9. Raba-raba

1582 Words
"Kali ini apa lagi yang ia lakukan?" "Cara apa lagi yang akan kamu gunakan untuk membuatku kesal!" Benak Lania sudah langsung pada satu tujuan yang sama, kala Vino yang kembali mulai bertingkah dan sudah pasti akan menguji kesabarannya untuk kesekian kalinya. Helaan napas panjang pun tak henti Lania hembuskan. Membantu Lania untuk bisa jauh lebih mengontrol dirinya agar tidak hanyut pada emosi yang selalu Vino sulut. Meski Lania sejujurnya masih kesal akan tindakan Vino yang selalu mencari cara agar membuatnya kesal. Tapi, Lania hanya bisa menahan dirinya. Ia tidak mau terus menerus terbawa arus kebencian yang selalu Vino tebar. Ia selalu merasa kalah apa bila ia memperlihatkan kekesalannya. Walau terkadang Lania mengakui jika ia memang tak mampu lagi untuk menahan diri. "Tapi, tidak kali ini. Aku benar-benar merasa lelah. Aku tidak sanggup menghadapi tingkahnya!" Tubuh Lania terlalu letih untuk terus meladeni segala godaan nakal Vino. Lania sendiri sudah cukup sibuk menenangkan dirinya yang lelah karena harus ikut lembur dengan mengerjakan beragam hal untuk acara tahunan kantornya itu dan rasanya ia tak lagi punya cukup tenaga untuk bisa meladeni segala candaan Vino dan hanya tersenyum hampa yang bisa langsung Vino tebak bahwa Lania tersenyum tanpa benar-benar mengerti apa yang membuatnya tersenyum. "Hmmm.. ternyata dia bisa juga tersenyum ala politikus begitu!" gumam Vino saat ia menyadari jika Lania sama sekali tidak memperdulikan apapun yang ia lakukan. Akan tetapi, Vino yang jelas tidak kehabisan akal itu menantang dirinya sendiri. "Tapi, sampai kapan kamu bisa menahan itu semua Lania. Lihat saja, aku tidak akan membiarkan kamu begitu saja!" Senyuman culas pun terpancar dari Vino tanpa di sadari oleh Lania yang malam itu tampak tidak berniat meladeni Vino. Lania yang telah mengabaikan Vino hingga mereka semua pekerjaan mereka sebagai panitia nyaris selesai dan hanya bersisa beberapa hal lagi untuk di kerjakan, yaitu membereskan segala kekacauan yang timbul dari persiapan mereka. "Serahkan semuanya padaku dan Lania!" "Hmmm.. Kalian pulanglah terlebih dahulu! Biar aku dan Lania saja yang membereskannya." Perkataan Vino tentu saja disambut meriah oleh rekan lain yang memang sejatinya sudah kelelahan. Walau memang ada di antara mereka yang merasa tidak enak untuk membiarkan Lania dan Vino yang membersihkan segalanya. "Apa tidak apa-apa kalian yang melakukannya? Bukankah jika kita lakukan bersama akan jauh lebih cepat selesai?" Seperti tupai yang pandai melompat, Vino yang lincah dengan segala alasannya itu tak mungkin membiarkan orang menghalangi rencana kecilnya. Ia pun langsung berkata, "Justru karena tinggal sedikit lagi, biarkan kami saja yang membereskannya. Akan sulit untuk beres-beres jika di ruangan sempit ini terlalu banyak orang." "Kamu benar, nanti yang ada kita malah asik bercanda dan akhirnya memperlambat pekerjaan!" Salah satu dari mereka yang memang sudah ingin pulang itu pun mendukung Vino. Sehingga, maksud hati Vino pun langsung di pahami oleh mereka. Menganggap jika ruang gerak yang mereka miliki akan sangat terbatas dan malah semakin menghambat pekerjaan yang seharusnya bisa di kerjakan dengan mudah. Akhirnya mereka pun sepakat dengan apa yang Vino ajukan tersebut. "Ya sudah, kalau begitu semangat ya.." "Kami pulang dulu." "Hati-hati ya kalian.." Semua orang menyemangati Lania dan juga Vino. Tentu dengan rasa sedikit bersalah yang juga terlihat di wajah mereka. Lania ikut tersenyum melepas kepergian mereka dengan berkali-kali menyebutkan kata "iya" sebagai jawaban dari apa yang mereka ajukan. "Oh iya.. kalau pulang terlalu telat. Vino, kamu harus antarkan Lania pulang ya!" Ketua panitia tentu saja mencemaskan banyak hal kecil. Termasuk keselamatan para peserta panitia tersebut. Sehingga ia pun memohon pada Vino satu hal lagi sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan mereka. "Hmm.. tenang saja. Akan aku pastikan Lania selamat dan baik-baik saja!" jawab Vino dengan senyumannya yang lebar. Sementara itu, Lania sendiri hanya merapatkan kedua giginya dan menelan rasa geram yang ia miliki dengan omelan yang terus terlintas di dalam hati Lania. "Tentu saja dia akan mengantar aku pulang. Kita kan tinggal di rumah yang sama." "Makin di suruh, ya.. dia malah makin senang dong." Omelan Lania seakan bisa menembus telinga Vino meski itu ia gumamkan di dalam hati Lania saja. Meski begitu, mereka tetap berusaha terlihat tersenyum dengan riang melepas kepergian rekan lainnya itu. "Hati-hati semuanya. Dah!!" Vino melambaikan tangannya pada para panitia yang sudah berpamitan. Vino tersenyum culas. Sudah jelas apa yang ada di dalam pikirannya itu. Tapi, Lania benar-benar tidak sanggup lagi meladeni segala rencana aneh yang mungkin akan Vino lakukan tersebut. Bukan sebuah kebetulan Vino dan Lania yang tertinggal di kantor tersebut. Pasalnya Vino sendirilah yang menawarkan dirinya untuk mengecek semuanya sebelum mereka benar-benar pulang. Vino dengan suka rela menawarkan dirinya untuk hal itu dan Lania lagi-lagi terseret akan segala tindakan Vino dengan segala manipulasi yang ia lakukan. "Kenapa kamu selalu menyeret aku, sih!" gerutu Lania yang mulai menata rapih segala hal yang mereka perlukan untuk besok. "Memangnya kamu tega, membiarkan suami kamu lembur sendirian. Huh, istri macam apa, kamu ini Lania!" umpat Vino pada Lania. Hanya bisa menghela napas panjang. Lania sudah tidak sanggup lagi untuk meladeni Vino. "Sudah cepat kerjakan. Aku ingin segera pulang!" gerutu Lania yang sudah sangat kelelahan dan rasanya ia sangat ingin segera merebahkan tubuhnya di kasurnya yang empuk. Merasa gagal menggoda Lania, Vino kembali memutar otaknya. Ia masih tidak puas dengan reaksi Lania kali ini. Tepat, di saat Vino sudah kehabisan akal. Tiba-tiba saja ia mendapat pesan masuk dari sang kakek. "Sayang, kakek akan menginap di rumah kita!" teriak Vino dengan sangat lantang. Karena ia terkejut begitu membaca isi pesan dari kakeknya tersebut. Mata Lania langsung membulat. "Sayang????" Jujur saja, Vino memang tidak sengaja memanggil Lania dengan panggilan tersebut. Semua semata-mata karena ia juga terkejut dengan pesan yang baru saja ia baca itu. Ia tidak menyangka jika sang kakek akan datang menemui dirinya dan setiap kali ada hal yang berhubungan dengan kakeknya atau ayah Lania. Maka secara otomatis Vino memang kerap menjadi suami yang baik. Vino pun segera menutup mulutnya, "Ma-af!" sesal Vino yang untung saja dimaklumi oleh Lania kali ini. "Hufft.. Untung saja di sini tinggal kita berdua!" desah Lania lagi yang kali ini membiarkan Vino begitu saja. Bukan hal yang aneh kenapa Vino memanggilnya dengan panggilan tersebut. Sebelumnya mereka sudah sepakat untuk terlihat mesra dan baik-baik saja di hadapan kakek dan ayah Lania. Untuk membiasakan hal tersebut. Mereka sepakat untuk saling bersapa mesra layaknya pasangan suami istri pada umumnya jika berada di rumah dan sepertinya kebiasaan itu terus berlanjut jika mereka sedang berdua saja atau kala mereka membahas tentang kakek serta ayah Lania. "Ka-kakek mengetahui jika kita menjadi panitia malam ini. Kakek tahu kita belum makan dan dia membawakan makan malam untuk kita!" Tanpa di minta Vino akhirnya menjelaskan hal tersebut pada Lania dengan terburu-buru. Meski Lania tidak menjawab apapun. Lania sudah tidak heran akan hal tersebut. Sang kakek pasti terus memantau mereka. Meski kakek setuju merahasiakan pernikahan itu dengan alasan agar Lania dan Vino bisa bekerja dengan nyaman. Tapi, apa pun yang mereka lakukan di perusahaan tentu tidak akan bisa luput dari pengawasan sang kakek. Waktu memang menunjukkan pukul 9 malam, tidak terlalu lambat untuk jam makan malam. Bersyukur pekerjaan kali ini lebih ringan dengan panitia yang cukup ramai saling membantu. Tapi bukan berarti pekerjaan mereka sebagai panitia akan selesai begitu saja. Masih banyak hal lain yang harus mereka kerjakan nantinya. "Apa tidak masalah kakek malam ini menginap di rumah?" tanya Vino saat di perjalanan pulang mereka dengan hati-hati kepada Lania. "Tidak apa-apa, aku mengerti rasa khawatir mereka." Apa yang kakek Reno dan ayah Lania khawatirkan juga bisa dirasakan oleh Lania dan Vino. Hal wajar mengingat pernikahan mereka seolah berdasarkan keinginan sang kakek. Meski kakek tidak menunjukkan secara langsung kecemasannya. Tapi, semua bisa terlihat jelas dari apa yang kakek lakukan untuk memantau mereka berdua. "Aku pasti bisa meyakinkan kakek kalau kita baik-baik saja!" Lania kembali menegaskan hal tersebut pada Vino. "Iya, aku juga akan berusaha keras!" sambung Vino kemudian. Mereka berdua masih bertekad untuk melakukan pernikahan bahagia di hadapan keluarga berharga mereka. Hal itu lah yang kini membuat makan malam mereka terlihat begitu hangat meski tubuh mereka berdua benar-benar sudah sangat kelelahan. "Sayang, temani lah kakek biar aku yang membereskan ini semua!" Lania tersenyum cerah pada Vino, ia berinisiatif untuk membereskan meja makan dan mencuci piring. "Jangan! Biar aku bantu juga agar cepat selesai. Kamu juga pasti kelelahan!" "Sayang, kamu istirahat saja!" Kali ini, giliran Vino yang tersenyum dengan cerah. Membantu Lania dengan begitu penuh perhatian. Tentu dengan kesempatan bagi Vino lagi untuk mengganggu Lania. Apa lagi, Lania kali ini tidak akan bisa melawan sebab ada kakek yang mengawasi mereka. "Sial, apa yang kamu lakukan?" "Cepat sana, biar ini cepat siap. Aku benar-benar lelah!" Lania mengumpat dengan setengah berbisik ke telinga Vino yang kemudian membuat Vino terus mendapatkan ide cemerlangnya terus untuk lebih menggoda Lania hingga Lania akan benar-benar merasa kesal. "Ayo lah.. Sayang!" "Bagaimana kalau kali ini kita kerjakan saja bersama!" Vino melingkarkan lengannya di pinggang Lania yang saat itu sedang mencuci piring dengan kedua tangannya yang penuh dengan busa. Selain karena ada kekek, Lania pun tidak bisa melawan dengan posisi tangannya yang penuh busa tersebut. "Apa yang kamu lakukan?" geram Lania sekali lagi dengan suara yang setengah berbisik. "Hhmmmm... aku lagi raba-raba!" jawab Vino santai dengan tangannya yang kini mendadak menyisip ke balik baju lania. Jemari Vino yang dingin itu terasa sangat nyata di kulit perut Lania. Menggelitik dan menyentuh dengan lembut sekitar perut Lania yang membuat Lania sedikit merasa geli dan pada akhirnya tubuhnya tidak bisa berdiam dengan tenang. Terus bergerak bersamaan dengan jemari Vino yang masuk sembarangan tersebut. Kekesalan kini memuncak di dalam pikiran Lania. Ia tidak habis pikir dengan tindakan berani Vino yang dilakukan saat ada sang kakek di sana. Membuat darah Lania rasanya sudah mendidih dengan amarah yang seharusnya sudah meluap-luap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD