bc

KISAH KLASIK untuk masa lalu

book_age16+
296
FOLLOW
1.0K
READ
dominant
self-improved
student
drama
bxg
highschool
first love
friendship
rejected
naive
like
intro-logo
Blurb

Seorang gadis yang selalu terlihat sendiri saat kegiatan ekskul mengusik perhatian Fahri. Berawal dari rasa simpati Fahri tidak bisa mengabaikan Deby yang selalu sendirian. Tapi kenyataannya bagi Deby kesendirian itu adalah kenyamanan hakiki baginya.

Bersikap manis, memperlakukan dengan baik, memberi hadiah, merupakan sinyal yang bisa bikin seorang salah paham. Setidaknya itulah yang terjadi pada Deby Anggara terhadap perlakukan dan sikap Fahri Kusuma kepada dirinya. Hubungan mereka berdua selalu berselisih waktu untuk merubah status menjadi lebih dari sekedar teman biasa. Perkataan orang tentang ‘cinta adalah timing yang tepat’ tampaknya tidaklah salah bagi keduanya.

chap-preview
Free preview
1. Masa Orientasi Siswa
Juli, 2004... Sedikit demi sedikit kerumunan ramai itu mulai terlihat rapih membentuk barisan. Penampilan mereka memang tampak agak kacau dan mencolok perhatian, dengan seragam lama yang mereka kenakan dari sekolah sebelumnya. Waktu mendekati pukul 07:00 pagi, sudah waktunya upacara penerimaan siswa baru dimulai. “Sebagaian besar wajah lama yang kita kenal rupanya...” Pemuda itu seperti hewan meerkat memutar wajahnya mengamati kumpulan siswa dalam barisan. “Paling banyak siswa asal sekolah kita ada di kelas ini bro!” Sahut teman yang memakai tag nama menggantung di leher pada kertas karton bertuliskan ‘Dirly Gugus-3’. “Dari tadi kenapa gue gak liat Salman ya?” Tanya Fahri heran, meski ia mencari namun sosok Salman tidak bisa ia temukan dalam pandangan. Dalam hati ia berpikir apa karena sosok kecil temannya satu itu maka sulit menemukan dikeramaian ini. “Lho! Kalo Salman ‘kan memang gak baris di sini Ri.” Jawab Tegar mengingatkan Fahri yang lupa dengan perkataan Salman sebelum berpisah dengan kelompok. “Oh iya, bener juga.” Fahri mengakhiri aktifitas pengamatan sekitarnya yang sudah cukup lama ia lakukan. Mungkin karena ia tidak sabar mengenal teman-teman angkatan barunya. Juga karena ia tipe yang hiperaktif, ekstrovert dan sangat suka bersosialisasi dengan sebanyak mungkin orang. Suasana menjadi sunyi, pertanda upacara sudah dimulai. Serangkaian acara berjalan, saat upacara terasa hikmad seperti ketenangan sebelum badai datang. “Kyaaa!!” Drama kecil terjadi pada salah satu barisan yang membuat teriak histeris seorang siswi menarik perhatian sekitar. Pejabat sekolah yang tengah memberi sambutan di muka mimbar pun sempat terhenti mengamati apa yang terjadi. “T-tolong... Ada yang pingsan!” Ucap siswi itu panik menyaksikan teman yang berdiri di sebelahnya ambruk tanpa peringatan. Dengan sigap petugas PMR yang selalu berjaga di belakang barisan peserta upacara membantu siswi yang pingsan itu dan membopongnya keluar dari barisan. Upacara kembali berjalan seolah tidak pernah terjadi kepanikan kecil sesaat lalu. Suara mic yang berisi sambutan pun kembali mengudara dengan lancar. Ya, mungkin hal serupa sudah biasa terjadi di mana pun upacara berlangsung. “Ya ampun... Ada-ada aja. Bikin kaget! Untung bukan serius.” Selain komentar dari Dirly, juga terdengar riuh rendah komentar lain dari berbagai tempat. Tidak mengherankan insiden kecil tadi terjadi tepat di barisan kelas sebelah mereka. Suasana tak lama kembali sunyi terkendali. Yang ditunggu-tunggu siswa baru khususnya penghuni kelas 1-6 pun tiba. Ini momen di mana perwakilan siswa baru dengan nilai terbaik naik ke atas mimbar memberi sambutan. Dua orang yang dinobatkan menyandang status kehormatan itu siswa bernama Salman Faris dan siswi Siti Husna. Namun hanya Salman yang mendapat kesempatan berpidato di muka mimbar. Sedangkan Husna berdiri di sampingnya sebagai pemanis. Tepuk tangan paling keras, sorak semangat datang dari rekan satu kelas dan juga teman dekatnya yang telah menunggu lama kemunculan Salman itu. “Nervous gak ya dia?” Kata Tegar penasaran bercampur cemas, mencoba membaca rona wajah Salman teman lamanya itu. “Haha...” Fahri tertawa geli mendengar pertanyaan Tegar. “Gue rasa gak sama sekali tuh!” Karena jelas terpancar rasa kepercayaan diri Salman dalam setiap kata dalam ucapannya yang meluncur bagai air keran, amat natural. Malah Fahri yakin Salman amat semangat dan juga sedikit tinggi hati berdiri di sana menjadi pusat perhatian saat ini. *** Kepercayaan diri Salman yang terpancar seolah dari ujung kepala hingga ujung sepatu pantofelnya, bukan hanya Fahri yang dapat melihat itu. Ika yang bahkan berdiri di barisan cukup terbelakang, tidak mengalihkan pandangan sekejap pun. Menyimak dengan sikap penuh perhatian seorang yang berdiri di depan mimbar masih terus berbicara satu arah. “Salman Faris...” Dengan suara lirih Ika terus mengucap berulang satu nama itu bagai mantra, mencoba mengukir dalam relung memori. “Kenapa Ka? Lo bilang sesuatu?” Tanya temannya yang cemas mendengar Ika komat-kamit sendiri. “Gue... Gue! Gue rasa ini yang namanya cinta pada pandangan pertama ya Za?” Ika masih tersihir memandang sosok Salman. “Hah?!” Zizah gagal paham atas pertanyaan Ika. “Perasaan ini... Baru pertama kali gue alami. Tapi gue yakin kalau gue gak salah kok Za!” Ika seolah mengumpulkan semua energi semesta menerima takdirnya. “Kalau cinta pada pandangan pertama itu memang ada, mungkin ini maksudnya.” Tatapan mata berbinar milik Ika menatap kedua bola mata Zizah tanpa keraguan. Sejenak Zizah sedikit takut terjadi sesuatu yang salah dengan temannya, sebelum mencerna. “Eng... Maksud lo...” Zizah menunjuk Salman di depan lalu menunjuk Ika, lalu kembali menunjuk Salman. Tindakannya mendapat anggukan dan senyuman lebar dari Ika. “OMG! Gue pikir apa. Secepat itu?!” Zizah tak habis pikir sekaligus ngeri dengan sikap berlebihan Ika. Bagaimana tidak, ini baru hari pertama mereka di sekolah dan Ika sudah sangat seyakin itu. Jelas Zizah meragukannya dan berpikir paling keyakinan Ika ini tidak akan berlangsung lama, karena... Sudah jelas ‘kan mereka sama sekali belum saling mengenal. “Dia kelas berapa ya Za? Lo mau ‘kan bantuin gue cari tahu tentang dia. Ya ‘kan Za, ya Za... Hem?” Rengek Ika. Zizah hanya diam menanggapi dingin rengekan temannya. Sudah cukup sibuk mereka sebagai siswa baru menghadapi pekan MOS ini, masih haruskah kisah cinta dimulai sekarang juga. “Apa tidak bisa menunggu seminggu lagi setelah MOS berakhir.” Pikir Zizah atau setelah mereka sudah cukup terbiasa dengan perubahan dan beradaptasi dengan lingkungan baru. *** Di unit kesehatan sekolah, siswi yang membuat kegemparan tadi penasaran tidak sabar menunggu kapan upacara berakhir. Ia hanya tidak sadarkan diri beberapa menit tapi harus terjebak di ruang UKS cukup lama sampai upacara selesai. Ah, penyebab utama dirinya bisa pingsan ditengah berlangsungnya upacara adalah anemia, lemas kurang energi karena melewatkan sarapan sebelum pergi sekolah. “Sepertinya upacara sudah berakhir.” Kabar petugas kesehatan membaca rasa penasaran siswi yang ia tangani itu. “Kamu bisa kembali ke kelompok kamu―” Matanya menuju pada tag nama yang terasa tidak asing terlihat di mana-mana hari ini. “Deby, gugus-8. Bisa ‘kan kamu mencari teman gugusmu?” “Bisa Bu...” Deby menjawab dengan suara kecil, rasa malu bercampur karena insiden tadi. “Semua siswa baru pasti berkumpul di lapangan. Atau kalau kamu merasa tidak sanggup mengikuti orientasi hari ini, kamu bisa tetap berada di sini.” Ibu guru menawarkan pilihan agar Deby tidak memaksakan diri sehingga nanti tidak menimbulkan kejadian lain. “Tidak Bu saya bisa... Terima kasih sudah merawat saya Bu.” Deby pamit dari sana. Di luar Deby bertemu seorang teman yang mencemaskan keadaan dirinya, ia bergegas ke UKS untuk memastikan keadaan Deby. “Ya ampun De! Lo ada-ada aja sih, pake pingsan segala. Bikin orang khawatir aja...” “Sorry Ya, gue gak apa-apa kok! Cuma tadi pusing aja terus gelap, terus...” Terlalu malu Deby mengukit sendiri adegan pingsannya yang penuh drama. “Ya kalau udah mengerasa gak sehat jangan dipaksain dong. Gue merasa bertanggung jawab ngejagain lo karena Mama lo ‘kan nitip lo ke gue De.” Uya sedikit kesal dengan Deby yang terkadang lamban. “Ya ampun Ya... Lo masih inget aja! Janji lo itu ‘kan jaman kita SD dulu.” Deby jadi merasa terharu, ia sendiri juga belum melupakan kejadian yang sama terjadi saat masa SD dahulu. Deby pingsan saat upacara, tapi saat itu Deby memang kurang sehat hingga dipulangkan ke rumah. “Janji tetap janji. Juga teman sekolah kita ‘kan gak banyak yang masuk sini, gak banyak orang yang lo kenal.” Apa yang Uya katakan benar. Di kelas Deby saja tidak ada teman sekelas yang berasal dari sekolah lamanya. “Makasih Ya, gue jadi terharu...” Deby mengusap ujung matanya seolah di sana menggenang air mata. Uya tidak tertipu dan mengganggapnya sama sekali tidak lucu. Ya, Deby memang sedang tidak melucu. “Lebay ah! Kalau lo udah gak apa-apa gue balik ke kelompok aja kalau gitu.” Deby mengangguk tanda setuju. “Iya. Gue juga mau ke kelompok gue. Tapi kayanya gue mau ke toilet dulu.” Tidak ada yang bertanya dan itu TMI. Uya yang hendak pergi kembali menatap Deby. “Jangan lama-lama nanti dicariin kakak kelas lho! Juga hati-hati nyasar.” “Iya-iya... Kalau ada kejadian apa-apa lagi. Hidup gue drama banget ‘dah!” Ucap Deby. “Baru sadar lo?!” Dengan segera Uya menimpali. Dan benar kejadian lain terjadi. Belum lama, baru sesaat lalu Deby berkata seperti itu pada Uya. Tetapi dirinya kini kembali terlibat dalam situasi konyol. Situasi yang terlihat dan terdengar konyol bagi siapa pun. Deby dan beberapa teman satu kelompok gugusnya terkunci di kamar mandi secara berjamaah. “Sebenarnya ada apa dengan hari ini...” Ratap Deby tak habis mengerti. ***bersambung

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.9K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook