1. Miss Eces

1007 Words
Mereka sudah menemukan penjual pecel lele di pinggir jalan. Tidak mewah memang, angkringan ini biasa saja tapi cukup bersih. Ada wedang jahe juga untuk mereka minum agar badan menjadi hangat. Jesica memesan satu porsi dan Biyan juga memesan satu porsi. Embusan angin dini hari begitu dingin sehingga Biyan duduk di bagian dekat embusan angin agar sang istri tidak kedinginan. Duduk mereka juga posisinya tidak berjauhan agar Jesica merasa hangat. Sesekali Biyan merangkul. Ada pengunjung lain juga yang kebanyakan adalah seorang pria. Melirik-lirik Jesica dan memperhatikan kecantikannya. Biyan langsung melempar tatapan tajam jika orang itu memandang Jesica sangat lama. Biyan juga mengajak Jesica terus berbicara agar tidak melihat pria lain selain dirinya. "Pelan-pelan calon bumil. Belepotan nih." Biyan mengusap bibir Jesica dengan tisu. Jesica cukup cepat mengunyah makanan di piringnya. Sambal yang di ulek dadakan ini membuat dia nafsu makan dan sangat bersemangat. Baru kali ini Jesica bisa menikmati makanan malam-malam.  "Ini enak, dan aku laper." "Makan yang banyak ya. Biar lanjut lagi dua ronde." Bisik Biyan di dekat telinga Jesica. "Eh … kemesuman suami aku nambah ya?" Jesica bersiap menodai pipi Biyan dengan sambal yang ada di ujung tangannya. "Jangan Sayang. Panas nanti. Gimana gak nambah m***m kalo istrinya itu kamu!" Biyan mengedipkan sebelah matanya. "Si tukang gombal!" Jesica menghabiskan semua yang ada di piringnya. Hanya menyisakan tulang ikan lele saja. Sambal di ujung-ujung jarinya juga di jilati sampai bersih saking nikmatnya. Biyan jadi berpikiran kotor, miliknya juga ingin di jilati seperti itu. Bhahaha. "Abang itu kayanya tukang gorengan sama serabi ya?" Jesica melirik dari celah. Ada api, kayu bakar dan tungku-tungku kecil. "Masa sih ada yang jualan serabi di Jakarta?" Biyan melirik ke arah yang Jesica tunjuk. "Ih bener itu ada. Mau …." Jesica antusias. Padahal perutnya sudah di isi satu piring nasi, satu lele berukuran lumayan besar, sambal dan lalapan. "Hayu jalan kesitu." Biyan membayar makanannya dulu dan berjalan menuju penjual serabi bersama Jesica. "Eh kok ada anak kecil sih Bang. Itu di bawa orang tuanya jajan jam segini. Gak dingin apa?" Jesica melihat balita yang tengah di gendong dan disuapi ibunya. "Yuk tanya." "Bu saya pesan serabinya ya." Biyan memesan lebih dulu sementara Jesica duduk di sebelah ibu yang menggendong anaknya. "Mau berapa?" "Mau berapa Sayang?" tanya Biyan pada Jesica. "Empat bang." Dua untuknya dan dua lagi untuk Biyan. "Empat aja Bu."  "Silahkan duduk, di tunggu dulu, ya." Biyan ikut duduk di sebelah Jesica. Tepat di dekat tungku agar istrinya tidak terkena semburan api. "Ibu jajan serabi juga?" tanya Jesica pada orang tua anak yang menjadi perhatiannya. "Iya Neng." Ibu ini ramah dan sepertinya mau di ajak berbicara. "Ini anak ibu? Cantik sekali." Jeisca menuju kecantikan anak yang sepertinya berumur tiga tahun ini. Matanya sedikit sembab. "Makasih. Iya, lagi rewel ini tuh. Abis nangis kenceng banget kaya orang kesurupan." "Waduh. Kok bisa?" "Gak tahu. Anak pertama saya ini baik sekali … alias kebalikannya yah. Galak sama ngamuknya itu luar biasa. Jadi jam segini bawa aja jalan-jalan kesini sekalian jajan, berhenti deh nangisnya." Jika bukan karena anaknya menangis sangat kencang dan tidak mau berhenti, mungkin dia tidak akan keluar pada dini hari. "Oalah … adek cantik lagi bosen di rumah, laper juga kayanya makanya rewel ya!" Jesica berusaha mengusap anak balita ini tapi tangannya buru-buru di cubit oleh sang anak. "Ah … iya baik banget!" "Haha … maafin anak saya, Neng." Ibu ini jadi tidak enak hati karena anaknya nakal sekali. "Gak papa, namanya juga anak-anak. Lucu deh … aku jadi pengen." Kecantikan anak balita ini membuat Jesica kagum dan ingin segera mempunyai anak. "Belum punya anak?" Ibu ini mungkin mengira Jesica sudah punya anak karena pasangannya sudah terlihat dewasa. "Iya. Belum bu." "Semoga cepet di kasih momongan ya." "Aamiin. Lagi usaha dulu. Nikahnya juga masih baru." Jesica tersenyum ramah. "Wah … pengantin baru. Selamat ya." "Makasih." Biyan mengambil pesanannya dari penjual serabi dan di bungkus oleh daun pisang. "Sayang ini udah jadi. Makan di rumah aja ya?" "Iya." "Kami permisi ya Bu!" Jesica mengangguk sopan sambil melambaikan tangan pada sang anak. "Hati-hati di jalan Neng." Keduanya sudah berada di mobil. Jesica meraih serabi yang di belikan Biyan. Dia mungkin akan memakannya sambil menikmati perjalanan pulang. "Abang … lucu adek tadi." Jesica ajdi teringat anak tadi. "Mau?" "Iya mau satu." Dia mengangkat jari telunjuknya. "Sebelas dong biar rame." "Ih Abang. Emang beranak itu gak cape apah." "Yaudah gimana nanti, satu aja belum punya." "Nanti kaya gitu mungkin ya. Kalo anak rewel malem-malem, susah di tenanginnya jadi di bawa keluar rumah." Jesica membayangkan jika punya anak nakal seperti ibu tadi, atau memiliki anak yang baik dan pendiam seperti Diki. "Abang siap buat kalian dua puluh empat jam." Biyan mengusap perut Jesica. Jesica merasakan perutnya sedikit mulas dan ada sesuatu yang ia rasakan dari bagian bawah tubuhnya. "Abang …. Please buruan ke minimarket." Jesica sudah tak tahan lagi. "Ada apa?" Biyan buru-buru menginjak pedal gas agak dalam dan mencari minimarket terdekat. "Pokoknya buruan!" Jesica buru-buru membuka pintu saat sampai di minimarket tanpa menutupnya. "Pelan-pelan Sayang. Jangan lari." Jesica berlari ke toilet. Saat sudah sampai dan berjongkok. Dia melihat sesuatu yang sedang tidak ia inginkan. "Hmmm… gagal." Jesica buru-buru membeli roti Jepang dan memasangnya. Dia kembali ke mobil dengan ekspektasi kecewa. "Kenapa Sayang? Sakit perut gara-gara sambel pecel tadi?" Biyan meraih tangan Jesica. Dia khawatir perut Jesica kenapa-napa karena memakan sambal cukup pedas.  "Bukan. Gak liat yang aku bawa?" Jesica memperlihatkan barang bawaannya. "Ini pembalut ya?" Tebak Biyan. "Iya. Maaf ya Sayang. Usahanya gagal. Aku malah dateng bulan." Jesica merasa bersalah karena gagal memberikan keturunan. "Gak apa-apa. Bisa di ulang usahanya setelah masa menstruasi beres. Pantesan marah-marah kaya singa lagi bunting. Ternyata oh ternyata Sayang palang merah." Mungkin karena ini Jesica marah padanya saat di kantor tadi. "Iya. Maaf ya. Mood orang yang menstimulasi ambyar. Jadi mohon dimaklumi kalo galak." "Di maklum Nyonya!" Biyan mengangguk. Dia kemudian mendekat ke arah perut Jesica. Mengusap perut Jesica penuh sayang. "Adek benih di dalam perut Mama. Kamu memang gugur sekarang dan gagal jadi bayi ya. Jangan sedih. Untuk rahim Momy next Daddy isi lagi kamu ya. Tapi jangan gagal lagi. Muah!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD