3. Selamat pagi, Istriku..

2658 Words
Sejuknya udara pagi terasa begitu menenangkan, membelai dengan sangat lembut. Mentari yang enggan untuk menunjukkan dirinya malu-malu bersembunyi mengintip di balik cakrawala. Suara burung yang berkicau riang dan juga semilir angin yang berhembus di telinga Lania. Menjadian Lania begitu enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya yang nyaman. Selimut dan kasurnya masih menjadi tempat ternyaman untuk Lania. Matanya masih terasa berat dan sulit untuk dibuka. Meski samar-samar sinar sang mentari tersebut berhasil menembus sedikit tempat di ujung matanya. Whoooosh .... "Hmmmm ..." Tidur Lania terusik. Lania mulai resah dan membalikkan tubuhnya. Mencari tempat ternyaman baginya dari tidur lelapnya yang terganggu. Lania pun kembali menarik selimutnya hingga menutupi sampai setengah wajah tanpa curiga. Sejenak Lania sempat kembali tertidur. Namun, angin tersebut masih berhembus lembut ke telinga Lania terasa hangat dan terus menggelitiknya. "Huuuh ..." Lania kembali resah dengan hembusan misterius tersebut. Jujur saja, Lania merasa sedikit curiga dengan angin yang bertiup tersebut. Sesuatu yang begitu mengusiknya tanpa jeda dan selalu tepat di saat Lania nyaris kembali terlelap. "Hmmmm... tunggu! Kenapa hembusan anginnya terasa sedikit hangat dan ... ..." Lania yang tak berani berasumsi itu menyekat isi pikirannya. Mencoba menebak apa yang sedang terjadi padanya. Perlahan Lania membuka kedua matanya, penasaran dengan apa yang mengusik tidurnya itu. Begitu Lania membuka matanya tirai kamarnya sudah terbuka lebar, jendela juga sudah terbuka, angin yang berhembus dari luar terasa sejuk menerpa wajahnya. Namun, Lania masih merasa yakin jika tiupan angin yang menghembus telinganya terasa sedikit hangat. Berbeda dengan semilir angin sejuk yang masuk melalui jendela tersebut. "Selamat pagi, Istriku.." Kyaaaaaa ... Lania terkejut saat mendengar bisikan lirih dengan suara berat dari seorang pria di telinganya. Lania menjerit dengan seketika. "Vi-Vino!!!" pekik Lania yang terkejut begitu menyadari sosok Vino yang sudah berada tepat di samping tempat tidurnya tersenyum dengan penuh tatapan mencurigakan. Lania menatap lekat Vino yang sudah berbaring di sampingnya seolah tak berdosa. Begitu santai tanpa memerdulikan apa yang mungkin saat ini tengah Lania pikirkan. "Pagi, Sayang. Bagaimana tidurnya? Apa kamu memimpikan aku?" tanya Vino seraya meraih rambut Lania. Vino menarik sedikit rambut Lania dan mencium rambutnya dengan sangat lembut dan tanpa rasa ragu sedikit pun. Lania masih heran dengan suasana tersebut. Ia mengedipkan matanya dengan cepat berkali-kali. Mencerna secepat mungkin apa yang sedang terjadi pada tidurnya yang semula masih terasa damai. "Aaargh.. Vino ..." geram Lania seraya setengah berteriak begitu ia menyadari apa yang terjadi saat itu. Saat kantuk Lania mulai sirna dan segala kesadarannya sudah kembali pada akal sehatnya. "Ngapain kamu di kamarku?" teriak Lania sembari menarik selimutnya berusaha untuk menutupi tubuhnya yang ringkih. Akan tetapi, selimut itu benar-benar tidak bisa ditarik. Tubuh kekar Vino yang berbaring di samping Lania itu sedang menindih selimut tersebut. Lania kembali menarik selimut itu dengan geram dan sekuat tenaga. Ia menatap tajam Vino, berharap Vino bersedia mengalah dan membiarkan Lania memiliki kembali selimutnya. Akan tetapi, Vino tidak mau kalah. Ia sengaja tidak bergeming sedikit pun dari posisinya. Vino ikut geram dengan apa yang Lania lakukan. Lania yang lebih terobsesi dengan selimut dibandingkan dengan Vino yang kini terbaring tepat di samping Lania. "Ah, apa aku cemburu dengan selimut?" Vino sendiri bertanya di dalam hatinya. Ia kalah saing dengan selimut yang kini terus menarik seluruh perhatian dari Lania. "Vino!!!" teriak Lania lagi dengan penuh murka. Murka dari Lania membuat Vino semakin tak ingin mengalah. Ia ikut geram dan semakin ingin merebut selimut tersebut dan mulai ikut menarik selimut yang sedari tadi masih ditarik oleh Lania. "Kenapa, sih?" Vino mulai melayangkan protesnya. "Aku tidak ngapa-ngapain, kok. Aku hanya membangunkan istriku saja. Aku juga tidak menyentuhmu. Hanya meniup kamu beberapa kali. Walau aku tidak menyangka jika kamu akan sangat sensitif seperti itu, saat aku tiup di telinga." Apa yang diucapkan Vino jelas membuat raut wajah Lania semakin merah. Entah karena marah atau karena malu. Tapi, entah mengapa Lania masih tidak menyerah dengan selimut tersebut. "Kenapa, sih, menarik selimut sampai seperti itu!!" Sekali lagi, rasa penasaran itu muncul dan Vino yang ikut kesal sambil menarik paksa selimut tersebut ke arahnya, ia tidak ingin menyerah dengan selimut yang sedang Lania perjuangkan. Bruuuuk ... Lania yang mulanya masih berusaha menarik selimut tersebut kini ikut tertarik akibat kalah tenaga dengan Vino. Tubuh Lania kini menimpa tubuh Vino dan pipinya yang empuk dan kenyal itu melekat tepat bibir Vino. "A-aduh... " keluh Lania yang langsung mengangkat wajahnya saat menyadari bibir lembab Vino yang menempel di pipinya. "Sa-salahmu sendiri kenapa menarik selimut ini," ucap Vino yang kini malah mendekap erat Lania. Melingkarkan kedua tangannya pada pinggang ramping Lania. Lania yang sudah kehilangan tumpuannya itu kini tenggelam dalam dekapan hangat Vino. Pasrah dengan tubuhnya yang masih menimpa Vino dan wajahnya yang ia pendam ke bahu Vino. Membuat pipinya yang kini melekat pada pipi Vino. Pasrah dan tanpa perlawanan. "I-itu ... Soalnya itu ..." Perkataan Lania yang putus asa itu terputus begitu saja. Membuat Vino semakin penasran dengan obsesi Lania yang tidak ia mengerti sama sekali. "Itu, apa Lania? Kenapa? Kamu gugup berada di pelukanku?" tanya Vino iseng dengan senyuman lebar di wajahnya. Tapi, Lania tampak pasrah dengan tubuhnya yang masih melekat pada Vino. Hingga apa yang diakui oleh Lania membuat Vino salah tingkah. "Ak-aku tidur tidak memakai pakaian itu loh.. Hmmm.. pakaian da-dalam.." Lania terbata-bata menjelaskannya karena gugup. Ia tak berani menjelaskan lebih dari itu dan membiarkan keheningan menjelma sampai Vino berhasil mengerti apa yang saat ini Lania maksud. Ucapan Lania seketika membuat wajah Vino tiba-tiba memerah. Tubuh Lania yang kini berada di atas tubuhnya itu membuat Vino membeku. Ia pun langsung mengangkat kedua tangannya dari pinggang Lania dan memalingkan wajahnya dengan secepat kilat. "Ha-harusnya kamu bilang, dong.." Kali ini giliran Vino yang terlihat gugup. Suaranya langsung terdengar serak, wajah dan telinga Vino terlihat merah. Serta pupil mata Vino yang langsung bergetar. "Mau bilang bagaimana?" "Memangnya kamu tidak lihat?" Lania yang langsung bangkit dari tubuh Vino sambil terus menggerutu kesal. Vino kembali menatap wajah Lania yang baru saja bangkit tersebut, pandangannya pun menyisir dari leher Lania dan terus kebawah. Lania yang masih dibalut dengan kimono tidurnya yang tipis, semakin jelas memperlihatkan bagian leher Lania yang putih mulus. Belum lagi pakaian tipis dan sedikit menerawang itu semakin membuat Vino sedikit terbelalak saat pandangan matanya semakin turun ke bawah melewati tulah leher yang menonjol dan sampai pada sebuah belahan yang terlihat begitu menggoda. "Vino, tutup matamu?" teriak Lania lagi seraya menyilangkan kedua tangannya di bagian atas tubuhnya dengan memegang kedua bahunya erat saat menyadari pandangan Vino yang tengah menyisir tiap lekuk tubuhnya. "Ka-kamu sendiri yang tanya padaku, aku melihatnya atau tidak!" "Ma-makanya aku melihatnya!" dalih Vino. Vino masih berusaha membela dirinya yang saat itu tertangkap basah sedang melihat tubuh indah Lania. Keadaan tiba-tiba terasa canggung. Vino akhirnya melangkahkan kakinya mundur dengan suka rela keluar dari kamar Lania. Berusaha agar tidak membuat Lania semakin murka dengan apa yang saat ini terjadi. Braaaak .... Lania membanting pintu tersebut dengan sangat kasar begitu Vino keluar dari kamarnya. Vino Leondre Agma adalah suami dari Lania Narifa Anandari. Sebuah pernikahan yang berlangsung atas keinginan orang tua Lania dan kakek Vino sebagai keinginan terakhir di masa tuanya. Vino yang seorang konglomerat dengan segala kekayaannya menikah dengan Lania yang merupakan gadis sederhana dari keluarga sederhana pula. Meski mereka telah resmi menjadi suami istri. Lania masih enggan untuk mengumumkan pernikahan mereka di depan umum. Pernikahan mereka juga hanya di hadiri oleh keluarga inti dari kedua belah pihak. Membuat Lania dengan leluasa meminta Vino untuk merahasiakan pernikahan mereka meski sebenarnya Vino sangat sulit untuk diajak bekerja sama dalam merahasiakan pernikahan itu. Pernikahan itu rasanya terjadi begitu saja. Lania tidak bisa menolak pernikahan tersebut mengingat keluarganya yang banyak berhutang budi pada kakek Reno. Terlebih Vino yang menyetujui pernikahan tersebut masih menjadi misteri tersendiri bagi Lania. Lania benar-benar tidak habis pikir atas alasan yang membuat Vino menerima tawaran kakeknya begitu saja padahal Vino yang selama ini Lania kenal tidak segan-segan menentang kakeknya, berdebat dengan sang kakek atau malah kabur kerumahnya saat ia sedang berbeda pendapat dengan sang kakek. "Tapi, kenapa dia malah setuju menikah denganku?" "Pasti semua itu karena permintaan terakhir sang kakek yang tak bisa ia tolak." Lania mendesah dalam keheningan, ia memikirkan hubungannya dengan Vino yang tak ada harapan. Menyadari dengan pasti jika Vino turut terpaksa menikah dengan dirinya. Saat ini Lania ikut pusing akan tingkah suaminya yang hari semakin berani dalam bertindak baik di rumah maupun di tempat umum. Membuat Lania merasa jika rencananya untuk merahasiakan pernikahan itu semakin sulit untuk ia lakukan. "Kenapa, dia semakin sulit ditangani, sih?" Lania berpikir keras dengan segala tingkah Vino yang selalu saja membuat ia kesal. Sebuah hal yang selalu saja berhasil memancing segala emosi membara Lania. "Ah, tidak. Sejak awal yang ia inginkan hanya membuatku kesal saja!" Lania tiba pada kesimpulannya. Sebab ia yang memang sudah lama menganal Vino itu kini sangat yakin bila Vino hanya bersenang-senang dengan segala kekesalan yang Lania timbulkan. Mengingat jika Vino selalu saja seperti itu sepanjang mereka saling mengenal. Sebelumnya Vino memang sering menggoda Lania. Tapi, ia tidak pernah sampai berani menyentuh Lania. Namun, sejak ia resmi menjadi suami Lania. Tingkah Vino dalam mengerjainya semakin menjadi-jadi. Hal itu pula yang membuat Lania merasa semakin yakin jika Vino tidak benar-benar mencintai dirinya. Ia semakin enggan untuk mengumumkan pernikahan mereka. Ia takut jika sewaktu-waktu Vino bosan dan mungkin saja meninggalkan dirinya. "Aku bersyukur kamu setuju untuk menggunakan kamar yang terpisah. Tapi, kenapa kamu selalu menyelinap ke kamarku?" tanya Lania kesal begitu mengingat kembali apa yang baru saja terjadi. Pernikahan mereka yang masih diragukan oleh Lania membuat Lania memutuskan untuk tidur di kamar yang terpisah dan Vino setuju begitu saja tanpa banyak bertanya. Tapi, anehnya Vino masih saja sering mengganggunya dan bahkan berani masuk ke kamarnya seperti saat ini tanpa seizin dirinya. "Aku hanya ingin membangunkan kamu Lania. Ayah datang ke sini kamu lupa?" Tiba-tiba suara Vino dengan nada yang super lembut itu terdengar tepat di balik pintu tersebut. Tanpa Lania duga. Vino ternyata masih berada di depan pintu dengan putus asa. Tampaknya ia mulai menyesal telah menggoda Lania dengan keterlaluan dan tak punya pilihan lain selain berdiri di balik pintu menunggu Lania untuk membuka pintu itu lagi. Apa lagi saat ini ada ayah yang berada di rumah mereka, sehingga Vino benar-benar tak ingin menimbulkan kecurigaan yang lebih dari hubungan mereka. "Ah, iya aku lupa!" Lania tertunduk malu. Ia benar-benar melupakan kunjungan ayahnya di rumah. Itu sebabnya saat ini Vino dan Lania menggunakan kamar yang sama karena terpaksa. Secara garis besar mereka harus terlihat harmonis di hadapan kedua keluarga. Lania yang tak ingin membuat ayahnya khawatir, serta Vino yang juga tidak ingin membuat kakeknya kecewa. Hal itu membuat kesepakatan baru dari mereka untuk terus terlihat harmonis dan mesra di hadapan kedua keluarga. Pada akhirnya rasa kemenangan tersirat jelas dari wajah Vino. Lania hanya menghela napas dalamnya memandang Vino yang tersenyum dengan cerah saat ia kembali membuka pintu kamar itu. "Hah... entah mengapa aku merasa kalah. Dia berhasil menggangguku dengan dalih yang tepat!" Di meja makan, Lania hanya menatap ayahnya yang masih menyiapkan sarapan untuk mereka. Lania yang saat itu menuangkan jus buah segar di gelas untuk sarapan hanya tersenyum ketir pada Vino. "Hmm.. Apa Ayah menganggu kalian ya?" tanya ayah Lania ragu-ragu. "Hah, kenapa? Bagaimana bisa Ayah berpikir begitu?" Lania terkejut mendengar pertanyaan dari sang ayah yang tiba-tiba. "Habisnya kamu dari tadi memandang suamimu penuh cinta seperti itu terus. Pasti Ayah menganggu pengantin baru yang ingin berduaan. Sepertinya Ayah sangat tidak peka!" Ayah Lania menangkap basah Lania dan Vino yang saling curi pandang. Membuat sang ayah merasa salah besar sudah datang ke rumah pengantin baru tersebut terlebih sampai menginap di sana. Mata Lania terbelalak mendengar ucapan dari sang ayah. "Aku menatap Vino dari tadi karena masih kesal. Ayah malah menganggapnya padangan penuh cinta," benak Lania yang tidak habis pikir dengan dugaan sang ayah. Tetapi, tentu ia tak mungkin mengakui hal tersebut. Sementara Vino, tersenyum lebar melihat ekspresi Lania yang sudah bisa ia tebak tengah memikirkan apa. "Hmm.. Ayah tidak menganggu, kok. Lania juga merindukan Ayah. Tapi, tentu saja sekarang di mata Lania hanya ada aku." Penuh percaya diri Vino mengatakan hal tersebut yang sontak saja membuat ayah tertawa dengan begitu keras dan renyah. "Hahaha.. Haha... iya.. iya.. tentu saja. Giliranku sudah usai. Dia sudah bosan melihatku terus. Tentu saja, ia lebih suka melihat suaminya." Ayah Lania akhirnya tertawa lebar. Mendengar ucapan Vino yang membuat Lania serasa mual dengan ucapan Vino yang berlebihan tersebut. Namun, masih tak bisa ia bantah demi membuat ayah tenang dengan hubungan rumah tangga anaknya. "Hehe.. hehe.." Lania hanya bisa tertawa kecil sambil menatap tajam Vino. Lagi-lagi Lania merasakan jika Vino berhasil mempermainkan dirinya. "Ya, sudah. Cepat habiskan sarapan kalian. Nanti kalian terlambat." Ayah Lania pun mempersilakan Vino dan Lania sarapan, seperti apa yang menjadi tujuannya datang ke rumah pengantin baru tersebut. Menyiapkan sarapan untuk mereka. Sebab, Lania sedikit merengek ingin mencicipi nasi goreng buatan sang ayah saat mereka kembali dari bulan madunya. Mungkin lantaran rindu setelah Lania menikah dan tinggal terpisah dari sang ayah. "Huft... apa mereka tidak terlalu cepat kembali bekerja!" seru sang ayah saat melepas kepergian dari pasangan tersebut. Kepergian mereka ke kantor mengantarkan Lania untuk mengingat alasan besar Lania yang ingin merahasiakan hubungan pernikahan mereka yaitu karena mereka bekerja di perusahaan yang sama. Lania hanyalah karyawan biasa di perusahaan tersebut. Namun, Vino yang mendapatkan perintah dari kakeknya untuk memegang perusahaan dari bawah, memasukkan Vino satu divisi dengan Lania. Lania pun secara langsung ditugaskan untuk mengajarkan berbagai hal pada Vino yang merupakan pegawai baru tersebut. Meski kedekatan mereka terlihat begitu alami, mengingat mereka juga berasal dari universitas yang sama. Tapi, Lania tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan pekerjaannya jika rekan lainnya mengetahui tentang pernikahan mereka. Selama di mobil, kecanggungan pun masih terjadi. Walau sesekali Lania memandang ke arah Vino. Tapi, Vino dapat merasakan jika pandangan penuh arti itu adalah pandangan penuh kebencian. "Aku tidak lihat apa-apa!" seru Vino tiba-tiba. Lania menyipitkan kedua matanya. Menatap Vino tajam yang kala itu tengah menyetir. Tatapan sinisnya terasa begitu menusuk. Memperlihatkan dengan jelas ketidaksukaannya. Eheem ... Vino berdeham dengan canggung wajahnya terasa panas oleh tatapan tajam Lania. "Tidak usah dibahas," ketus Lania dan kemudian memalingkan wajahnya keluar jendela. Huuuffft ... Vino menghela napasnya begitu terbebas dari tatapan tajam Lania. Meski Vino tak bisa memungkiri jika ia merasa bahwa perasaannya masih terasa mengganjal. Apa yang Vino takutkan pun terjadi. Bayangan akan tubuh Lania yang mengenakan kimono tidur itu kembali terngiang olehnya. Pakaian yang tipis dan memperlihatkan bentuk tubuh Lania. Tubuh Lania yang sintal dan molek itu membuatnya sedikit resah dan berkali-kali. Vino membenarkan posisi duduknya beberapa kali. Ia benar-benar resah dan semakin tidak nyaman. Helaan napas Lania yang ada di sampingnya itu juga menambah keresahan Vino. "Kenapa juga dia tidur tanpa menggunakan pakaian di dalam?" benak Vino lagi mengingat kejadian tadi. "Jadi, semalam dia tidur bersamaku tanpa menggunakan pakaian .... ehemmm.. pa-pakaian da-dalam," benaknya lagi dengan terbata-bata tak sanggup membayangkan isi pikirannnya sendiri yang kemudian membuatnya menginjak rem dengan sangat keras secara tiba-tiba begitu pikirannya kembali membayangkan apa yang ia lihat dari baju tipis Lania. Sebuah belahan indah yang baru pertama kali ia lihat dari istrinya tersebut. Cekiiiiit .... Mobil itu berdecit. "Vinoooo!!!!!" teriak Lania yang kemudian memandang Vino dengan tatapan penuh amarahnya. Kaget saat Vino tiba-tiba mengerem dan membuat tubuh Lania condong ke depan. "Ma-maaf.. maaf.. ada yang aku pikirkan." Vino pun bergegas melanjutkan perjalanan mereka dengan rasa gugup yang terus menyelimutinya. Serta debaran jantung yang berdetak semakin tidak karuan. Pada akhirnya Vino mencoba menyalakan musik di mobilnya untuk membuatnya tidak mengingat sosok Lania yang molek itu. Ia berusaha keras untuk berkonsentrasi menyetir. "Bisa gawat kalau kami kenapa-kenapa di jalan," benak Vino lagi seraya berusaha mengembalikan seluruh kesadaran serta akal sehatnya. Mobil Vino pun kembali melaju dengan tenang. Vino dan Lania pun tiba di kantor mereka tepat waktu. "Ingat, jangan sampai ada yang tahu jika kita sudah menikah," ancam Lania begitu turun dari mobil Vino. Ia turun di halte dekat gedung kantor mereka. "Huh, gadis itu." "Dia berlari sangat cepat hanya karena tidak ingin ketahuan satu mobil denganku. Huft ..." Vino menghela napas dan tersenyum memandang punggung Lania yang semakin menjauh. Lania berlari-lari kecil. Sesegera mungkin meninggalkan Vino yang masih berada di dalam mobil dan menuju parkiran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD