bc

Azzura

book_age0+
2.9K
FOLLOW
28.8K
READ
possessive
family
love after marriage
pregnant
arrogant
goodgirl
drama
sweet
like
intro-logo
Blurb

"Artinya saya ga bisa hamil dok?" Tanya seorang gadis yang masih memakai seragam SMA nya

-Azzura malik

Apa apaan ini? Di jodohkan dengan mendadak dengan seorang bocah? Sedangkan dengan Wanita yang sudah dewasa saja aku akan pikir berulang ulang.

-Rayhan pangestu

chap-preview
Free preview
Part 1
“Artinya saya gak bisa hamil, Dok?” tanya seorang gadis yang masih memakai seragam SMA-nya. “Bukan tidak bisa, tapi kemungkinan besar,” ucap Dokter. “Kista itu belum terlalu besar. Kista yang kamu idap ini bisa hilang jika kamu hamil dan melahirkan,” lanjut sang dokter berkacamata itu. Degh! Seketika itu pula air mata mengalir di kedua pipi gadis berhijab tersebut. “Apa enggak ada cara lain, Dok? Selain operasi dan ....” Gadis tersebut menggantung perkataanya. “Hamil?” lanjutnya dengan mata yang sudah basah akan air mata. “Sssstt udah, jangan menangis. Saya paham ini berat untuk kamu, tapi saya juga hanya bisa bantu sebisa saya,” ujar dokter tampan berkacamata tersebut berusaha menenangkannya. “Baik, Dok, terima kasih.” Gadis itu pun keluar ruangan, berniat untuk kembali ke sekolahnya, tetapi sebelum itu ia harus menebus obat dahulu. Namun, karena kurang hati-hati, ia menabrak seorang ibu yang masih terlihat awet muda. “Ma-maaf, Bu,” ucapnya terbata-bata sambil memunguti barang milik ibu yang terjatuh karena ulahnya. “Iya enggak apa-apa. Terima kasih,” ujar sang ibu tadi mengambil barang-barang miliknya dari tangan gadis SMA tersebut. Sesampainya di tempat penebus obat, ia meletakkan resep dari dokter tadi di tempatnya, lalu ia mencari tempat duduk untuk menunggu namanya dipanggil. Sang gadis melihat ada salah satu kursi yang kosong di sebelah ibu-ibu yang tak sengaja ia tabrak, dan duduk di sebelahnya. “Permisi, Bu.” Gadis itu meminta izin dengan sopan. Ibu itu pun melihat ke samping dan mengangguk seraya tersenyum ramah. Hampir 5 menit ia menunggu, tetapi namanya juga belum dipanggil. “Kamu sendirian aja?” tanya ibu tersebut tiba-tiba pada gadis yang berada di samping kirinya, dan membuat sang gadis gelagapan. “Eh? I-iya, Bu."  “Kalau boleh tau siapa yang sakit?” Ibu itu berbicara sambil menatap matanya. “Eum ... saya, Bu.” “Oh maaf, kalau boleh tau sakit apa?” Gadis itu meremas kuat-kuat rok sekolahnya, ia sedang tidak ingin bercerita tentang penyakitnya. Namun, bingung untuk mengatakan hal tersebut pada ibu yang sedang tersenyum ramah itu. Saat ia akan menjawab, tiba-tiba namanya dipanggil. “Azzura Malik.” “Bu saya permisi dulu, ya, nama saya dipanggil.” Azzura pun berdiri dan berjalan menuju loket pengambilan obat. “Ini diminum setelah makan 3 kali sehari, dan yang ini kalau sakitnya kambuh aja,” jelas apoteker tersebut sembari tersenyum ramah. “Iya, Kak. Makasih, ya,” jawab Azzura sambil tersenyum lalu mengambil obat tersebut dari tangan apoteker. “Sama-sama, semoga lekas sembuh.” Azzura kembali tersenyum, barulah ia berbalik badan berniat pergi dari rumah sakit ini. Namun, langkah terhenti saat namanya dipanggil. “Nak Azzura!” Azzura membalikan badan dan mendapati ibu tadi memanggilnya. “Eh? Iya, Bu. Maaf, saya harus balik ke sekolah sekarang.” “Tunggu saya di sini sebentar.” Azzura hanya menuruti perintah ibu itu dan menunggunya di depan pintu. Azzura pasrah ketika ibu tadi menyuruhnya. Azzura melihat bahwa ibu itu menuju ke arah loket obat, tak lama dia pun kembali ke hadapan Azzura. “Ada yang mau saya omongin sama kamu,” ujar sang ibu pada Azzura. Mendengar itu, Azzura mengernyitkan dahinya. “Maaf Bu, tapi mau ngomongin apa, ya?” tanya Azzura sedikit bingung, ia sama sekali tidak mengenal ibu itu. “Gimana kalau kamu ikut saya sebentar?” ajak ibu itu, dan meyakinkan Azzura. Tampak berpikir dan menimang-nimang, apakah ia harus menerima ajakan ibu ini atau harus menolaknya. “Tenang aja saya bukan orang jahat. Ini berkaitan dengan penyakitmu,” ucap ibu itu menggandeng tangan Azzura menuju ke arah parkiran. Azzura tampak bingung. Ia menatap ibu itu dan bertanya, “Kok Ibu tahu penyakit saya?”  “Masuk dulu, kita kita bahasnya sambil makan siang aja,” ucapnya kembali meyakinkan Azzura. “Tapi saya harus ke sekolah, Bu,” ujar Azzura sedikit cemas karena jam sudah menunjukan bahwa ia sangat melewati batas dari dispensasi yang ia minta. “Nanti saya yang atur, sekarang masuklah dulu.”  Azzura pun akhirnya masuk ke dalam mobil mewah tersebut. Tak ada yang membuka suara satu pun sampai akhirnya ibu tersebut yang memulainya. “Dari tadi saya belum mengenalkan diri, ya?” tanyanya dengan mata yang masih fokus pada jalan. “Nama saya Astrid.” Bu Astrid memperkenalkan diri sambil sedikit mencuri pandang ke arah Azzura. “Oh eum, iya Bu. Saya Azzura.” Azzura merasa sangat canggung. Tak lama, mobil pun berhenti di sebuah restoran di pusat Kota Jakarta. Mereka pun masuk ke dalam, lalu seorang pelayan datang dan memberikan menu pada kedua perempuan itu. Namun, Azzura hanya menatap menu makanan tersebut dengan perasaan gelisah. “Gimana ini? Uangku gak bakal cukup. Mana makananya mahal-mahal lagi.” Azzura membatin. “Pesan aja, Ibu yang traktir kok,” ucap Bu Astrid seakan mengerti kegelisahan Azzura, akhirnya Azzura pun memesan jus Alpukat. “Eum. Kalau boleh tau, tadi Ibu mau ngomong masalah penyakit saya. Ibu tau dari mana?” tanya Azzura to the point. “Saya tau penyakit kamu sudah lumayan lama, dokter kandungan yang memeriksa kamu itu adalah anak sulung saya. Dia sering cerita tentang kamu dan saya kepengin ketemu kamu, eh gak taunya kita ketemu tadi,” ucap Bu Astrid bercerita dengan semangat.   “Saya turut prihatin sama keadaan kamu,” lanjutnya lalu menggenggam tangan Azzura yang duduk di hadapannya. “Iya Bu, makasih,” ucap Azzura tersenyum lalu menunduk, ia bersyukur masih ada yang peduli dengannya. Beberapa menit tidak ada satu pun dari kedua perempuan berbeda umur itu yang mengeluarkan suara, sampai akhirnya Bu Astrid kembali berucap, “Saya bisa nolong kamu.” Empat kata tersebut membuat Azzura menatap Bu Astrid dengan bingung. “Maksud Ibu?” tanya Azzura. “Kamu harus operasi atau hamil agar kista itu hilang, ‘kan?” tanya Bu Astrid, dan Azzura mengangguk. “Iya Bu, tapi saya enggak punya biaya untuk operasi tersebut. Pilihan keduanya adalah saya hamil dan melahirkan, tapi itu berarti saya harus menikah, sedangkan saya masih sekolah,” jelas Azzura pada Bu Astrid. Bu Astrid mengeratkan genggamannya lalu tersenyum. “Maka dari itu saya akan menolong kamu,” ujar Bu Astrid.  Azzura menatap Bu Astrid dengan perasaan yang semakin bingung. “Tapi Bu, kenapa Ibu mau menolong saya? Saya kan bukan siapa-siapa Ibu. Bahkan, kita baru sekali ini ketemu,” ujar Azzura dengan tidak enak hati. “Justru itu, kalau kamu saudara saya, saya jadi enggak bisa memintamu menikah dengan anak saya.” Azzura tercengang dan mengedipkan mata berkali-kali. Ia merasa pendengarannya kurang baik karena pikiran yang sedang kacau. “Menikah?” tanya Azzura pada Bu Astrid. Tidakkah Bu Astrid melihat bahwa dirinya masih memakai seragam? Bu Astrid mengangguk antusias, Azzura pikir tadi Bu Astrid akan membantu dalam biaya operasi, tetapi nyatanya Bu Astrid meminta untuk menikah dengan anaknya. “Maaf Bu, tapi saya enggak bisa. Saya masih sekolah,” ucap Azzura menatap Bu Astrid yang genggamannya mulai melemah. “Kenapa? Kamu kan juga membutuhkannya,” tanya Bu Astrid membalas tatapan Azzura. “Iya, saya memang butuh Bu, tapi ...,” ucapan Azzura dipotong oleh Bu Astrid yang kembali menggengam tangan Azzura. “Saya percaya kamu bisa untuk mengubah anak saya.” “Maksud Ibu?” tanya Azzura pelan. Ia juga bertanya-tanya dalam hati, apa maksudnya mengubah? Bu Astrid mengambil ponselnya, lalu ia menunjukan sebuah foto seorang pria dengan gaya kasual sedang tertawa lepas bersama Bu Astrid dan Dokter Ryan. “Dokter Ryan,” gumam Azzura pelan sambil mengernyitkan dahinya. “Iya, dia sudah menikah,” ucap Bu Astrid sebelum Azzura mengira bahwa ia akan dinikahkan dengan Ryan, sedangkan Azzura hanya menggangguk paham. Lalu mata Azzura menatap pria yang bergaya kasual tersebut. Tampan, mungkin kata itu yang akan terlintas di kepala para wanita 'normal' yang melihatnya. Melihat Azzura yang terus menatap foto tersebut, Bu Astrid sedikit berdeham lalu tersenyum pada Azzura yang sedikit salah tingkah karena ketahuan menatap lama adik dari dr. Ryan. “Dia, Rayhan. Anak saya yang terakhir, dia pernah ditinggal nikah oleh mantan kekasihnya saat ia akan melamar. Umurnya masuk 23 tahun,” jelas Bu Astrid pada Azzura. Azzura menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. ‘Kasian banget, padahal ganteng,’ batin Azzura. “Bagaimana? Apa kamu mau menikah dengan anak saya?” Azzura menelan ludahnya samar seketika. “Tapi saya masih sekolah, Bu. Lagi pula ini sebuah pernikahan Bu, saya gak mungkin menyepelekannya,” ucap Azzura. “Kamu kelas 12, ‘kan? Sebentar lagi lulus. Apa kamu gak ingin sembuh?” tanya Bu Astrid sangat serius. “Saya harus memikirkannya lagi, Bu.” “Apa masih harus dipikirkan? Sudah jelas kita akan mendapatkan keuntungan timbal balik. Tidak ada yang dirugikan di sini.” Bu Astrid masih terus berusaha membujuk Azzura. “Keuntungan kamu, kamu bisa sembuh dengan hamil cucu saya, keuntungan saya, saya akan mendapatkan seorang cucu. Lalu, seiring berjalannya waktu Rayhan pasti berubah dengan adanya kamu dan juga anak kalian di hidupnya,” jelas Bu Astrid dan menatap Azzura penuh harap. Azzura menelan ludah samar saat Bu Astrid mengatakan ‘anak kalian’. “Berubah maksud Ibu?” tanya Azzura karena memang sudah tidak bisa membendung keingintahuannya. “Oke, saya akan cerita sedikit. Jadi, semenjak Rayhan ditinggal menikah oleh Sania, dia menjadi sering mabuk-mabukan. Sholat lima waktu ditinggal. Tiap malam kerjaannya ke club,” ujar Bu Astrid, tampak jelas bahwa ada kesedihan yang terpancar kala mengingat anak bungsunya itu. Kini, berbalik keadaan. Azzura-lah menggenggam tangan Bu Astrid. “Ibu juga sudah tua, nampaknya saja yang masih awet muda, tapi tetep aja Ibu sudah renta, sering sakit-sakitan. Ibu takut gak sempat nimang cucu.” Bu Astrid tersenyum pada Azzura, meskipun hatinya sangat kacau saat menceritakan tentang Rayhan tadi. “Ih, Ibu gak boleh ngomong gitu ...,” ucap Azzura tidak suka mendengar perkataan Bu Astrid. “Ryan belum bisa punya anak karena istrinya kurang subur.” Bu Astrid menatap Azzura sangat penuh harap. Mereka terdiam beberapa saat, tenggelam dalam pikiran masing-masing. “Jadi? Kamu mau, ‘kan? Menikah dengan anak saya, memberikan saya cucu, mengubah anak saya? Karena satu-satunya cara mengubah Rayhan yang saya lihat sekarang adalah, dia menjadi seorang Ayah. Otomatis dia punya tanggung jawab.” Bu Astrid menatap lekat manik mata Azzura.  Azzura tetap diam, ia tidak tau harus menjawab apa. “Azzura?” “Azz?” panggil Bu Astrid pada Azzura yang melamun. Azzura pun mengangguk sembari memberikan senyumannya. Bukan dirinya murahan, tetapi ia juga membutuhkan benih itu, lagi pula ia sudah mengenal Ryan cukup lama. Yang ia tahu, Ryan sosok yang baik, ramah dan sopan. Semoga saja adiknya juga seperti itu. “Aaaa ... saya sangat senang bisa menjadi mertuamu. Karena sejujurnya, dari awal Ryan bercerita tentang kamu, saya udah suka sama kamu. Ditambah lagi sekarang saya bisa ketemu sama kamu.” Bu Astrid memekik tertahan saking senangnya. Azzura hanya tersenyum kikuk melihat tingkah gokil calon ibu mertuanya itu dan ia berdoa semoga pilihannya benar. “Terima kasih, Bu,” ujar Azzura tulus, Bu Astrid hanya tersenyum menanggapinya. “Ok, nanti malam saya akan menemui kedua orang tuamu.” Seketika itu juga mimik wajah Azzura berubah menjadi sedih meskipun ia tidak memberitahukannya. “Maaf Bu, tapi saya yatim piatu.” Bu Astrid pun menggenggam tangan Azzura, berusaha menyalurkan kekuatan di dalam hangatnya genggaman tersebut. “Maaf saya enggak tau, kalau begitu kamu nanti ke rumah saya. Kenalan sama anak saya,” ujar Bu Astrid, Azzura mengangguk lalu mereka berdua pun terlibat dalam obrolan ringan. Mungkin lebih tepatnya, Bu Astrid yang bercerita tentang Rayhan. Setelah itu, Azzura diantar oleh Bu Astrid sampai di sekolah, tak lupa Bu Astrid memberikan alamat rumahnya pada Azzura. Tadi, Bu Astrid juga sudah meminta izin untuk Azzura pada salah satu guru yang ternyata adalah teman dari Bu Astrid. Sesampainya di depan kelas, sudah ada ketiga sahabatnya yang berkumpul di meja paling depan. Meja dirinya dan Ratna. “Nih dia bocahnya,” ucap Ratna. “Kok lu baru balik, sih? Ini udah jam keempat loh, bentar lagi juga istirahat ke dua,” ucap salah satu sahabat Azzura. “Ke mana lu tadi?” tanya Virla. “Aku ke rumah sakit,” jawab Azzura. “RUMAH SAKIT? Terus? kenapa lu gak bilang kita-kita, sih? Lu ke sana sendiri?” Azzura hanya mengangguk menanggapi pertanyaan teman-temannya. “Ck, kayak enggak punya temen banget sih, lu!” seru Tyass ikut nimbrung dan membalikkan badan menuju tempat duduknya. Mereka sudah biasa dengan sikap Tyass yang kelewat dingin dan ketus menurut mereka. “Maafin aku ya, aku takut ngerepotin kalian,” ucap Azzura lalu duduk di tempatnya. Tiba-tiba masuklah salah seorang guru piket yang memberikan tugas karena guru yang bersangkutan sedang tidak bisa hadir untuk mengajar. Ia sangat bersyukur jam keempat ini free class. Jadi, ia bisa sedikit menenangkan pikirannya tentang pernikahan yang tadi dibahas dengan Bu Astrid. “Tadi udah periksa? Lu sakit apaan?” tanya Virla mencolek pundak Azzura yang duduk di depannya. Azzura menoleh sebentar. “Sakit kista,” jawab Azzura santai seakan tidak memiliki beban.Tyass yang melihat itu meghela napas karena kesal akan sikap Azzura yang tidak pernah mau berbagi masalahnya. Lalu ia pun mengambil novel dan membaca sekaligus menyimak percakapan ketiga sahabatnya. “Kista?” tanya tanya Ratna menutup kaca lipatnya yang sedari tadi digunakan untuk melihat jerawatnya yang berada di dagu. “Hm,” gumam Azzura menjawab pertanyaan teman-temannya lalu mengambil buku pelajaran. “Terus lu udah nebus obatnya?” tanya Virla hati-hati, ia tidak mau menyakiti hati sahabatnya yang memang kekurangan pada bagian finansial. “Udah kok,” jawab Azzura singkat. Ia tidak mau sahabatnya tau apa yang sebenarnya terjadi. “Bukannya kista harus operasi, ya, Azz?” tanya Virla, Ratna menatap sendu sahabatnya itu. Azzura menatap Virla lumayan lama, entah apa yang ia pikirkan tidak ada yang tau. Namun, Ratna langsung menyimpulkan bahwa jawaban dari pertanyaan Virla adalah 'iya'. “Jadi, lu harus dioperasi, gitu?” tanya Ratna iba dan diangguki dengan ragu oleh Azzura. “Yang sabar, ya, Azz,” ujar Virla yang duduk di sebelah Tyass.  Tyass menghela napasnya. “Azzura tuh enggak butuh kalimat ‘yang sabar ya’ dia lebih butuh uang buat operasinya,” ucap Tyass yang dari tadi diam saja membaca novel kesayangannya. “Setidaknya, gue kasih dukungan moral,” ucap Virla sambil memainkan pulpen yang ada di tangannya. “Semua itu harus imbang Vir, ada moral ada finansial,” ujar Tyass lagi tak mau kalah. “Iya dah iya. Ribet ngomong sama lu.” Akhirnya Virla pun mengalah. Tyass menutup novel yang ia baca sedari tadi dan menatap Azzura serius. “Azz, lu bisa pakai uang tabungan gua dulu kalau memang keadaannya darurat,” tawar Tyass kemudian. Azzura, Ratna, dan Virla menatap Tyass lama. “Biasa aja kali liatin gua,” ucap Tyass yang risi karena ditatap sedemikian oleh ketiga sahabatnya. “Iya Azz. Tuh Tyass nawarin, gua kalau ada tabungan juga udah gua tawarin kali,” sahut Ratna menatap Azzura, dan Virla menyetujui perkataan Ratna. Azzura menatap sahabatnya satu per satu, ia sudah banyak merepotkan, kali ini tidak lagi. “Makasih, Yass, tapi maaf banget, kali ini aku enggak bisa terima bantuan kamu. Aku udah banyak ngerepotin kalian,” ucap Azzura tak enak hati. “Ck, lu itu, ya! Ada masanya lu nolak pertolongan orang, ada masanya juga lu butuh dan terima pertolongan orang!” bentak Tyass karena merasa tak dihargai. Azzura mengembuskan napas, kali ini ia benar-benar tidak ingin lagi merepotkan sahabatnya itu. “Maaf, Yass,” tutur Azzura, Ratna dan Virla hanya menjadi penonton karena tidak tahu harus berbuat seperti apa. Tyass bangkit dari duduknya dan melihat ke rok bagian belakang. “Tembus gak Vir?” tanyanya pada Virla. “Enggak kok” jawab Virla, lalu ia ikut bangkit dari tempat duduknya guna memberikan akses Tyass untuk berjalan keluar, karena Tyass yang duduk diapit tembok dan Virla. Tyass pergi meninggalkan ketiga sahabatnya yang memandang kepergiannya heran. “Pantes dari tadi marah-marah mulu,” ucap Ratna karena mengetahui Tyass yang sedang datang bulan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sweetest Diandra

read
70.6K
bc

The Unwanted Bride

read
111.1K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
257.2K
bc

LEO'S EX-SECRETARY

read
121.2K
bc

Mrs. Rivera

read
45.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook