Chapter 10: Jurang Keputusasaan

1312 Words
[Kleigh’s POV] Berdasarkan cerita dari Elaine, kepergian para naga itu terlalu tiba-tiba. Seolah ada hal janggal dari alasan mengapa para makhluk sombong tersebut undur diri dari tanah yang telah mereka bakar sampai hampir habis. “Aku tidak begitu ingat, tetapi salah satu dari ketiga naga itu mengeluarkan raungan keras dan mereka langsung mundur begitu saja.” Sedikit aneh, bukan? Namun, hal aneh lain juga terjadi kepadaku sekarang. Dua orang dari kantor Earupress—perusahaan koran paling sukses dan sedang naik daun akibat selalu memburu berita panas tentang skandal serta kabar eksklusif lain. Itu yang dikatakan oleh Nona Firabell saat dia izin masuk di sela-sela wawancara kami untuk mengecek kondisiku. “Berhati-hatilah, Kleigh. Orang-orang seperti mereka itu sangat licik, selalu perhatikan setiap kata yang keluar dari mulutmu.” Ya, aku akan berusaha untuk berkata seminimal mungkin. Namun, apa yang bisa diharapkan pada seorang anak laki-laki berusia empat belas tahun sepertiku? Terlebih dalam kondisi babak belur seperti ini. “Namaku adalah Firendel, dia Kataz.” Firendel—sosok pria dengan kacamata bundar dan memakai topi seperti seorang pelukis ulung memperkenalkan diri. Dia bertugas untuk mewawancarai dan mencatat jawaban, sementara Kataz memegang sebuah alat dengan lensa—mungkin itu kamera. Mereka perlu menaruh bukti agar wawancara ini bisa dikatakan valid. “Aku Kleigh.” “Baik, Nak Kleigh—” Firendel langsung menatap ke arah lengan kiriku. Dia terlihat mengasihaniku sekaligus senang karena mendapat bahan berita bagus. “—apa kau bisa jelaskan padaku mulai dari kedatangan … para naga dan bagaimana mereka membakar seluruh desa tanpa sisa?” Cukup tahu jika Firendel berhati-hati dengan kata naga, semenjak eksistensi makhluk tersebut dianggap tabu, antara ada dan tidak ada, karena tidak ada satu pun Midlings di dataran Earusia pernah melihat naga sejak lima ratus tahun lalu. Yah, aku cukup menjelaskan runtutan kejadian, bukan? “Pada saat itu ….” Butuh waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk merampungkan semua kisah tentang kedatangan makhluk tersebut ke tempat ini tanpa undangan dan kepergian misterius mereka. Aku tidak ingin menceritakan hal itu, karena semua itu kembali membawa kenangan saat naga sialan itu, Sulyard, menarik lengan kiriku dan mencabutnya dengan paksa. Trauma itu tidak bisa hilang dan membuat lengan kiriku kembali terasa berdenyut sakit. “… ooooh.” Firendel tidak berkata apa-apa selain melongo lalu mencatat semua itu di buku. Aku duduk menungguinya sampai selesai mencatat. Mungkin dia akan pergi setelah ini, kan? Kuharap demikian. Ada beberapa hal yang membuatku tidak nyaman bersama orang sepertinya. Clap! Buku jurnal berukuran sedang itu ditutup dan Firendel membenarkan posisi kacamata. Aku ikut senang ketika mengetahui semua wawancara melelahkan ini telah berakhir. Namun, rasa senangku langsung menghilang tanpa jejak begitu Firendel mengeluarkan buku jurnal lain dari dalam tas. “Hm?” Dia seolah sadar dengan wajah terkejutku. “Ah, maaf, maaf, tetapi aku kehabisan kertas. Untung saja aku selalu membawa dua buku kosong untuk jaga-jaga.” Tawa murni itu tidak terdengar murni sama sekali bagiku, justru lebih terdengar seperti bel menuju neraka. “Nak Kleigh, mari kita lanjutkan wawancara ini.” Firendel membuka lembaran buku baru dan siap mencatat lagi. Aku mengerutkan kening tanpa bisa menolak. Ah, ini melelahkan! Baiklah, aku akan menjawab dengan cepat dan langsung meminta dua orang itu untuk segera pergi dari sini. “Jadi … bagaimana perasaanmu sekarang?” “Huh?” Aku mengerjap bingung. Mengapa topik pembahasan berpindah dan fokus terhadapku. “Baik, aku baik-baik saja.” Uhm, mungkin mereka cuma khawatir terhadap korban sepertiku. Tidak masalah, Nona Firabell berkata jika aku harus menghindari pertanyaan menjebak, sejauh ini aku belum mendengar jebakan dari mereka. ‘Benarkah?” Sraaak. Sraaaak. Sraaak. Suara tinta beradu dengan kertas, Firendel menulis cukup lama padahal aku cuma memberi jawaban singkat. Merasa ada hal janggal, aku mengulurkan tangan. “A-apa yang sedang Anda tulis, Tuan Firendel?” Firendel terkesiap, dia menutup buku itu dengan cerdik dan menggeleng. “Menyusun berita, Nak Kleigh. Pemilihan kata sangat penting, kau tidak akan pernah tahu seberapa kuat dampak dari sebuah kata. Hum, kau pernah dengar sebuah peribahasa jika pena lebih tajam daripada pedang?” Aku sontak menggeleng. Mana mungkin aku tahu hal serumit itu. Masuk akademi saja tidak bisa semenjak kekurangan uang dan tidak ada wali untuk mendaftar. Namun, aku bisa menebak dari perkataan Firendel, mungkin itu berkaitan dengan bagaimana reputasi seseorang bisa jatuh hanya dengan ucapan jahat seseorang. Aku sering mengalami hal itu di sini, mereka—anak-anak desa yang nakal—selalu saja mengataiku sebagai orang luar dan menaruh fitnah seperti aku mencuri mangga di kebun Paman Harlow padahal tidak sama sekali. Untung saja El melihat kejadian sebenarnya dan membuatku terbebas dari hukuman pukul p****t seratus kali. “Hm, tidak bisa ditolong kemudian. Bisa kita lanjut ke pertanyaan selanjutnya?” Aku mengangguk. “Aku mendengar dari beberapa warga bahwa impianmu adalah menjadi seorang Kesatria Suci, apa itu benar?” Aku mengangguk lagi. Cih, dia sampai mewawancarai warga lain untuk mencari tahu tentangku? Mengapa dia tidak pergi mewawancarai mereka saja daripada seorang cacat sepertiku. Tidak, tunggu, apa mereka datang karena ingin mewawancarai seorang cacat sepertiku? Mataku sontak melebar mengetahui niat asli mereka. “Menjadi seorang Kesatria Suci dengan kondisi tubuh seperti itu, apakah tidak akan sulit? Memang ada beberapa orang yang bisa mengendalikan nen dengan satu tangan, tetapi mereka adalah keturunan Midlings tingkat atas—” Firendel berkata dengan wajah riang, seolah tidak peduli apakah aku dengan menahan kekesalan dan ingin meninju wajah sok akrab itu sekarang juga. “—untuk seorang Midlings bawah sepertimu, kurasa itu akan sulit, ya.” Dia mengakhiri kalimat itu sambil mengeluarkan senyuman manis dan terus menulis di atas kertas tanpa melirik sedikitpun ke buku. Entah apa yang sedang ia coba tulis di sana, ujaran untuk mengundang simpati para pembaca? Atau fakta menyedihkan tentang bocah sebatang kara yang kini cacat dan tidak bisa berbuat apa-apa setelah bertarung mati-matian dengan seekor naga? Kataz tidak tertarik untuk ikut campur dalam wawancara berat sebelah ini dan terus mengambil fotoku dari berbagai sisi. Ah, mungkin dia ingin mengambil gambarku dengan lengan yang kini buntung, sangat bagus, kini orang-orang akan mengenalku sebagai ‘Bocah Cacat’ dimanapun aku pergi. Kugigit bibir bawahku kesal, mengapa mereka harus mewawancaraiku? Karena aku cacat? Mengapa cacat ini sangat menarik perhatian mereka? Tinggalkan saja aku sendiri! Aku juga tahu bahwa aku ini sangat menyedihkan! “Satu hal lagi—” “Kurasa sudah cukup untuk hari ini, Tuan-tuan sekalian.” Kutolehkan kepalaku dan melotot senang. Paman Edmund! Dia datang di waktu yang tepat. Pria itu masih memakai beberapa perban, tetapi ia terlihat sehat setelah kembali bekerja untuk membangun ulang desa. “Hari semakin gelap, bukankah ini sedikit tidak sopan untuk mewawancarai anak di bawah umur lebih lama dari ini? Kuharap kalian mendapat aturan etika pers di kantor.” Paman Edmund memasang wajah tenang dan mengancam di satu waktu, membuat Firendel berdecak kesal. Dia tidak bisa membalas semenjak perkataan Edmund benar, peraturan etika pers mengatakan bahwa tidak boleh mewawancarai anak di bawah umur lebih dari dua jam. Mereka sudah berada di sini lebih dari empat jam hingga aku merasa mual melihat wajah mereka. “Mari pergi, Kataz.” Firendel beranjak dari kursi lalu pergi melewati sisi samping Edmund tanpa bicara apa-apa selain memandang tajam ke arah duda tampan itu. Edmund masih sempat untuk memberikan seringaian kecil sebagai tanda bahwa dia menang hari ini, membuat Firendel mengerutkan kening kesal. Kataz menurut dan mengikuti di belakang, dia memang tidak bicara banyak sejak awal. “Huft ….” Kuhela napas penuh lega melihat mereka telah pergi. “Melelahkan, Kleigh?” Aku tersenyum tipis dan mengangguk. “Andai mereka tidak datang lagi, aku bisa tidur nyenyak malam ini.” “Hahahaha! Kau sangat lucu dan jujur. Benar juga, mau makan malam bersama di rumah?” “Tapi aku belum bisa—” “Kau sudah bisa, kau hanya belum mencoba.” Tatapan Paman Edmund seolah menembus jantungku. Aku lantas mengangguk menjawab penawaran makan malam tadi, kebetulan wawancara itu menguras seluruh energiku seharian ini. Ah, aku sangat lapar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD