BAB 5

1599 Words
            Malam yang dingin disertai hujan petir. Ilona menatap hujan yang turun dari langit lewat jendela. Sesekali dia menyesap kopinya yang masih hangat. Dia memikirkan banyak hal yang terjadi dalam hidupnya. Dikhianati sahabatnya—Kamila yang diam-diam menjalin hubungan dengan kekasih yang sudah setahun lebih bersama. Sekian lama setelah perpisahan menyakitkan itu, sebuah pesan dari mantan kekasihnya mengejutkannya. Mengabari bahwa mantan sahabatnya sakit dan memintanya untuk menemui mereka. Ilona menggeleng ironi.             Dia sadar bahwa dalam setahun ini dia banyak berubah. Pengkhianatan dan kebenciannya pada Erick adalah penyebab pasti perubahannya. Dulu, dia gadis yang polos. Tidak suka berteriak, tidak suka mengumpat dan membenci orang-orang jahat. Dia tersakiti ..dan akhirnya menyerah. Memilih menjadi antagonis dalam skenario yang ditulisnya sendiri sekaligus dalam film yang dimainkannya. Dia benci menjadi antagonis tapi sekarang dia merasa setara dengan Amarta—ibu mertuanya yang antagonis.             Erick yang hendak membuat teh, namun dia melihat istrinya yang menatap kosong hujan di luar sana saat menuju dapur. Penampakkan petir tidak membuat Ilona menutup gorden jendela malah seakan menikmati kilatan petir yang mneyambar-nyambar dengan ngerinya. Erick tak paham akan karakter Ilona. Satu sisi dia membenci Ilona sama bencinya dengan kadar kebencian Ilona terhadap dirinya. Tapi di sisi lain, dia berharap hubungannya dengan Ilona membaik. Dia berharap bisa memamerkan kemesraan di hadapan ibunya meskipun hanya pura-pura. Sayangnya, setiap kali dia berniat menggenggam tangan Ilona atau memeluknya, Ilona selalu menghindar. Dan terkesan canggung.             Tanpa berkata apa pun Erick menggeser gorden. “Ada petir.” ujarnya dingin menatap Ilona.             Ilona hanya diam. Dia menatap kosong suaminya. “Terkadang aku ingin petir mengenaiku.” gumamnya.             “Apa?” Erick bertanya heran.             Ilona menggeleng. “Tidak.” dia teringat perkataan Sasa soal jaminan finansial yang diterimanya dari Erick. “Sasa resign.” Sebuah pernyataan meluncur dari kedua daun bibirnya.             “Ya,” sahut Erick.                              “Dia bilang kamu menjamin finansialnya.”             Erick terdiam sesaat. “Ya, begitulah.” jawab Erick agak ragu.             “Kamu gila ya.” ada nada emosi di balik perkataan Ilona. “Kamu membuang uang untuk wanita pujaanmu itu.” Ilona berkata seakan Erick baru saja melempar kucing scotisfold pada seekor buaya lapar.             “Ilona, kamu tidak paham.”             “Tidak paham apa? Kamu pikir aku bego? Aku tidak bisa terima kamu memberikan uang pada Sasa.”             “Itu uangku.” sanggah Erick mencari pembelaan sendiri tanpa mengalihkan pandangan pada Ilona.             “Tapi setelah pernikahan kita, uangmu adalah uangku juga.” Ilona maju beberapa langkah. Matanya berkilat emosi. “Kamu membiayai perempuan yang bisa menghasilkan uang sendiri sedangkan di luar sana ada banyak orang yang kelaparan.”             Erick mengulurkan lehernya hingga dia bisa mencium aroma mawar yang sensual dari tubuh Ilona. “Aku berhak menggunakan uangku.” katanya hampir seperti sebuah bisikan.             “Aku berhak atas uangmu juga.” balas Ilona tak kalah tajam.             Mereka saling bersitatap dalam tatapan yang tak mau dikalahkan. “Kamu ingin aku bilang pada Sasa kalau aku tidak bisa membiayainya lagi?”             Sebelah alis Ilona melengkung. “Ya,” ujarnya mantap.             Erick tersenyum tipis. “Aku tidak mau harga diriku jatuh dihadapannya.”             “Oke,” Ilona melipat kedua tangannya di atas perut. “Kalau itu maumu. Tinggal pilih, aku bilang pada ibumu soal ini atau aku bilang pada Sasa kalau kita sudah menikah.” ancam Ilona.             Erick menyipitkan mata. “Kamu mengancamku?”             “Menurutmu?” Ilona tersenyum mengejek.             Erick semakin mendekat hingga jarak antara wajah mereka hanya beberapa senti. Dia menarik rambut Ilona hingga Ilona mendongak dan kedua matanya membulat. “Erick apa yang kamu lakukan?!” tanyanya dengan ketakutan yang jelas tidak bisa ditutupi.             Pria itu hanya menatap Ilona. Tatapan yang entah bermakna apa. Dia senang melihat Ilona dalam keadaan ketakutan. Sedangkan Ilona berusaha melepaskan rambut panjangnya yang lurus dari tangan Erick. “Lepaskan!” pekiknya.             “Aku tidak ingin melepaskannya sampai kamu memilih tidak memberiku pilihan ancaman apa pun atau kita tidur bersama malam ini?” nada suara Erick membuat Ilona terbakar.             “Sinting!” umpat Ilona.             Erick tersenyum sinis. Dia puas karena Ilona hanya akan takluk saat ancaman ‘tidur bersama’ diluncurkan kedua daun bibirnya.             “Pilih mana?”             “Lepaskan aku!” pekik Ilona lagi.             “Tidak akan, Ilona. Sampai kamu memilih satu diantaranya.”             Sebelum Ilona menjawab, ponselnya berdering. Erick melepaskan rambut Ilona dan melangkah menuju ponsel Ilona yang berada di atas meja. Sebuah nomor asing. Tanpa menatap Ilona, Erick menjawab ponsel itu.             “Ilona, ini aku, Arun. Kamila sakit dan dia memintaku untuk menghubungimu.”             Erick menatap Ilona yang terdiam dan menunggu Erick berkata pada ponselnya. Ilona tidak tahu bahwa penelpon itu adalah mantan kekasihnya. Dia mendekati Erick dengan ekspresi ingin tahu.             “Aku suami Ilona. Jangan ganggu istriku lagi, oke? Dia sudah bahagia di sini bersamaku.” lalu Erick mematikan ponsel secara sepihak tanpa menunggu jawaban Arun.             “Siapa?” tanya Ilona. Meskipun Erick sudah melepaskan rambutnya tapi dia masih merasa takut Erick melakukan hal-hal tak terduga lainnya. Dan yang paling mengerikan adalah Erick berhasil menguasainya.             Erick mengangkat wajah dan tatapanya mengarah pada wajah Ilona yang tampak masih enggan berdekatan dengan Erick. “Mantan kekasihmu.” ***   Ilona             Aku tak pernah menyangka kalau setelah perpisahan dan setelah ucapan kasar yang pernah aku luncurkan pada Arun dan Kamila membuat mereka kembali menghubungiku. Aku benci dua orang itu. Aku benci karena pernah pecaya pada mereka. Aku benci karena dikhianati. Aku bahkan tak pernah membayangkan hal semacam ini terjadi padaku. Kamila sahabat terbaikku yang pernah aku miliki—kukira. Tapi ternyata perkiraanku salah. Aku tidak ingin bertemu mereka lagi. Tapi Arun bilang Kamila sedang sakit. Arun tidak mungkin menghubungiku kalau Kamila hanya sakit biasa.             Aku masih membayangkan suara Erick yang bicara di telepon. Aku suami Ilona. Jangan ganggu istriku lagi, oke? Dia sudah bahagia di sini bersamaku. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Arun kalau aku sudah menikah. Namun aku tidak bisa memungkiri kalau aku juga senang saat Erick memberikan pernyataan yang membuat diriku seolah-olah bahagia dengan pernikahan kami.             “Kamu masih berhubungan dengan mantanmu itu?” suara Erick menghentikan pemikiranku. Aku mendongak. Dia mengulurkan sebuah roti dengan selai cokelat.             Aku meraih roti selai cokelat dari tangan Erick. “Terima kasih.”             Erick tersenyum tipis. “Hari ini aku akan pergi dengan Sasa. Aku tidak akan ke kantor.”             Sejak dia menarik rambutku, aku berusaha untuk bersikap wajar. Mencoba merelakan Erick membiayai Sasa. Tapi aku akan membuatnya berhenti membiayai Sasa. Aku janji. Entahlah, tapi aku merasa tidak merelakan apa yang diberikan Erick. Erick terlalu memanjakan wanita itu. Wanita yang bahkan—menurutku tidak layak mendapatkan cinta Erick secara realistis.             “Terserah.” ujarku kemudian menggigit roti selai cokelat.             Erick duduk di hadapanku. “Dengar, jangan bilang apa pun pada ibuku dan Sasa, Ilona. Kita sepakat untuk saling merahasiakan apa pun dari luar.”             Aku menatapnya tajam. “Merahasiakan?” sebelah alisku terangkat. “Kamu sendiri yang membuka pernikahan kita pada—“ aku terhenti sejenak. “Arun.” Aku menelan ludah.             Erick tertawa renyah. “Jadi, kamu tidak ingin mantan kekasihmu itu tahu kalau kamu sudah bersuami?” Erick melonggarkan dasi polos abu-abunya.             “Kalau kamu memberitahu Arun kenapa aku tidak boleh memberitahu Sasa?” kataku dengan nada dan ekspresi yang masih datar.             “Itu beda, Ilona. Sasa masih kekasihku dan Arun bukan kekasihmu lagi.”             Aku menggeleng tak percaya. “Itu egois namanya, Erick.” kataku lalu bangkit bersiap pergi ke kantor.             “Semakin hari aku pasti semakin sinting hidup dengan dia.” gumamku seraya berjalan meninggalkan Erick.                                                                         ***                              Sebenarnya aku ingin sekali memberitahu Mona bahwa aku dan Erick adalah pasangan suami-istri. Aku ingin cerita banyak hal pada Mona. Tentang perjodohan dan semua hal yang terasa semakin membebaniku. Apalagi soal Amarta. Tapi aku tidak berani. Aku takut ada yang mendengar pembicaraan aku dan Mona. Aku juga takut melihat ekspresi Mona saat aku memberitahu sebuah rahasia. Aku adalah istri dari bosnya dan bosku sendiri. Rahasia macam apa ini?             Setelah sekian lama menatap Mona yang sedang memainkan ponselnya, aku memilih menceritakan soal Arun dan Kamila.             “Mon,” Mona menoleh.             “Apa?” tanyanya dengan ekspresi wajah polos.                          “Kemarin, Arun mengirim pesan dan memberitahu kalau Kamila sakit. Dia bilang Kamila ingin aku menemuinya.”             “Arun—mantanmu?” dahinya mengernyit.             Aku mengangguk. Aku hendak melanjutkan cerita bahwa tadi malam Arun menelponku dan yang mengangkatnya adalah Erick. Namun aku urung. Aku tidak ingin membuat masalah dengan pria yang berani menarik rambutku, menatapku dengan kengerian dan mengancam menyeretku ke atas ranjangnya.             “Sakit apa si Kamila?”             “Aku tidak tahu.” kataku seraya mengangkat bahu.             “Kamu mau menemui mereka?”             Aku kembali mengangkat bahu. “Aku sudah menganggap mereka mati, Mon.”             “Hahaha, emang harus begitu. Anggap saja mereka mati. Dan mendingan nomor Arun diblock.” sarannya.             “Aku sudah block nomor lamanya dan dia hubungi aku dengan nomor baru.”             “Block lagi.” katanya enteng.             “Ya, memang lebih baik seperti itu. Tapi, kalau Kamila ternyata sakit parah bagaimana, Mon? Meskipun dia sudah berkhianat, tapi dia pernah jadi sahabat terbaik aku.”             “Jawabannya ada di dalam hati kamu.” Mona kembali memainkan ponselnya.             Aku memutuskan untuk mengikuti saran Mona. Lebih baik memblock mereka yang menyakitimu. Dengan begitu aku tidak akan merasa gelisah atau penasaran lagi. Kalau Kamila memang sedang sakit dan sakitnya parah mungkin itu semacam—karma?             “Kamu lagi lihat apa?” tanyaku melihat Mona yang cekikikan.             “Poto-poto Sasa di i********:. Dia bikin pencitraan sok-sok sosialita begitu tapi kok jatuhnya norak ya. Sangat norak. Coba lihat, deh.” Mona memberikan ponselnya dan aku melihat-lihat poto Sasa yang luar biasa membuat mataku sakit dengan berbagai gaya yang norak.             She thinks she’s beautiful but really it’s just a s**t! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD