak sampai disiksa dan berhasil ditemukan dalam beberapa jam.     “Kamu memang terlalu berharga,” kata Sagara dengan senyuman penuh arti.     Entah mengapa Rana merasa ucapan Sagara itu memiliki arti lain. Seperti Ruby berharga karena anak konglomerat. Bukan berharga karena memang benar-benar berharga.     Sungguh menyedihkan.     Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Mereka berdua menyantap makanan itu dalam diam. Rana sendiri berharap agar makan malam ini segera selesai. Dirinya tidak begitu nyaman dengan segala sesuatu yang terlalu formal seperti makan malam ini. Ia merasa harus benar-benar menjaga sikap agar tidak melakukan kesalahan.     Rana melirik Sagara yang tidak menampilkan ekspresi apa pun. Pria itu hanya diam dan mengunyah. Rana tidak melihat kebahagiaan dalam diri Sagara ketika berduaan dengan dirinya. Semua perlakuan baik dan ramah  Sagara semata-mata hanya karena sopan santun. Rana merasa ada harapan untuk Sagara menolak perjodohan tersebut.     Apa jangan-jangan Sagara sudah memiliki kekasih? Karena Ruby sendiri sudah memiliki pacar. Ya, pasti Sagara memiliki, paling tidak, wanita yang disukainya. Mungkin sebaiknya Rana mencari tahu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD