10. Tidur satu kamar.

1965 Words
“Aku takut Lania menderita bersama dengan Vino yang seperti itu. Vino yang selalu menyembunyikan isi hatinya itu.” “Tapi, jika melihat mereka seperti ini. Aku benar-benar tidak menyesal.” Tawa riang antara Lania dan Vino membuat suasana hangat terasa mengisi seluruh ruangan tersebut. Senyuman yang terlihat merekah penuh ketulusan, bola mata yang bersinar dengan ringan dan tanpa beban. Hati yang seharusnya saat ini sedang berbunga dengan indah dan semerbak. Sang kakek yang menyaksikan keakraban mereka ikut tersenyum cerah. Ia senang melihat rumah tangga cucunya yang begitu mesra. Ia merasakan cinta yang tulus terpancar dari dua orang tersebut. Sesuatu yang membuat sang kakek merasa cukup lega dengan hal tersebut. Ia jadi tidak merasa bersalah telah menjodohkan keduanya. Beban besar saat ia takut wanita manis dan baik hati seperti Lania justru hancur dan rusak karena Vino. “Bunga yang terlalu sering disiram justru akan membuat kelopaknya hancur dan mungkin saja bila bunga itu akan mati.” Pemikiran yang selama ini sangat mengganggu dari sang kakek itu mendadak sirna seketika setiap kali ia melihat kedekatan antara Vino dan juga Lania. Sesuatu yang bisa langsung ia lihat jika keduanya saling mencintai. "Aku senang jika mereka sangat akrab begini. Tapi, Lania benar-benar terlihat kelelahan. Dia pasti tidak akan sanggup mengurus rumah yang besar ini setiap hari!" Melihat kantung mata yang lebar dari Lania serta tubuhnya yang ringkih itu membuat sang kakek berpikir keras tentang kondisi Lania saat itu. Ia takut jika Lania yang terlalu kelelahan itu harus mengurus suami dan rumah sendirian. Belum lagi urusan pekerjaan yang mungkin sering tidak terkendali. “Aku sudah meminta Lania untuk tidak bekerja terlalu keras dan akan mengembalikan posisi Vino jika memang Lania menginginkannya. Tapi Lania malah menolak hal tersebut.” Kakek bisa mengingat dengan jelas seperti apa ekspresi dari Lania saat sang kakek mengajukan hal tersebut. “Apa? Kakek mau menghentikan pendidikan Vino di perusahaan dan memberinya jabatan sebagai CEO. Tidak bisa. Ini tidak bisa!” “Biarkan dia belajar lebih lagi. Dia harus tahu kenyataan pahitnya karyawan biasa seperti kami. Ini demi kebaikan perusahaan.” Tawa kecil bahkan keluar dari sang kakek pada saat itu, apa lagi di saat Lania malah mengajukan jika Vino juga seharusnya sesekali ditempatkan sebagai OB di perusahaan. Intinya, Lania menentang hal tersebut. Ia ingin tetap seperti saat ini, dan itu pula yang ia jadikan alasan untuk menyembunyikan pernikahan mereka. Ia menikmati saat ia bekerja di kantor dan ia juga menyukai bisa bekerja dengan Vino. “Aku bisa mengawasi suamiku yang nakal itu. Setidaknya di kantor dia itu masih juniorku. Aku bisa meneriakinya sesuka hatiku.” Senyuman penuh sihir dan tawa sadis itu keluar dari Lania. Namun, hal itu malah membuat sang kakek tertawa lebar. Mendapati hubungan rumah tangga manis yang cucunya jalankan. Seorang wanita yang ternyata bisa menaklukan cucunya tersebut. Membuatnya cukup lega, kalau-kalau ia tidak lagi berumur panjang. Oleh sebab itu, perhatian yang kini ia curahkan pada Lania semakin menjadi-jadi. Kakek mulai cemas akan banyak hal dan tak ingin membuat Lania kesulitan dan satu hal yang paling membuatnya cemas adalah kehamilan Lania. Kakek yang juga sangat ingin segera memiliki cicit itu tentu saja berharap bila Lania bisa segera hamil. "Aku harus menempatkan asisten rumah tangga di rumah ini jika ingin segera menimang cicit!" ungkap sang kakek dengan penuh tekad bersama binar matanya yang terus menyala terang tanpa sepengetahuan Vino dan Lania tentunya. Begitu mengetahui rencana sang kakek. Lania dan Vino langsung terlibat dalam pergulatan negosiasi yang pekat. Masing-masing dari mereka punya pendapat yang berbeda akan penawaran sang kakek tersebut. Percakapan sengit sebelum tidur itu berlangsung tanpa jeda. Masing-masing dari mereka belum menemukan titik terang. Pasalnya, apabila memang ada asisten rumah tangga yang akan bekerja. Maka mereka tak lagi bisa bersikap sesuka hati saat mereka berada di rumah tersebut. Pernikahan palsu mereka saat ini mungkin akan kacau dan jauh terasa melelahkan. Harus bertindak ramah dan mesra bahkan di hadapan asisten rumah tangga mereka. "Pokoknya, tidak ada pilihan lain selain kita memakai kamar yang sama!" tegas Lania yang tetap pada pendiriannya. "Tidak bisa, pokoknya aku tidak mau satu kamar denganmu!" Vino juga tidak mau mengalah. “Aku tidak bisa membayangkan harus tidur setiap hari denganmu.” “Tidak, tidak. Aku tidak mau!” Vino begitu tegas menolak hal tersebut. Sedangkan Lania yang tak ingin semuanya berantakan tetap menganggap jika yang terbaik adalah mereka harus menggunakan kamar yang sama. Sejak awal sebelum mereka menikah, Vino memang menegaskan dirinya untuk tidak menggunakan kamar yang sama dengan Lania meski mereka sudah menikah nantinya. Lania tidak ambil pusing akan hal itu ia menuruti semua yang Vino inginkan mengingat itu adalah rumah yang Vino bangun sendiri dan merasa itu malah keputusan yang tepat. Ia juga tidak nyaman tidur seranjang dengan Vino tentunya. Akan tetapi, kali ini kasusnya berbeda. Kehadiran asisten rumah tangga itu sudah pasti menjadi mata dan telinga dari sang kakek. Ia tidak ingin semua berantakan dan malah menghancurkan pernikahan mereka. Ia tidak ingin kakek dan ayahnya tahu bahwa ia terpaksa menikah dengan Vino. "Ayo lah Vin, memangnya kamu pikir asisten rumah tangga yang kakek kirimkan nanti tidak akan melapor pada kakek kalau kita menggunakan kamar terpisah?" lagi, Lania mencoba meyakinkan Vino untuk merubah pendapatnya. “Bagaimana jika kakek tahu kita tidur terpisah. Bisa-bisa malah kakek yang akan tinggal bersama dengan kita!” “Apa kamu tidak berpikir bahwa kakek akan bertindak jauh lebih gila lagi saat tahu kita tidak menjalin hubungan dengan baik?” “Kamu kira, kamu akan selamat?” Vino hanya terdiam saat Lania mencecar Vino dengan segala persoalan. Namun, saat Lania sadar akan reaksi Vino yang masih sama dan datar. Lania menjadi semakin yakin jika Vino menolak hal itu karena Lania yang terlebih dahulu menawarkan untuk menggunakan kamar yang sama. "Dia selalu begitu, dia selalu berada di pilihan yang berbeda denganku," benak Lania yang yakin akan pendapatnya. Ekspresi Lania ikut semakin buruk bersamaan dengan pemikiran Lania yang semakin liar lagi. “Bagaimana jika ia menolak tidur di kamar yang sama denganku karena ia memang merasa tidak nyaman tidur dengan wanita yang tidak ia cintai.” Pemikiran itu merebak dengan cepat bak racun yang langsung menyebar tanpa jeda. Membuat Lania semakin sesak dengan kenyataan bahwa Vino bisa saja tidak mencintai dirinya. Padahal bukan itu yang menjadi alasan Vino menolak untuk menggunakan kamar yang sama dengan Lania. “Bukan begitu Lania!!!” “Andai saja aku bisa mengatakan yang sebenarnya!” Begumam terus di dalam hatinya, Vino semakin menggila dengan segala hal tersebut. Ia tidak berani jujur pada Lania dan juga tidak berani berdiskusi dengannya. Ia hanya memendam segala hal tersebut dalam kepalanya yang menyebar ke hatinya dan terus menggerogoti Vino dalam keheningan. Mana ada pria yang bisa tahan jika setiap hari berada di kamar yang sama dengan wanita dan tidak melakukan apapun selain tidur. Vino berani menjamin jika memang ada yang tahan tidur begitu saja dengan wanita yang bahkan sudah sah untuk disentuh dan tidak pernah menyentuh wanita itu sama sekali maka pria itu adalah pria yang tidak normal atau ada masalah dengan bagian bawah tubuhnya. “Pokoknya aku tidak mau tersiksa seperti itu setiap malam,” tegas Vino di dalam hatinya. Pada akhrinya, Vino terus menolak tawaran Lania itu dengan sangat tegas hanya dengan alasan bahwa ia tidak ingin tidur dengan Lania. “Pokoknya aku tidak mau tidur denganmu di satu kamar.” Pernyataan itu begitu tegas, membuat Lania yang kala itu masih berusaha membujuk Vino mulai terlihat sedih dan kesal. "Ayo, dong, Vin!” “Kamu pasti sengaja menolak karena ingin membuat aku kesal lagi kan.” “Duh, Bukan saatnya kamu membuat aku kesal lagi seperti ini Vino. Kita akhiri saja malam melelahkan ini dan sepakat untuk menggunakan kamar yang sama nantinya." “Ayo lah, aku sudah sangat lelah dengan perdebatan kita.” Vino hanya terdiam, ia sama sekali tidak mau menatap Lania. Meski faktanya keduanya sudah terbaring di kasur yang sama. "Kamu sendiri sudah kelelahan, kan. Ayo, kita sepakat dan tidur dengan tenang malam ini!" pinta Lania mencoba mengakhiri segala perdebatan luar biasa mereka. Bukan hal aneh kenapa Lania dan Vino merasa kelelahan saat itu. Malam sebelumnya saja mereka tidak bisa tidur dengan tenang karena mengingat sang ayah yang saat ini berada di rumah mereka. Mereka cemas jika sang ayah menemukan kamar terpisah yang mereka gunakan sebelumnya masih tertata dengan rapih dan bisa saja ketahuan oleh ayah. Hal itu membuat mereka sebentar-sebentar terbangun setiap mendengar suara kecil. Kurangnya tidur di malam itu, membuat keduanya semakin cepat lelah. Terlebih dengan kegiatan padat mereka di kantor dan di rumah semakin menguras seluruh energi mereka. "Lania!!!" Tiba-tiba Vino memanggil nama Lania dengan nada tegas dan penuh makna. Vino pun mulai menatap Lania dengan tatapan matanya yang tajam. Ia bersiap untuk bicara serius dengan Lania. Lania pun mempersiapkan dirinya untuk mendengar apapun yang akan Vino sampaikan. Lania bingung dan penasaran dengan apa yang mungkin akan disampaikan oleh suaminya tersebut. Jantungnya berdebar cukup kencang. “Apa Vino akhirnya setuju untuk menggunakan satu kamar yang sama?” Pikiran itu memang melintas di dalam benak Lania, namun ia tetap menunggu kata apa yang akan keluar lebih dulu dari suaminya itu. "Aku tidak masalah jika harus sesekali tidur bersama denganmu seperti ini. Tapi, jika setiap hari, aku harus tidur denganmu seperti ini," Vino tak sanggup untuk melanjutkan ucapannya. Ia tidak mungkin jujur pada Lania tentang hal itu. "Tidak, aku tidak boleh mengatakannya pada Lania. Dia saja tidak peka jika tidak ada pria yang bisa bertahan tanpa menyentuh wanita yang tidur di sampingnya!" "Apa lagi, aku baru tahu kebiasaannya yang tidur tanpa menggunakan pakaian bagian dalam. Bagaimana bisa aku dengan tenang tidur di sampingnya. Sekarang saja aku terus memikirkan tubuhnya di balik baju tidur yang tak menggenakan pakaian bagian dalam itu," benak Vino yang semakin yakin akan tekadnya untuk tidak ingin tidur di satu kamar yang sama dengan Lania. Terlebih lagi, sudah bisa ia bayangkan bagaimana Lania akan menjadikan hal itu lelucon untuk membuat Vino kesal. Jika Lania tahu alasan sebenarnya dari Vino yang tidak ingin tidur bersama di kamar yang sama dengan Lania. Harga diri Vino sebagai laki-laki seakan runtuh bila Lania mengetahui hal tersebut. "Apa, Vin?" “Lanjutkan ucapanmu dong!” Lania sendiri sudah tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan dari Vino. Sebab, kali ini Vino terdengar serius dan Lania yakin jika alasan kali ini bukanlah sekadar lelucon. Vino yang ingin menentang pendapat Lania mungkin saja punya alasan yang kuat dan malah mungkin bisa Lania gunakan pula sebagai dalih pada kakek dan ayahnya kelak. "Aku yakin kali ini Vino serius!" keyakinan Lania saat ia melihat tatapan Vino yang berbeda dari biasanya. Akan tetapi, apa yang bisa Lania harap dari Vino. Apa yang Vino ungkapkan selanjutnya. Malah membuat Lania semakin ingin berada di satu kamar yang sama dengan Vino. "Jika setiap hari kita tidur satu kamar. Aku khawatir tubuhku yang indah ini akan ternodai olehmu!" "Bagaimana jika diam-diam kamu meraba tubuhku yang indah dan suci ini?" "Bagaimana jika saat aku tidur pulas kamu sentuh aku di sini, di sebelah sini dan di sana juga di situ." Ucapan itu Vino lakukan bersama dengan tangannya yang meliuk dan menyentuh beragam sisi tubuh Vino dengan tangannya sendiri. Seakan Lania juga akan menyentuh bagian-bagian itu diam-diam di saat Vino tertidur pulas nantinya. Hening tanpa suara, membuat Vino yang kala itu masih sibuk meraba tubuhnya dengan memejamkan mata akhirnya membuka perlahan kedua matanya. Menatap ke arah Lania yang hanya menatap Vino tanpa kata-kata. Seketika Vino terdiam saat mendapati tatapan kesal Lania yang jelas-jelas akan meledak. Spontan Vino pun menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. Ia mendekap tubuhnya sendiri dan terus menundukkan kepalanya. Sementara itu, Lania sudah mencapai batas amarahnya. "Iya, aku akan menyentuh tubuhmu. Meraba tubuhmu dan menodai dirimu!" geram Lania yang kini berusaha menarik selimut dari tubuh Vino dengan sedikit kasar. "Tidak, Lania!" "Maafkan aku!" "Aku mohon!" "Ada kakek, Lan." "Nanti kakek dengar!" Vino yang panik itu terus berteriak. Ia mempertahankan selimut yang menutupi tubuhnya. Menghindari Lania yang terus mendekat ke arahnya dengan tatapan matanya yang buas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD