1. Menjadi istriku secepat mungkin.

2351 Words
Gaun putih anggun penuh renda dan manik-manik yang berkilau, menghias indah di tubuh Lania Narifa Anandari. Ia terlihat begitu cantik dan anggun berbalutkan gaun pernikahannya tersebut. Punggung putihnya yang mulus terlihat cantik beserta riasan di wajahnya yang berseri, bersemu kemerahan dengan pipinya yang merona dan tatanan rambutnya yang mempesona. Sudah pasti jika Lania menjadi wanita tercantik di hari pernikahannya itu. Begitu pula dengan Vino Leondre Agma. Ia tampak serasi berada di sisi Lania. Tubuhnya yang tegap dan parasnya yang tampan terlihat bersinar di tengah altar pernikahan mereka yang begitu megah penuh bunga dengan aroma lembutnya yang membelai semua orang. Senyuman Vino merekah saat ia menyaksikan Lania memasuki altar pernikahan mereka. Berjalan perlahan menyusuri tiap langkah penuh bunga yang sudah menyambut Lania bergaun pernikahan itu. "Tenanglah," bisik Vino lembut pada telinga Lania yang disambut anggukan kecil dari Lania saat Lania tiba tepat di samping Vino yang sudah menunggu di altar tersebut. Bisikan lembut Vino itu adalah usaha terbaik Vino untuk mencoba menenangkan Lania yang gugup kala itu. Saat pernikahan mereka menuju detik-detik yang menentukan untuk bisa bersama selamanya kelak. Ikrar suci yang akan membuat mereka bersama dan terikat akan sebuah benang takdir yang mengikat mereka. "Tidak usah gugup, anggap saja kamu mencium pria yang kamu cintai!" saran Vino saat pernikahan mereka mendekati sumpah suci seumur hidup tersebut. Akan tetapi, debaran yang Lania Rasakan sama sekali tidak bisa di sembunyikan. Saat ciuman sakral itu berlangsung. Suara debaran jantung Lania menghentikan waktu yang ada. Menyisakan keheningan dengan hanya suara debaran dan lembutnya bibir Vino yang melekat padanya. "Bagaimana bisa aku membayangkan pria yang aku cintai jika yang muncul di dalam pikiranku hanyalah bayanganmu saja yang terus terlintas di benakku tanpa izin seperti ini, Vino," benak Lania yang kala itu mendapatkan ciuman sucinya di altar penikahannya. "Tidak, bukan karena aku tidak bisa membayangkan pria yang aku cintai. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa memikirkan pria lain jika kamu mencium aku dengan lembut seperti ini," benak Lania lagi yang kini memejamkan matanya. Larut dalam ciuman suci pernikahan mereka yang membuat Lania merasa jika Vino tengah mencium wanita yang ia cintai. Ciuman pertamanya Lania yang menghanyutkannya. Pernikahan itu pun dilangsungkan dengan sangat singkat. Begitu ciuman itu selesai. Pernikahan mereka langsung di anggap sah begitu saja. "Hmmmp.. Benar-benar singkat," gumam Lania yang menyadari betapa cepatnya acara pernikahannya tersebut. "Tentu saja, untuk apa berlama-lama. Kamu harus jadi istriku secepat mungkin Lania." Vino memicingkan matanya seraya tersenyum dengan penuh arti. Arti yang sama sekali tak bisa Lania pahami sama sekali. Lania yang menyaksikan hal tersebut sudah bergidik ngeri. Ia tidak bisa membayangkan apa yang saat ini tengah dipikirkan oleh Vino. Satu-satunya hal yang bisa ia duga adalah untuk tidak mencoba-coba mengganggu Vino. Ia sudah merasakan ancaman keras tersebut terpancar hanya dari tatapan tajam dari Vino tadi. "Ini, sih, tidak sebanding dengan aku yang sedari pagi buta berdandan hanya untuk upacara pernikahan yang hanya berlangsung beberapa menit seperti ini," gerutu Lania yang menyayangkan dandanan cantiknya itu. Jika ada pernikahan tercepat. Mungkin pernikahan Lania dan Vino adalah pernikahan tersingkat yang pernah dilaksanakan. Persiapan yang dilakukan begitu lama oleh kedua mempelai berakhir begitu saja dalam beberapa menit setelah mengucapkan sumpah pernikahan. Lania benar-benar sayang akan riasan cantiknya tersebut. “Duh, padahal lagi cantik begini!” katanya berulang kali sambil menatap cermin kecil yang ada di dalam genggamannya. Vino kembali memicingkan matanya. Ia terlihat kesal dengan keluhan Lania yang tiada henti tersebut. Membuat Vino bosan dengan keluhan yang sama. Terulang begitu saja sampai Vino sendiri mampu mengingat dengan baik apa saja yang telah Lania keluhkan. "Apa seharusnya aku mencium kamu lebih lama lagi, mungkin sekitar 10 menit atau 20 menit. Aku sanggup mencium kamu sampai kamu kehabisan napas!" tutur Vino dengan seringai di wajahnya seraya menyindir Lania yang katanya menyayangkan waktu singkat pernikahan mereka. "Kyaaa..." Lania bergidik ngeri. Ia menjerit kecil dengan wajahnya yang merah padam dan Vino tertawa penuh kemenangan akan reaksi Lania tersebut. "Sudahlah, bukankah ini yang kamu mau. Kamu yang meminta untuk menikah seperti ini, kan! Jadi, diam lah. Kamu sangat berisik, Lania." "Sekarang tersenyum dengan lebar kita akan masuk sesi foto, nih!” Seketika Lania terdiam. Ia tidak bisa membantah apa yang Vino katakan dengan tegas tersebut. Peringatan Vino ada benarnya. Ulahnya sendirilah yang ingin melangsungkan pernikahan secara sederhana dan tertutup. Walau sebenarnya tidak juga bisa di bilang sederhana mengingat segala dekorasi indah yang terpajang serta gaun dan aksesoris mewah yang saat ini Lania kenakan. Meski seperti itu, pada kenyataannya pernikahan Lania dan Vino hanya berupad upacara pernikahan dan makan bersama saja. Tanpaadanya banyak tamu undangan yang menghadiri pesta pernikahan mereka. Meski begitu setidaknya ia harus puas setelah melakukan sesi foto yang hanya berlangsung beberapa menit tersebut sebagai kenang-kenangan dan bukti kecil dari pernikahan mereka yang sudah berlangsung. “Ayo, tersenyum lebih lebar lagi. Kita akan makan bersama keluarga, kamu mau mereka curiga jika kamu terus cemberut dan mengeluh seperti itu, Lania?" tanya Vino memperingati Lania untuk yang kesekian kalinya. “Vino, kamu tidak lihat gigiku sampai kering karena tersenyum terus?” Lania bertanya kembali pada Vino. Ia berbicara hanya dengan menggerakkan bibirnya tanpa mengangkat sedikitpun giginya yang rapat dan terlihat berjajar rapih. “Ingat, ini yang kamu harapkan. Jadi, tahan sampai gigimu benar-benar kering. Fft.. ft..” Walau sedikit kesal, Lania juga ikut tertawa kecil mendengar ucapan konyol dari Vino. Mungkin tidak seperti yang diharapkan oleh para wanita pada umumnya. Pernikahan selalu identik dengan kemeriahan dan tamu yang melimpah. Tapi, Lania memang meminta agar pernikahannya diadakan dengan sangat sederhana. Semua ini bermula dari permintaan sang kakek Reno Demian Agma. Kakek dari Vino Leondre Agma, yang meminta Lania untuk menikah dengan Vino cucunya. Lebih tepatnya sekitar 2 bulan yang lalu. Sang kakek yang juga Lania sayangi itu meminta padanya dengan penuh harap. "Lania, Kakek sangat berharap jika kamu akan menjadi cucu Kakek. Kakek sudah mengenal kamu dengan baik. Kalian juga sudah berteman lama. Kakek merasa hanya kamu yang pantas berada di sisi Vino. Kakek sangat ingin melihat pernikahan kalian sebelum Kakek tutup usia." Perkataan kakek yang seolah akan tutup usia itu tentu saja membuat Lania tercekat, napasnya ikut sesak. Bagaimana pun kakek Reno banyak berjasa bagi hidupnya. Selain itu, ia juga sudah sangat menyayangi kakek Reno sepenuh hatinya. "Hmm.. Jika kamu tidak mau. Kakek tidak, akan memaksa." Raut wajah kakek langsung terlihat murung saat ia tidak mendapatkan jawaban langsung dari Lania. Sudah jelas, Lania langsung meraih tangan kakek Reno. Ia mulai berkata dengan suaranya yang tegas dan lantang. "Mana mungkin aku tidak mau menikah dengan Vino. Vino itu merupakan pria idaman setiap wanita, Kakek!" Senyuman Lania melebar. Matanya berseri menceritakan dengan penuh semangat. "Mana ada yang bisa menolak calon suami seperti Vino. Kakek tahu sendiri cucu Kakek itu seperti apa? Ia selalu ceria, ramah, baik hati, latar belakang Vino juga bagus. Hmmm.. tidak hanya itu, yang lebih penting lagi. Dia punya banyak uang dan wajahnya luar biasa tampan." Kakek tersenyum mendengar ucapan Lania yang menggebu-gebu tersebut. Merasa Lania sudah berhasil meyakinkan kekek. Lania kembali berkata, "Mana mungkin aku menolak suami seperti Vino, Kakek. Dia itu sempurna dan dia yang terbaik untuk urusan wajah dan uang!" "Uang?" kakek mengulang apa yang Lania katakan dan Lania pun ikut mengangguk dengan penuh keyakinan. "Iya, Kek. Uang!" kata Lania lagi dengan memberi sedikit penekanan saat mengatakan kata "uang" tersebut. Kakek tertawa lebar saat Lania menekankan ucapannya pada kata "uang" tersebut. Kekehannya pecah terdengar. Lania bersyukur kakek sudah kembali ceria. Walau sebenarnya saat itu Lania mengumpat dirinya sendiri. Memang benar jika Vino sangat tampan, baik hati, ramah dan juga memiliki latar belakang yang baik. Tapi, itu semua bukanlah Vino yang sesungguhnya. Vino yang asli itu sangat menyebalkan. Ia lebih mirip dengan iblis jika di bandingkan seorang pangeran kaya raya. Iblis yang banyak uang tentu lebih mengerikan. "Amat sangat menyebalkan. Penuh kepalsuan. Tapi, aku tidak berbohong pada kakek. Jika, dia memang memiliki wajah tampan yang menipu dan uang yang benar-benar melimpah," benak Lania yang memaki dirinya sendiri akibat baru saja memuji Vino. Tidak heran Lania mengatakan hal itu. Meski semua orang memuji sikap Vino yang santun. Tapi, di hadapan Lania. Vino jauh berbeda. Ia pria yang sangat menyebalkan dan selalu membuatnya mrasa kesal. "Pokoknya wajahnya itu yang terbaik kakek. Ah, tidak. Uang jauh lebih penting. Tapi, wajahnya memang tampan sekali. Aku tidak akan kelaparan dengan wajah yang Vino miliki. Kakek tenang saja. Dia bisa menghasilkan banyak uang hanya dengan wajahnya saja!" "Hahaha.. Haha.." Kakek Reno tertawa geli. Begitu melihat reaksi dari Lania yang menyegarkan tersebut. Ucapan Lania sama sekali tidak terbantahkan dan itu benar-benar ciri khas dari Lania. Gadis ceria yang jujur. Keceriaannya dan kejujurannya itulah yang membuat kakek Vino cukup kagum akan sosok Lania yang tulus tanpa kepalsuan. Persetujuannya akan tawaran kakek itu yang mengantarkan Lania pada pernikahannya hari ini. Pernikahan yang hanya dihadiri oleh ayahnya dan kakek Reno saja. Tidak heran, karena hanya merekalah keluarga yang Lania dan Vino miliki. Ibu Lania sudah meninggal. Hanya tinggal ayahnya seorang, yang mengelola sebuah restoran biasa. Sementara Vino hanya memiliki kakeknya sedangkan kedua orangtuanya meninggal dunia. Kakek merawat Vino sejak usianya yang belia. Hal itu pula yang membuat Lania dan Vino saling mengenal. Kakek yang sering membantu pengobatan ibunya Lania sehingga Vino juga kerap disambut baik oleh keluarga Lania. Ibunya sudah seperti ibu Vino begitu juga dengan ayahnya yang sangat menyayangi Vino. Terkadang Lania mengira jika Vino adalah anak kandung mereka. Karena mereka kerap membela Vino dari pada dirinya. Lania kembali mengingat masa-masa yang sempat ia lalui dulu. Ia cukup terharu bisa menikah dengan Vino. Ia membayangkan jika saja. Ibunya masih ada dan ikut menyaksikan pernikahan mereka. Meski ini bukan seperti pernikahan impiannya. Tapi, Lania sangat senang melihat kebahagiaan ayahnya dan juga kakek Reno. Lania yakin jika di surga sana ibunya juga akan sangat bahagia mengingat ibunya sangat menyayangi Vino. "Hei, ingat. Jaga sikapmu dengan baik di hadapan kakek dan ayahmu," ancam Vino pada Lania lagi. Ancaman itu sejalan dengan permintaan Lania yang ingin merahasiakan pernikahannya. Tentu saja, mereka harus tetap terlihat mesra di hadapan keluarga mereka. Mereka tidak ingin menyakiti perasaan kakek yang meminta mereka untuk menikah. Begitu pula dengan Lania yang tidak ingin membuat ayahnya khawatir setelah pernikahannya dengan Vino. "Iya, iya aku mengerti!" gerutu Lania sambil memasang senyumannya yang lebar. Tepat saat mereka sudah tiba di meja makan dan disambut oleh senyuman kakek Reno dan ayah Lania. "Makan yang banyak. Ini semua menu makanan kesukaan kalian." Kakek Reno sangat antusias akan pernikahan cucunya tersebut. Begitu pula dengan ayah Lania. Ia jauh terlihat bahagia. Mata dan hidungnya merah. Ia sedari tadi menangis haru melepas pernikahan putrinya. "Ayah, Ayah benar-benar terlihat jelek. Aku tidak bisa membayangkan foto pernikahanku seperti apa," tutur Lania begitu melihat sang ayah dengan wajahnya yang bengkak. "Ffft.. Ftt.." Tawa renyah pun pecah akibat ucapan pertama Lania. Mereka pun menghabiskan makanan mereka dengan suasana yang begitu ceria. Hingga menu makanan penutup tiba. Vino tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bersikap manja dan mengerjai Lania. "Sayang, aaaaa.." Vino mengarahkan sesendok puding ke mulut Lania. Sudah jelas, Lania tidak akan bisa menolak suapan dari Vino tersebut di depan kakek dan juga ayahnya. "Lagi, aaaaa.." Sudah untuk yang sekian kalinya Vino menyuapi Lania berbagai menu makanan yang ada di atas mejatersebut. Lania sudah benar-benar kenyang. Tapi, ia masih tidak bisa menolak suapan dari suaminya tersebut. Matanya sudah berkedip dengan cepat. Lania juga terlihat sudah kesulitan menelan makanan. Lania terus memberikan kode keras pada Vino. Namun, hal itulah alasan Vino tidak henti menyuapi Lania. Lania benar-benar bisa menghibur dirinya hanya dengan ekspresi yang Lania tunjukkan. "Ekspresinya ajaib sekali. Aku jadi ingin terus mengganggunya," benak Vino yang sangat menyukai ekspresi Lania tersebut. Sementara Lania, saat itu sudah menendang kaki Vino beberapa kali berharap Vino mengerti dan menghentikan suapan makanan yang terus mengarah pada mulutnya. Hanya senyuman lebar dari Vino yang ia berikan pada Lania. Tanpa menghiraukan kode yang sedari tadi Lania tunjukkan. Lania pun memutar otaknya. Ia harus segera menghentikan tingkah dari Vino sebelum ia muntah karena kekenyangan. Lania pun memutuskan untuk mengatakannya langsung pada Vino. Ia menyentuh pipi Vino dengan lembut. Mendekatkan wajahnya dan kemudian berbisik dengan lirih, "Vino sudah cukup. Aku bisa meledak jika kamu menyuapiku terus." Akan tetapi, apa yang bisa Lania harapkan dari Vino. Lania yang telah menarik pipi Vino itu justru membuatnya mendapatkan kesempatan lain untuk membuat Lania kesal. "Iya aku juga sudah tidak sabar, Sayang. Tunggu sebentar!! masih ada kakek dan ayahmu," ucap Vino dengan suaranya yang sengaja ia keras kan. Seketika itu kakek dan juga ayah Liana heboh dengan muka mereka yang memerah. "Ya ampun, kami tidak peka terhadap pengantin baru ya!" "Kita sudah makan terlalu lama, akibat keasyikan mengobrol. Maafkan kami." "Baiklah, bagaimana jika kalian langsung ke kamar pengantin saja!" Ayah Lania dan kakek Reno benar-benar sudah salah paham dan juga salah tingkah. "Tidak, itu. Bukan begitu maksudnya!" Lania berdalih. Namun, semua itu sia-sia. Mereka justru menanggap Lania malu tentang hal tersebut. Hal wajar yang terjadi pada pengantin wanita di malam pertama pernikahan mereka. "Tidak usah malu-malu! Ayo!!" Mereka pun terburu-buru menuntun Lania dan Vino ke kamar pengantin yang sudah disiapkan dengan begitu cantik. "Kami tidak akan mengganggu!" Kakek dan ayah Lania dengan serentak meninggalkan Lania dan Vino begitu saja di kamar tersebut. Sementara itu, Lania masih terdiam dan bingung akan apa yang baru saja terjadi. Ia terdiam menatap pintu yang sudah tertutup rapat secara tiba-tiba tersebut. "Aaaah... akhirnya aku bisa rebahan!" Vino langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur tidak peduli dengan Lania yang masih mematung. Bingung dengan apa yang terjadi begitu cepat tersebut. Vino malah bertindak seolah tak terjadi apa-apa. "Kamu gila! Apa yang kamu lakukan Vino. Ayah dan kakek sampai salah paham begitu. Ini masih siang bolong dan kamu mengatakan hal memalukan begitu!" teriak Lania yang kini kesadarannya telah pulih. "Lania, sudahlah. Bukankah yang terpenting kita tadi berhasil keluar dari pembicaraan membosankan kakek dan ayahmu." Lania sama sekali tidak bisa membantah ucapan Vino tersebut. Ia memang sudah merasa lelah dan energinya cukup terkuras. Walau pernikahan itu sangat sederhana tapi berhasil membuatnya merasa sangat lelah. Ia juga tidak bisa membayangkan jika pesta pernikahan itu berlangsung meriah dan megah. Pasti rasa lelah yang Lania rasakan akan berkali-kali lipat. "Benar juga, ya sudah. Aku mau ganti pakaian dulu." Tepat di saat Lania menuju kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Vino tersenyum dengan lebar. "Kena, kau!" ungkap Vino dengan senyumannya yang penuh dengan arti khusus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD