2. Berbaring di samping Vino

2222 Words
Tidak peduli sesederhana apapun sebuah pernikahan. Upacara pernikahan tentu akan menguras seluruh tenaga dari kedua mempelai, tak terkecuali Lania dan juga Vino. Mereka cukup kelelahan dengan segala upacara pernikahan mereka. Meski yang katanya sederhana namun tak bisa pula dianggap benar-benar sederhana. Semua menguras energi mereka, menghabiskan segala kesehatan mental mereka dengan berpura-pura bahagia. Tidak hanya itu saja, pernikahan mereka yang sebenarnya tidak dilakukan dari hati ke hati itu membuat semuanya terasa sangat melelahkan. Apa lagi, bagi Lania. Lania yang memiliki hati lembut itu mana berani menunjukkan segala keresahan hatinya. Ia pasti berusaha untuk terlihat bahagia di dapan keluarganya. Meski lelah sudah menjalar di seluruh tubuhnya. Lania yang sejak pagi buta untuk berdandan dan melakukan ritual lainnya. Hanya demi pernikahan sempurna yang akan membuat ayahnya terkesan. Sementara Vino juga tidak jauh berbeda. Walau ia adalah mempelai pria. Ia tetap harus melakukan ritual yang tidak pernah ia bayangkan akan menguras banyak waktu dan juga energinya. Semua hal itu diatur oleh kakeknya. Sehingga, Vino tidak bisa menghentikan segala aksi ritual yang harus dihadapi sebelum menikah tersebut. "Ah, tubuhku lelah sekali. Kenapa juga aku harus luluran sejak pagi buta," keluh Vino yang saat itu sudah terbaring di atas tempat tidurnya. Sesuatu yang rasanya tak harus pria lakukan, namun Vino benar-benar harus luluran sejak pagi buta. Menggosok area tubuhnya dengan matanya yang masih terasa berat dan mengantuk serta terus mendengar teriakan sang kakek tepat di depan pintu kamar mandi. Sebuah hal luar biasa yang membuat Vino sendiri tidak habis pikir. "IIiiccch... cukup sekali aku menikah. Aku tak mau melalui hal mengerikan itu lagi!" seru Vino seraya bergidik ngeri. Ia tak bisa membayangkan harus kembali menjalani ritual aneh itu lagi. Lania yang menangkap reaksi itu kemudian berpikir keras. "Memangnya dia punya rencana untuk menikah lagi?" Kesal bukan main membuat perasaan Lania menjadi sedikit campur aduk. Namun, Lania yang memang sudah memprediksi hal itu akhirnya tidak mau ambil pusing lagi. "Toh, yang penting aku bisa menjaga hatiku dan jangan terlena oleh segala yang ia lakukan!" Begitulah yang Lania simpulkan kala itu dengan penuh tekadnya. Ia tahu Vino tak memiliki perasaan padanya sehingga ia harus bisa berpikir jernih dan tak boleh goyah oleh apapun demi dirinya sendiri kelak. Berbeda dengan Vino yang langsung merebahkan tubuhnya. Lania harus mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Ia harus melepas segala yang menempel di tubuhnya. Gaunnya yang mewah, hiasan rambutnya serta menghapus riasan berat di wajahnya bila ia ingin ikut istirahat dan menghilangkan segala lelah yang kini semakin menjalar di tubuhnya yang kaku. Sekilas, meski saat itu Lania mengabaikan Vino. Sejatinya Lania melihat senyuman Vino penuh arti saat Vino merebahkan tubuhnya. Layaknya sebuah rubah yang tengah merencanakan sesuatu. Seperti itulah arti senyuman yang ditangkap oleh Lania saat ia meninggalkan Vino begitu saja terbaring di atas ranjang pernikahan mereka. "Mencurigakan!" Baru saja Lania merasa tingkah Vino mencurigakan. Kini ia kembali mengetahui niat busuk Vino yang mulai memperlihatkan arti dari senyuman liciknya tersebut. Tidak tahu sejak kapan, Vino sudah mengenakan pakaian santai. Ia tertidur pulas di atas kasur dengan tubuhnya yang tertutup selimut tebal dan terlihat begitu nyaman. Lania mendekat, menatap lekat Vino yang tertidur pulas tersebut masih dengan pikirannya yang lurus kala itu. "Dia benar-benar tertidur?" Sedikit bertanya-tanya di dalam hati Lania saat melihat tidur damai Vino itu. Meski begitu, tak sedikit pun pikiran curiga yang melintas di dalam benal Lania. Hingga akhirnya Lania pun memutuskan untuk mengalah. Ia membiarkan Vino menguasai kasur tersebut tanpa membangunkannya, di saat yang sama Lania pun memutuskan untuk duduk di sofa sambil sedikit beristirahat. "Syukurlah, kita berada di vila pribadi Vino yang sudah dirancang dengan baik. Ruangan ini benar-benar terasa sangat mewah dengan berbagai fasilitas di dalamnya," gumam Lania yang setengah bersyukur jika mereka bukan berada di tempat biasa sehingga Lania bisa dengan nyaman berada di sana tanpa harus bingung untuk beristirahat. Jujur, Lania masih enggan untuk bisa berbaring di samping Vino. Apa lagi, Vino sendiri saat ini sudah terpejam dan ia belum meminta izin untuk menggunakan kasur yang sama. Meski Lania sendiri tahu jika tak mungkin ada sesuatu yang akan terjadi di antara mereka. "Yah, setidaknya aku tak mau cari masalah. Aku hanya berharap sekali saja di saat hari pernikahan ini kami melaluinya dengan tenang!" benak Lania. Lania cukup bosan jika harus kembali berdebat dengan Vino. Energinya sudah cukup terkuras dengan pernikahan jangan sampai emosinya juga ikut terkuras karena kesal. Oleh sebab itu, Lania yang mengalah itu pun cukup menikmati suasana nyaman di kamar pengantin mereka. Kamar pengantin mereka begitu luas. Ranjang yang lebar dan tirai yang mewah. Perabotan juga sangat lengkap. Mulai dari televisi, lemari pendingin, kolam renang pribadi, serta sofa yang panjang dengan ukiran yang mewah. Rasanya bagi Lania yang biasa hidup sederhana. Ia mungkin tidak perlu ke luar kamar jika membutuhkan sesuatu. Semuanya tersedia lengkap di kamar tersebut. Pada akhirnya, Lania memutuskan untuk menyandarkan bahunya di sofa. Ia menatap langit-langit kamar yang juga terlihat mewah dengan ukiran berwarna keemasan. Matanya menyisir sekitar. Memandangi kemewahan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. "Wah, luar biasa. Berapa banyak uang yang sebenarnya dia miliki?" Sejenak Lania tidak percaya jika pria yang tengah terbaring di atas kasur itu kini sudah menjadi suaminya yang sah. Lania pun masih kagum akan kemewahan yang kini Lania rasakan. Sekilas rasa lelahnya sedikit berkurang. Ia terhibur dengan suasana kamar mewah tersebut. Hingga ia menemukan secarik kertas kecil di samping seikat bunga. "Terima kasih sudah menjadi istriku Lania. Bunga ini untukmu," Lania membacakan pelan isi pesan tersebut. Lania pun meraih seikat bunga yang berada di samping kertas kecil tersebut. Seikat bunga mawar merah yang terikat dengan begitu cantik. "Hmm.. tumben dia begitu romantis." Lania meraih bunga tersebut dan menciumnya pelan. Aroma khas dari mawar merah tercium lembut di hidungnya. Lania tersenyum senang. Ia merasa dihargai atas ketersediaannya menikah dengan Vino. "Hmmm.. tahu diri juga dia!" tutur Lania lagi. Senyuman Lania semakin merekah. Setidaknya ia tidak menyesali apa yang menjadi keputusannya saat ini. Hutang budi pada kakek Reno serasa bisa ia balas sedikit, kebahagiaan ayahnya juga membuatnya merasa keputusannya sudah tepat untuk menyetujui pernikahannya dengan Vino. Hingga, Lania mendapati sebuah catatan kecil lagi yang terselip di antara tangkai-tangkai bunga. Lania tidak sabar membaca isi dari catatan tersebut. Ia merasa jika Vino mungkin akan sadar dan sedikit berubah setelah pernikahan mereka. Vino mungkin tidak akan mengganggunya lagi setelah mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Penuh rasa percaya diri. Lania membuka catatan tersebut dan membacanya. "Aku sangat berterima kasih karena kamu mau memenuhi keinginan kakekku. Terimalah bunga ini dan selamat tidur istriku. Aku sengaja menyiapkan sofa dengan sandaran terbuat dari kayu jati agar kamu tidak nyaman tidur. Tapi, aku sudah memastikan jika bantalan sofanya benar-benar empuk. Aku tidur dulu Sayang. Di kasur yang empuk." "Vinoooooo!!" Seketika itu pula Lania berteriak kesal. "Jadi, maksudnya aku harus tidur di sofa?" Lania benar-benar murka. Kini ia menyadari apa arti senyuman licik Vino sebelumnya. Ia menyesal mengira Vino akan berubah setelah pernikahannya. Ia lebih menyesal lagi saat dirinya senang dengan bunga yang serasa romantis tersebut. Emosi Lania sudah memuncak. Teriakannya berhasil membuat Vino sedikit tersentak. "Dia sudah menerima bunganya!" benak Vino yang masih pura-pura tertidur dan sama sekali tidak bergeming dari posisinya itu. Berusaha tetap tenang, Vino mengatur nafasnya dengan baik. Ia terus memejamkan matanya tanpa terusik dengan apa yang akan Lania lakukan dengan segala amukannya itu. Sebelumnya Vino sudah menduga jika Lania akan murka dan akan terus menceramahi dirinya. Tapi, ia sama sekali tidak menyangka jika Lania malah akan lebih berani dari apa yang ia duga seperti apa yang tiba-tiba Lania lakukan padanya saat ini. Srrraaaaackk ... Lania membuka selimut yang menutupi wajah Vino. Menarik pergelangan kaki Vino hingga tubuhnya sedikit terseret. "Kamu jangan pura-pura tidur. Cepat buka matamu!" ucapnya geram sambil mengeratkan giginya. "Vino cepat bukaaaaa!" teriak Lania lagi masih menarik kaki Vino. "Lania jangan!!" Vino balas berteriak. Ia sudah tidak bisa lagi untuk berpura-pura tertidur. Kegaduhan mulai terjadi. Amukan Lania menjadikan perang bantal dan saling tarik menarik di antara keduanya. Vino sedikit menyesal dengan kelakuan isengnya tersebut. Ia baru menyadari jika ia tidak bisa kabur seperti biasanya. Kali ini ia harus bertahan bersama Lania di kamar tersebut. Karena pernikahannya yang tentu sudah menjadi sorotan dari kakek dan juga ayah Lania. Berbeda dari biasanya yang bisa meloloskan diri kapanpun dengan mudah. "Sial, seandainya ini bukan hari pernikahan kita!" gumam Vino yang benar-benar harus menerima amarah besar Lania. Sementara itu, kakek Reno dan juga ayah Lania yang lewat tak jauh dari kamar Lania dan Vino mendengar secara samar suara teriakan antara Vino dan Lania. Rintihan ... Teriakan kasar ... Decitan kasur yang terdengar rusuh ... Semua itu membuat kakek dan juga ayah terdiam beberapa saat tanpa suara dan tanpa bisa berkata-kata. Hingga akhirnya merekapun secara serentak mengambil langkah mundur. "Sepertinya aku akan segera punya cucu!" seru ayah Lania dengan wajahnya yang tersipu malu. Tidak jauh berbeda dengan kakek Reno. Tanggapannya juga sama begitu mendengar jeritan samar Lania dan cucunya tersebut. "Sepertinya aku masih sempat untuk melihat cicit sebelum aku meninggalkan dunia ini. Mungkin aku bisa menceritakan pada putriku bagaimana menggemaskannya cucunya nanti!" Keduanya tersipu malu. Tapi, diam-diam mereka mendekat ke kamar pengantin baru tersebut. Hanya sekadar keisengan hati mereka yang mengetahui jika sebelumnya Vino dan Lania kerap bertengkar kecil dan saling mengejek itu mencemaskan keduanya. Takut bila mana, Lania dan Vino tidak bisa akur. "Eheem.. aku hanya khawatir pada putriku yang kurang sabar itu!" dalih ayah Lania. "Aku juga mengkhawatirkan cucuku yang sering kurang ajar!" Begitu pula dalih dari sang kakek yang sedikit khawatir. Mereka menyadari jika pernikahan itu tidak sepenuhnya atas keinginan kedua belah pihak. Sehingga rasa khawatir mereka jauh lebih tinggi. Di dalam hati keduanya tertinggal sedikit rasa sesal. Mereka cemas jika Vino dan Lania justru tidak bahagia akan pernikahan mereka. Bagaimanapun, bagi kakek Reno dan ayah Lania. Baik Lania maupun Vino sama-sama adalah orang yang mereka sayangi dan mereka ingin keduanya bahagia sepenuh hati. Akan tetapi, kekhawatiran mereka lenyap begitu saja. Saat mereka mulai dekat dengan kamar pengantin tersebut. "Ahhhh.. Lania aku tidak kuat lagi!" "Kemana semua energi kamu, Vino? Ayo, lakukan dengan benar!" "Vino, cepat lakukan!" Tanpa pikir panjang lagi, keduanya langsung mempercepat langkah kaki mereka untuk menjauh dari kamar pengantin tersebut begitu mendengar suara Vino dan Lania yang begitu jelas. "I-itu, sepertinya kita tidak perlu khawatir," ungkap ayah Lania panik. Kepanikan yang sama juga terjadi ada kakek Reno. "Uuuhuks.. Seharusnya kita memang tidak perlu mengkhawatirkan pengantin baru!" Kakek Reno dan juga ayah Lania kini pergi menjauh dari kamar pengantin tersebut dengan wajah keduanya yang merah padam. Mereka mulai menyadari letak kesalahan mereka atas rasa penasaran kecil mereka itu. Di tengah segala pikiran dari kakek Reno dan ayah Lania. Faktanya saat ini Lania tengah menghukum Vino yang sudah mengerjainya tanpa perasaan. Ia menghukum Vino sementara Vino terus berdalih jika ia sudah tidak tahan lagi. Ia terus mengeluh tubuhnya yang kelelahan akibat pesta pernikahan itu. "Ayo angkat kakimu dengan benar!" teriak Lania seraya memandang Vino dengan matanya yang membulat besar. “Cepat angkat Vino!” teriak Lania lagi. "Awas saja kamu. Aku bisa adukan ini pada kakek!" Tentu saja, pertempuran antara Lania dan Vino itu dimenangkan dengan telak oleh Lania. Lania mendapat bukti kuat yang bisa membuatnya menang melawan Vino. "Kenapa juga aku tulis catatan itu, sih!" sesal Vino yang sangat ingin merebut catatan kecil yang kini menjadi bukti sekaligus senjata terkuat yang dimiliki oleh Lania. Tidak bisa Vino bayangkan jika Lania menunjukkan catatan itu pada kakeknya. Ia bisa diusir jika kakek mengetahui kalau Vino meminta istrinya untuk tidur di sofa saat hari pernikahan mereka. "Eh, tunggu! Bukankah dia juga tidak akan berani menunjukkan catatan itu?" benak Vino kemudian yang mulai menyadari sesuatu hal yang ganjil. Vino akhirnya menyadari. Jika, ia dan Lania berada di satu perahu yang sama. Mereka sama-sama tidak ingin ketahuan. Hal itu, membuat Vino semakin berani untuk kembali melawan Lania. "Aku tidak peduli, laporkan saja, sana kalau kamu berani!" tegas Vino tiba-tiba yang kemudian menurunkan kakinya yang semula terangkat sebelah akibat hukuman dari Lania. Di saat Lania bingung dengan perubahan Vino yang mendadak. Vino melangkah mendekati Lania yang masih berdiri di dekat tempat tidur. Ia mendorong bahu Lania hingga Lania mundur satu langkah dari posisinya. "Selamat tidur di sofa istriku sayang. Aku sangat lelah, karena sudah bangun dari sebelum matahari bersinar," kata Vino sambil tersenyum dengan licik dan menarik selimut hingga menutupi lehernya. "Haaah!" Lania tercengang dengan tingkah Vino kali ini. Tapi, disisi lain. Ia juga sadar jika ancamannya itu sudah tidak ada artinya lagi. Ia memang tidak akan bisa menunjukkan catatan tersebut pada kakek atau ayahnya. "Vino nyebelin!" umpat Lania. "Setidaknya berikan aku selimut! Suami macam apa kamu!" kesal Lania lagi yang langsung menarik dan merebut selimut dari tubuh Vino. Waktu pun berlalu begitu cepat dan entah bagaimana Lania berhasil melewati malam pengantinnya dengan Vino yang penuh dengan pertengkaran. "Hati-hati di jalan Ayah, Kakek. Tidak perlu mencemaskan kami!" "Jaga diri kalian baik-baik. Kalau ada apa-apa segera hubungi kami." Kakek dan ayah Lania langsung berpamitan di keesokan harinya. Meninggalkan Lania dan Vino untuk menikmati bulan madu mereka di pulau pribadi keluarga Vino. Ajaibnya, masa bulan madu mereka berlangsung dengan sangat lancar dan damai. Berkat perintah Vino yang meminta mengosongkan pulau tersebut dan hanya membiarkan para pekerja hanya sampai pukul 2 siang saja. Masa bulan madu itu bisa ia nikmati tanpa perlu banyak bertengkar dengan Vino. Hingga masa bulan madu mereka berlalu begitu saja. Dibanding dengan bermesraan layaknya pasangan pada umumnya. Vino dan Lania menghabiskan waktu mereka seperti sebuah liburan yang menyenangkan. Tanpa mencemaskan bencana apa yang akan mereka hadapi ketika kembali dari bulan madu mereka yang damai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD