2. Terkunci di Kamar Mandi

1223 Words
Bab 2  Siapa yang mengira antrian kamar mandi akan mengular panjang. Apa yang terjadi saat upacara sebenarnya. Apa orang-orang menahan diri untuk tidak ke toilet sampai upacara berakhir. Deby tidak punya banyak waktu sehingga dia memutuskan mencari kamar mandi di berbagai tempat yang tersedia. Saat itulah ia menemukan antrian orang yang lebih sedikit dari pada tempat lain. Kebetulannya lagi, beberapa yang mengantri berdiri di depan pintu adalah teman satu gugusnya. Deby berpikir jika bersama mereka saat kembali ke gugus nanti tidak terlalu dicerca kakak kelas. “Karena udah gak ada waktu lagi dan takut kelamaan, bagaimana kalau kita pakai kamar mandinya barengan aja?” Usul salah seorang di antara mereka. “Boleh juga sih, biar gak dicariin kakak kelas karena terlalu lama.” Timpal anak lain. “Iya setuju, semuanya sama-masa cewek ini. Gak apa-apa ‘kan?” Tanya teman yang satu gugus dengan Deby. Deby yang bergabung paling akhir dalam antrian tidak berniat mengungkapkan pendapat, pikirnya ide itu bisa menjadi solusi bagi dirinya yang dikejar waktu. Karena jika harus menggunakan masing-masing maka Deby orang terakhir yang akan menggunakan toilet. Jadi ia setuju-setuju saja dengan pendapat mayoritas. Lalu kronologi peristiwa ini terjadi begitu cepat, semua panik dan histeris. Di tempat itu ada dua kamar, namun satu kamar tidak bisa digunakan. Ada peringatan ‘WC rusak’ pada pintunya. Maka hanya satu kamar yang dapat digunakan. “Lah kok gelap banget?” Saat mereka semua sudah berada di dalam dan menutup pintu. Mereka baru sadar ternyata lampu kamar mandi tidak menyala. Begitu pintu tertutup, keadaan di dalam gelap total. “Duh gak kuat bau!” Ruang yang tertutup rapat membuat udara tersekap dan bau pesing toilet begitu menyengat penciuman. “Udah jangan lama-lama, ayo selesaikan urusan masing-masing.” Mereka hampir melupakan tujuan utama dan misi untuk secepatnya kembali ke gugus tugas. Keadaan mulai berubah panik dan histeris saat mereka berniat pergi namun pintu sulit terbuka. “Aduh, kok macet ya pintunya?!” Deby yang posisinya paling dekat dengan pintu mencoba mengerahkan usaha tapi tidak menampakkan hasil. Mereka bergantian merubah formasi mencoba membuka pintu tapi daun pintu tetap tidak bergeming. “Gimana ini, gak mau kebuka?!” “Kita teriak minta tolong aja?” Ide itu tercetus tanpa proses berpikir. “Eh? Malu ah kalau ketahuan kita kekunci di kamar mandi.” Reaksi yang lain, dan itu memang memalukan. “Terus gimana, mau coba didobrak aja?” Tetapi memikirkan konsekuensi setelah melakukan ide itu mereka tidak cukup berani. “Gak ada pilihan lain, kita teriak aja! Gue gak tahan lama-lama di sini. Mau sampai kapan coba?” Biarlah rasa malu ditanggungnya setelah keluar nanti. Maka mereka teriak bersama berharap seseorang di luar sana mendengar permintaan tolong mereka. Hari itu mereka selamat berkat seorang kakak kelas baik hati, amat perhatian, yang mencari adik kelas kelompok gugus tugasnya yang pamit ke toilet tapi tidak kunjung kembali. Dan ia menemukan tiga anak kelompok gugusnya itu ternyata terkurung bersama di kamar mandi, salah satu di antaranya adalah Deby. *** Pagi ini Deby terlambat masuk sekolah. Penyebabnya karena ia tersesat mencari alamat lokasi sekolah. Jam tangan bulat hitam pemberian mama yang melingkar di pergelangan tangan kanannya menunjukkan waktu 06.59 pagi. Mungkin saat ini jam pelajaran pertama sudah dimulai. “Ini karena lokasi sekolah pakai acara di dua tempat segala sih!” Kata Deby kesal. Sang ayah yang menemani putrinya pergi ke sekolah ikut gelisah mendengar sang anak terus menggerutu tentang keterlambatannya. Sementara kendaraan umum bemo yang sedari tadi ditunggu tidak kunjung terlihat. Sekali pun ada yang datang bemo itu sudah penuh tidak ada tempat kosong lagi untuk ditumpangi dua orang. “Telat sesekali nggak jadi masalah, jangan cemberut terus.” Kata sang ayah menenangkan putrinya. “Ayah sih, pakai rusak segala motornya. Kata guru kemarin, hari pertama itu gak boleh telat!” Di luar dugaan ayah, Deby malah semakin kesal. Ayah menutup mulut rapat, tidak ingin salah ucap lagi. Perangai putrinya jika sedang kesal itu bukan main, mungkin warisan dari sang ibu. Daerah ini baru dan asing bagi Deby, tampaknya begitu juga bagi ayah. Selain bemo tidak ada alternatif angkutan umum lain menuju sekolah. Begitu berdasarkan informasi yang mereka dapat setelah bertanya pada orang sekitar. Melalui penantian panjang akhirnya mereka dapat menumpangi bemo yang kosong. Sebelum naik ayah sempat bertanya pada abang bemo untuk memastikan arah yang mereka tuju benar. “Ciremai ya Mas?” Abang bemo mengangguk, tampaknya sudah hafal dengan pertanyaan itu. Baru diketahui belakangan bahwa sekolah baru Deby memiliki dua lokasi. Jarak kedua lokasi cukup terpisah jauh dan transportasi umum yang ada hanya bemo, itu pun terbatas sampai jam tertentu saja. Lokasi yang pertama berada di Malabar sebagai gedung utama, tempat penyelenggaraan MOS berlangsung pekan lalu. Siswa kelas dua dan kelas tiga berada di sana. Sementara itu lokasi gedung kedua berada di Ciremai, siswa kelas satu terpisah di sana. Ke tempat itulah demi menuju saat ini. Sesampainya di sekolah lapangan sepi dan pelajaran sudah dimulai. Didampingi ayah, Deby melapor keterlambatannya ke ruang guru. Setelah menyerahkan putrinya ke guru piket, ayah pamit undur diri. “Ayah pulang yaa.” Hanya sampai di sini Ayah bisa mengantar Deby. “Terima kasih Bu...” Setelah mengucap kata syukur ayah pun pergi. Dan tersisa kini hanya Deby yang harus menghadapi hari pertama masuk sekolah penuh kekacauan sendirian. Tanpa membuang waktu guru piket mengantar Deby menuju kelasnya yang berada di ujung lorong. Deby tidak hentinya menyalahkan semua hal yang terjadi hari ini dalam hati. “Ini karena lokasi sekolah pakai acara ada di dua tempat segala. Terus transportasinya cuma bemo lagi! Coba kalau teman-teman masuk di sekolah yang sama, ‘kan bisa janjian berangkat bareng.” Deby menyusuri lorong yang sepi, jam pelajaran sudah dimulai setidaknya sejak setengah jam yang lalu. Oleh karena itu suasana sekolah tampak damai. Kakinya berhenti terdiam di depan kelas yang bertuliskan palang kelas 1-5, kelas di mana Deby ditempatkan. Sedikit merasa cemas karena keterlambatannya, Deby berusaha memikirkan alasan dalam benak yang sekiranya dapat diterima untuk pembelaan diri. “Tok-tok!” Deby mengetuk pintu kelas dengan lembut. “Yaa silahkan.” Suara dari dalam mempersilahkan Deby masuk saat mendengar ketukan. Perlahan celah pintu terbuka semakin lebar. Separuh badan Deby menengok dari balik daun pintu. “Maaf Bu... saya terlambat.” Deby berusaha memberi kesan sesantun mungkin dan gurat penyesalan pada ekspresi wajah. “Cepat masuk dan duduk.” Perintah guru dan tidak ada ucapan lain, menatap Deby dengan minim ekspresi di wajah. Deby bergegas masuk dengan panik. Tanggapan wali kelasnya tentang keterlambatan itu cukup dingin membuat Deby salah tingkah. Saat masuk Deby langsung mencari kursi kosong. Satu kursi kosong tersedia secara acak, tanpa ragu Deby duduk di sana. Deby belum begitu hafal semua wajah teman sekelasnya, hanya beberapa orang karena selama seminggu menjalani masa orientasi sempat bersama dalam satu gugus. Permasalahannya satu gugus belum tentu satu kelas. Karena itu Deby masih keliru tentang mengingat nama mereka. “Elo...” Deby mencoba mengingat wajah rekan sebangkunya yang amat familiar tapi ia lupa dengan nama, meski terasa ada di ujung lidah. Mereka berada di kelompok gugus tugas yang sama pada saat MOS. “Ami.” Sambar lawan bicara Deby tidak sabar. “Ah ya, Ami.” Deby tersenyum, ingatan akan kejadian saat MOS kembali berputar dalam benaknya... Tidak―tidak perlu flashback. Jika bisa Deby ingin menghapus memori kejadian kelam ruang tertutup itu. Sampai saat ini Deby merasa bersyukur dan berhutang pada kakak kelas yang berhasil menyelamatkan mereka. ***bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD