Amadea 2

1041 Words
Melewati jalanan tandus dan berbatu tempatnya tinggal selama lebih dari seratus tahun membuat Amadea sedih. Sesekali ia akan menengok ke belakang, seolah Fusgus sedang melihatnya pergi. Mata bulatnya yang beriris kuning keemasan berkaca-kaca, berulang kali ia menghapus air mata dengan punggung tangannya. Hatinya teramat berat meninggalkan Fusgus. "Tuan, aku pasti akan pulang secepatnya," gumam Amadea. Berlari dan melompat dalam sekejap Amadea sampai di hutan belantara. Dengan bantuan burung penunjuk arah yang diberikan Fusgus, Amadea melangkah tanpa takut tersesat. Hanya saja setelah ia mencapai kedalaman hutan, energinya semakin menipis. Dia belum pernah melakukan perjalanan sejauh ini sendirian. Dang! Dang! Brugh! Terdengar suara langkah berat dan pepohonan yang tumbang dari arah yang jauh. Amadea yang saat itu tengah duduk beristirahat menyender pada sebatang pohon terkejut. Hutan terlihat gelap meski hari masih siang. Dalam keterkejutanya dia tetap tenang dan waspada sekelilingnya. Dung! Dung! Dung! Suara-suara gemuruh itu semakin mendekat. Kali ini Amadea bisa meraskan tanah yang ia pijak bergetar seiring dengan suara-suara itu. Jantung Amadea ikut berdebar dengan suara yang kini semakin dan semakin mendekat. Roarrr!!! "AAAARRRGGG!!!" Amadea berlari saat tiba-tiba sesosok mahluk hijau raksasa muncul dan mengaum di depannya. Dia kaget melihat deretan gigi yang begitu besar, busuk dan berlendir menganga lebar tepat di depan matanya. Belum lagi aroma bangkai yang menguar ke lubang hidungnya. Amadea hampir mengeluarkan semua isi perutnya saat itu. "Aaargggghhh! jangan mengejarku! Aku kurus, aku kurus. Aku tidak berdaging, tulangku pahit," jerit Amadea sambil terus berlari. Dia sudah merapalkan banyak mantra untuk melumpuhkan mahluk hijau raksasa berlendir itu tetapi tidak ada satu pun yang bekerja. Raksasa itu tetap kuat berdiri dan terus mengejarnya, dan berita buruknya adalah maluk itu tidak sendiri. Ada lima mahluk serupa yang ikut bergabung mengejar Amadea. "Tuan, tuan. Apa yang harus aku lakukan?" pekik Amadea dengan napas yang tersengal-sengal. Roarrr!!! Amadea mengenali mahluk hijau ini, mereka adalah orc dari gua yang berada di seberang gunung tempatnya tinggal. Dia tidak tahu mengapa para orc ini bisa sampai ke tengah hutan ini. "Tapi ... sepertinya mereka berbeda. Mereka terlalu liar dan ... tatapan mata mereka tidak seperti mahluk hidup," gumam Amadea saat ia berhasil sembunyi di atas batang pohon dan mengawasi para orc itu. Jika Amadea melawan dengan kekuatan fisik sudah pasti dia akan kalah. Jalan satu-satunya hanya bersembunyi jika dia masih ingin hidup. Belum ada lima menit Amadea dapat bersembunyi dari para orc, tiba-tiba saja pohon tembatnya bersembunyi tumbang. Untungnya di gesit dan melompat ke pohon yang lain untuk bersembunyi. Namun pohon yang ia tempati kembali tumbang, lagi dan lagi. Rupanya para orc itu tahu tempatnya bersembunyi dan menghancurkan batang pohon untuk membuatnya turun. 'Tidak bisa begini terus, bisa-bisa semua pohon akan tumbang,' pikir Amadea. Akhirnya Amadea melawan para orc dengan tangan kosong seorang diri. Ada yang tidak beres dengan para orc ini, mereka seperti di luar kendali pikiran mereka sendiri. Amadea bisa saja melawan mereka dan memberikan beberapa pukulan dan tendangan, tapi dia tidak tega saat melihat tatapan kosong para orc itu. Bug! Amadea yang naif, posisinya saat ini bukanlah untuk mengasihani orang lain. Pilihannya hanya ada dua, membunuh atau dibunuh. Begitu dia lengah, para orc itu melayangkan serangan pada tubuh mungil Amadea. Dalam hitungan menit saja tubuh Amadea dapat jatuh tersungkur karena mendpat pukulan beruntun dari para orc. Energi jiwanya dengan cepat meredup, dan tubuhnya babak belur. "Uhuk-uhuk ... aku ti-tidak bisa mati di sini ... aku ... harus membebaskan tuanku dulu," gumam Amadea. Hal pertama yang dia ingat meski sedang sekarat adalah Fusgus. Amadea terlalu lemah, hanya menghadapi orc dia sudah tidak berdaya. Tatapan matanya mulai berembun campuran antara air mata dan kesadarannya yang mulai hilang. 'Siapapun, tolong aku ... aku akan mengabdikan sisa hidupku pada siapapun yang menolongku, setelah aku berhasil menolong tuanku. Aku janji, aku janji,' ucap Amadea dalam hati. Kesadarannya semakin menipis, Amadea berharap dapat meneruskan misi yang diberikan sang tuan. Dia terus berusaha membuka matanya yang kian berat. Dia terus mengucapkan kalimat yang sama di dalam hatinya, berharap agar ada keajaiban dan seseorang akan menolongnya. Para orc itu meninggalkan tubuh Amadea yang tergeletak lemah di tanah. Mereka tidak lagi mempedulikan Amadea yang sudah tidak berdaya. Amadea bisa melihat ketika gerombolan orc itu pergi. Dia senang ditinggalkan dalam keadaan hidup, itu artinya masih ada kesempatan untuk melanjutkan misinya meski tubuhnya saat ini terasa hancur lebur. "Tolong aku," bisik Amadea. Tangannya terulur ke angkasa mengharapkan bantuna entah pada siapa. Tekadnya untuk hidup sangat besar, dia menolak untuk mmejamkan matanya meski hanya sesaat. Dia takut jika matanya terpejam maka dia akan meninggal sementara di Sterilen, Fusgus masih menantinya. "Aku harus hidup, aku harus hidup," bisik Amadea. Dalam keputus asaan dia melihat sesosok mahluk yang sangat cantik, dengan telinga runcing, rambut kuning bersinar. Amadea mengira dia adalah malaikat yang akan menjemputnya karena ajalnya sudah tiba. Air matanya jatuh tak terbendung karena tidak dapat mewujudkan keinginan Fusgus. Amadea menutup matanya, harapan hidupnya menguap bersama pandangannya yang gelap. *** Kedip-kedip, mata Amadea mengerjap beberapa kali. Dia terganggu dengan udara hangat yang menguar ke wajahnya. Begitu Amadea membuka matanya, dia terperanjat saat melihat wajah malaikat yang ia temui sebelum kesadarannya menghilang. 'Jadi, aku benar-benar sudah meninggal?' batin Amadea. "Kau sudah bangun?" tanya si pemilik wajah malaikat. Tangannya lalu meraih tubuh Amadea dan mengangkatnya ke udara, menghadapkan posisi wajahnya tepat berada di depan wajah si malaikat cantik. Amadea menggeliat dan menolak perlakuan malaikat cantik itu dan berusaha melepaskan diri. Dia menggerakan kaki dan tangannya menjangkau pemiliki wajah malaikat itu namun ia tidak sampai. Saat itulah dia menyadari kalau tangan dan kakinya lebih kecil dari biasanya, dan lebih berbulu. "Meow ... meow ...." Amadea berusaha bicara tapi yang keluar dari mulutnya hanya sara mengeong. 'Tidak mungkin, tidak mungkin! Aku tidak mungkin menjadi seekor kucing, kan?' pikir Amadea. "Galak sekali, kau sudah bangun, bola bulu putih?" sapa si pemilik wajah malaikat cantik, hanya saja suaranya sama sekali tak terdengar cantik. Suaranya sangat tampan. 'Apakah aku terlahir kembali sebagai seekor kucing atau jiwaku menyebrang pada seekor kucing?' pikir Amadea. Dia belum mengerti situasi yang terjadi pada dirinya. Pemilik wajah malaikat cantik itu membawa Amadea dalam pelukannya keluar dari dalam kamar. Dia menunjukkan pada Amadea pemadangan yang menakjubkan dari balkon kamar di ketinggian yang mengarah langsung pada keindahan di bawahnya. "Selamat datang di Argento Windland, negeri terindah dan damai di benua tengah." 'Astaga, aku sudah sampai di Argento Windland? Benarkah?' Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD