13. Kamu yang memulainya.

1328 Words
“Aku tak ingin merasakan sakitnya patah hati. Lebih baik kita seperti ini agar aku tak berharap untuk kamu cintai." "Kamu bisa saja pergi meninggalkan aku kapan pun yang kamu mau, Vino. Kamu bisa melakukan itu padaku.” Lania menatap Vino yang sudah terlelap tidur itu dengan lekat, Lania sangat mengerti apa yang mungkin mampu Vino lakukan padanya. Bila nanti kakek tidak ada lagi, Vino bisa saja mencari alasan untuk berpisah dengan Lania. Kesenjangan sosial di antara mereka tidak pernah bisa dipungkiri. Lania memang tidak bisa apapun jika kelak Vino menginginkan perpisahan mereka. Oleh sebab itu, ia terus bersikeras untuk tidak mau menunjukkan rasa cintanya, untuk tidak terlibat lebih dalam lagi dengan Vino. Walau saat ini mereka sudah resmi menjadi suami istri. “Karena aku tahu, bahwa aku tidak akan pernah bisa untuk melepaskan kamu. Aku terlalu mencintai kamu, Vin.” Keheningan sejenak melintas di antara mereka. Menjadi jeda yang tepat di tengah renungan Lania yang terus tertuju pada perasaannya yang begitu besar untuk Vino. “Tapi, kamu tampaknya tidak punya perasaan apapun padaku!” Lania kesal sendiri saat mengingat segala hal aneh yang Vino lakukan untuk membuat hatinya kesal tersebut. Lalu, di saat ia melihat Vino yang sudah tertidur dengan sangat pulas. Mereka sebelumnya benar-benar kelelahan dan itu membuat Vino bisa tidur dengan lelap. Ide gila itu pun muncul yang membuat Lania tiba-tiba tersenyum licik dan nyaris tertawa lebar. Ia benar-benar tidak sabar untuk melancarkan aksinya tersebut. "Baiklah, kita lihat reaksi kamu besok, Vin!" Lania pun merasa sangat bahagia saat ia mengetahui cara apa yang tepat untuk membuat Vino kesal besok. "Sebelum diserang kita harus menyerang terlebih dahulu!" gumam Lania dengan pandangan penuh hasratnya menatap ke arah Vino yang tertidur. Benar saja, keesokan paginya. Vino yang benar-benar tertidur pulas itu sangat terkejut saat menatap bayangan tubuhnya di cermin. “A-apa ini?” Berkali-kali Vino mencoba untuk melihat dengan baik apa yang terjadi dengan tubuhnya tersebut. Cermin itu di tatap dengan lekat oleh Vino, ia memerhatikan dengan seksama cermin yang memantulkan bayangan tubuhnya. “Apa aku salah lihat?” Untuk kesekian kalinya, Vino menatap kembali pada bayangannya di cermin. Namun, tak ada yang berubah. Cermin itu jelas-jelas menunjukkan apa yang terjadi pada tubuhnya. Lalu, dengan bibirnya yang bergetar. Vino pun mempertanyakan kebenaran dari apa yang ia lihat. "Be-bekas kecupan??" Dengan suara yang terbata-bata dan bola matanya yang bergetar. Vino kembali memastikan apa yang ia lihat di lehernya tersebut. Benar jika sebuah rona merah terletak di lehernya, sedikit kebiruan dengan jejak yang melekat erat pada leher Vino. Apa yang Vino lihat itu benar-benar adalah sebuah bekas kecupan yang sudah pasti pelakunya adalah Lania. Tanpa pikir panjang lagi, teriakan pun keluar dari bibir Vino. Memanggil nama Lania dengan segenap hatinya. "Laniaaaa!!!!" Teriakan itu memekakkan telinga, menggema di seluruh ruangan yang ada. Vino tampaknya tidak pernah membayangkan jika Lania benar-benar berani untuk menyentuh tubuhnya bahkan sampai meninggalkan bekas kecupan yang sangat jelas di tubuh Vino. Akan tetapi, Lania yang sudah terlebih dahulu bangun itu meninggalkan Vino di atas kasur untuk mandi. Di dalam kamar mandi Lania mendengar teriakan Vino yang sepenuh hati itu. Lalu pun tertawa begitu renyah yang terdengar hingga luar ruangan. Tawa renyah yang mengisi nyaris seisi rumah yang mungkin akan menyisakan tanya tentang apa yang terjadi antara kedua orang tersebut. Dua buah bekas kecupan terlihat jelas berwarna merah di leher Vino. Vino tekejut bukan main saat melihat kedua bekas kecupan itu di lehernya. Hanya ada satu orang yang mungkin melakukan hal itu pada tubuhnya yang ia anggap suci. "Lania!!!" “Bukan hanya satu, tapi ternyata ada dua buah bekas kecupan!” Vino benar-benar geram memanggil nama Lania berulang kali. Ia tidak menyangka apa yang Lania katakan semalam benar-benar terjadi. Ancaman bahwa Lania tidak berjanji menyentuh tubuh Vino dan kini Lania benar-benar menyentuh tubuhnya. “Kamu berani menyentuh tubuhku Lania?” Sementara itu, teriakan geram Vino hanya bisa didengar oleh Lania. Lania yang mendengar itu tertawa renyah. Kembali memenuhi seisi rumah dengan tawanya tersebut. Tepat saat Lania selesai dengan kegiatan mandinya. Vino masih terus mengomel dengan apa yang Lania lakukan pada tubuhnya. "Hei, gantian sana! Jangan ngambek terus!" Lania melempar sebuah handuk pada Vino. Tapi, jangankan menyambut handuk tersebut dan bergantian untuk mandi. Vino masih sibuk dengan bekas kecupan yang terlihat di tubuhnya itu. Bekas kecupan itu tidak hilang meski beberapa kali Vino mengusapnya. Matanya berkali-kali memandangi cermin untuk melihat letak bekas merah tersebut. Seolah ia masih tidak percaya ada bekas tersebut berada di lehernya. "Aarrrght.. Lania, kamu benar-benar meraba tubuhku, kamu menyentuhku, kamu meninggalkan bekas kecupan di tubuhku yang suci ini!" Vino semakin mencecarnya, memastikan bahwa yang melakukan hal tersebut benar adalah Lania dan yang paling pentingnya lagi. Vino sangat ingin tahu bahwa itu benar-benar merupakan bekas kecupan yang asli. Sedangkan Lania masih terkekeh geli setiap kali ia melihat Vino yang resah berada di depan cermin, untuk mencoba menghapus bekas kecupan itu. Tingkah Vino yang sebenarnya tahu bahwa apa yang ia lakukan itu tidaklah berguna. Berapa kali pun Vino mengusap bekas kecupan itu, ia tidak akan bisa menghilangkan bekas kecupan tersebut. "Kenapa kamu melakukan ini di tubuhku?" Mata Vino membulat saat menanyakan hal tersebut pada Lania yang sudah ada tepat di depan matanya. Namun, Lania hanya tersenyum lembut. Ia masih memiliki cara untuk membuat Vino semakin merasa kesal. "Memangnya ada yang salah saat aku mengecup suamiku sendiri?" Tangan dingin Lania meraba tubuh Vino yang kala itu memang tidak menggunakan baju tidurnya lagi. Kebiasaan Vino yang saat sudah mulai tidur akan melepas bajunya dan hanya menggenakan celana pendek itu tidak jauh berbeda dengan kebiasaan Lania yang tidur tanpa menggunakan pakaian bagian dalam. Mereka memang memiliki kebiasaan tersendiri yang tidak ada bedanya. Sehingga, kali ini saat Lania mencoba menggoda Vino. Ia pun bisa langsung meraba otot tubuh Vino secara langsung. "A-apa yang kamu lakukan?" tanya Vino dengan nada yang semakin gugup setelah mendapatkan sentuhan dari Lania tersebut. Tangan yang mendarat di kulit Vino itu terasa dingin karena ia baru saja selesai mandi. Jejak dinginnya tertinggal dari tempat yang telah disentuh oleh Lania. Tubuh Vino bereaksi berlebihan di setiap kali tangan itu meraba tubuhnya. Lania menangkap itu sebagai sebuah kesempatan. Ia terus meraba tubuh Vino dengan tangan dingin dan setengah basahnya itu. Setetes air pun jatuh dari tangan Lania. Menetes dari lehernya hingga ke pusarnya. Dingin dan begitu lembut. Membuat hasrat pagi-pagi Vino bangkit. Terlebih saat ini Lania hanya menggenakan kimono mandinya saja dengan rambut basah dan sebagian besar kulit tubuh Lania yang terlihat. "Lania, jangan coba-coba memancingku!" ancam Vino yang mulai kehilangan kesabarannya saat ia merasa yakin bahwa sesuatu sedang terjadi di balik celana yang ia kenakan saat ini. "Memangnya kamu mau apa, Sayang?" Bukannya menyerah atau mengerti dengan apa yang saat ini mungkin dirasakan oleh Vino. Lania justru menantang tanpa rasa takut pada Vino yang sejak awal sudah mulai terbakar hasratnya. Lania sangat yakin jika Vino tidak akan berani melakukan apapun padanya. "Ini pagi hari, dan ada kakek yang menunggu kita. Mana berani dia melakukan apapun padaku!" Keyakinan yang membuat Lania lupa, jika mereka sejatinya adalah sepasang suami istri, sehingga bisa saja sang kakek tidak akan berkomentar apapun jika mendengar sedikit rintihan dari Lania. Hal wajar bagi para pasangan baru suami istri yang hubungannya sedang membara. Tangan nakal Lania semakin menjadi-jadi berkat keyakinannya itu. Ia mulai meraba tengkuk Vino, meniupnya perlahan dan mendekatkan bibirnya di sana. Lania yakin jika Vino tidak akan mampu melawannya atau melakukan apapun pada dirinya dan keberaniannya itu lah yang membuat Lania begitu percaya diri. "Kamu tidak penasaran seperti apa, aku melakukan ini padamu?" Lania menekan dengan ibu jarinya bekas merah yang berada di leher Vino tersebut. Menggodanya seolah Lania akan melakukan sekali lagi untuk menunjukkan bagaimana proses saat ia membuatnya. Bayangan tindakan Lania terlihat jelas dari cermin. Hasrat yang sebelumnya Vino pendam dengan segenap kemampuannya kini semakin sulit ia kendalikan. Membuat hasrat Vino semakin bergejolak dan nyaris tak lagi bisa ia tahan. Vino semakin gila dengan setiap sentuhan lembut dari Lania yang mendarat di atas tubuhnya. "Sial, kamu yang memulainya!" desik Vino dan langsung meraih tangan Lania yang sedari tadi menjalar di tubuhnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD