LIMA

2991 Words
“Di mana orang tua lo?”             Pertanyaan itu dijawab dengan gumaman tidak jelas dari Andini. Cewek itu berjalan menuju dapur, membuka kulkas dan mengeluarkan dua buah minuman kaleng bersoda. Tak lama, Andini kembali ke ruang tamu dan memberikan satu kaleng minuman bersoda tersebut kepada Austine.             “Ke luar kota dari minggu lalu.”             Alis Austine terangkat satu dan wajahnya jelas-jelas menampakkan kalau dia sangat tidak senang dengan kenyataan bahwa Andini berada di rumah ini sendirian. Sudah seminggu, sendirian di rumah, penyakit maag kronis yang sering kambuh jika tidak diperhatikan jam makannya dan yang lebih penting, Andini seorang cewek. Kenapa orang tua Andini tidak menyuruh kerabat keluarga mereka untuk menemani cewek itu di rumah?             “Sampai kapan?” tanya Austine dengan nada dingin. Nada dingin yang tanpa dia sadari. Kemudian, cowok itu menyadari bahwa Andini sedang menatapnya. Sebagai gantinya, Austine balas menatap dengan kening yang mengerut, ketika tahu bahwa Andini menatapnya dengan tatapan geli. “What?”             “Kedengarannya lo khawatir.”             Austine mendengus. “Salah?”             “Nggak,” jawab Andini dengan nada ringan. “Gue justru senang. Makasih, loh. Tapi, seperti yang lo tau, gue ini mandiri dan berani. Gue nggak masalah ditinggal sendirian di rumah seperti ini. Bukannya lo menyukai cewek yang mandiri?”             “Mandiri atau nggak, cewek tetaplah cewek.”             “Aneh.”             “Apanya?” Austine mengangkat satu alisnya dan bersedekap.             “Bukannya lo yang selalu menekankan kepada Aulia bahwa lo menyukai cewek yang mandiri? Bahwa lo lebih senang mempunyai saudara kembar yang bersifat mandiri, elegan, tidak mudah didekati oleh orang lain dan selalu merasa mahal di hadapan semua orang? Lantas, kenapa lo justru mengkhawatirkan seorang cewek yang mandiri seperti gue?”             Rahang Austine mengeras dan giginya mengertak. Cowok itu berjengit sedikit saat mendengar kalimat Andini barusan. Kedua tangannya terlepas dari d**a dan mengepal kuat di sisi tubuh. Sejak dulu, hanya cewek di hadapannya ini yang selalu bisa menentangnya, membalikkan semua kata-katanya dan tidak pernah takut kepadanya. Ketika orang lain termasuk keluarganya justru mundur teratur demi menghindari konfrontasi dengannya, Andini justru bergerak maju dan sengaja melempar bensin ke atas api yang sudah menyala.             “Kehabisan kata-kata untuk membalas, Austine?”             Kalimat itu membuat Austine meradang. Tanpa basa-basi, cowok itu bangkit dari sofa, berjalan ke arah Andini yang duduk dengan santai tanpa merasa takut di sofa panjang di seberangnya, kemudian mencengkram kedua pergelangan tangan cewek tersebut. Lalu, dengan satu gerakan cepat, Austine mendorong tubuh mungil Andini ke sofa panjang yang didudukinya, berusaha menahan beban tubuhnya sendiri di atas tubuh Andini, walau dia bisa merasakan sesuatu yang bulat dan kenyal bersentuhan langsung dengan d**a bidangnya. Pikirannya mulai kosong dan matanya mulai terasa aneh ketika memandang wajah teman masa kecilnya tersebut.             “Apa lo bisa meloloskan diri dari gue sekarang, Din?” tanya Austine. Suaranya terdengar serak dan berat. Dalam hati, cowok itu mengumpat. “Coba, apa lo bisa melepaskan diri dari gue?”             Andini berusaha melepaskan diri dari Austine, namun gagal. Cewek itu menarik napas panjang dan tersenyum lebar. Walau merasakan alarm tanda bahaya, tapi dia yakin Austine tidak akan berbuat yang macam-macam. Meski mereka kecolongan pun, Andini yakin pada teman masa kecilnya itu. Bahwa Austine pasti akan bertanggung jawab dengan semua perbuatannya.             “Oke, gue mengaku kalah dan salah. Sori buat semua kata-kata gue barusan,” kata Andini dengan nada santai.             Austine hanya diam. Dia menatap manik cokekat terang Andini. Cewek yang berada di bawah tubuhnya saat ini, di mana d**a mereka saling bersentuhan, perut mereka saling bersentuhan, bahkan salah satu kakinya berada di antara kedua kaki Andini, adalah teman masa kecilnya. Teman masa kecil yang selalu ada di sisinya, di sampingnya, selalu berhasil menenangkannya dan tidak pernah meninggalkannya. Teman masa kecil yang mengetahui semua rasa sakit dan sedih yang dia alami, bahkan ketika dia harus menyakiti saudara kembarnya sendiri.             Hanya cewek ini. Hanya Andini yang memahaminya.             “Hei,” panggil Austine. Masih dengan nada serak dan berat yang sama. Diusapnya pipi putih Andini dan usapan itu berakhir ke bibir merahnya. Dengan ibu jarinya, Austine mengusap bibir Andini dari kiri ke kanan dan sesekali menekannya pelan. Bisa dia lihat, Andini memejamkan kedua matanya sejenak, kemudian membukanya lagi. Mata cewek itu menyorot sayu. “Lo liat sekarang, kan? Meskipun lo mandiri dan berani, kalau lo udah dalam keadaan seperti ini, lo nggak akan bisa meloloskan diri, Din.”             “Hmm... emang gue nggak bisa meloloskan diri, sih. Tapi, gimana kalau alasan sebenarnya adalah gue nggak mau meloloskan diri dari lo?”             Pertanyaan itu membuat kedua mata Austine membulat dan cowok itu menaruh kedua tangan Andini di masing-masing sisi kepalanya. Austine menahan kuat pergelangan tangan Andini dan menatap cewek itu dengan tatapan yang sedikit memburam. “Lo sadar sama apa yang lo ucapin barusan, Din?”             “Yup.” Andini mengangguk. “Kenapa? Lo takut?”             Ujung bibir Austine tertarik ke atas sedikit. “Lo nggak akan bisa mundur lagi, Din. Apa yang udah gue putuskan untuk menjadi milik gue, selamanya nggak akan pernah gue lepas.”             Apa lo sebego itu, sampai-sampai nggak menyadari bahwa dari dulu gue jatuh cinta sama lo? “Nasib gue kalau gitu. Terikat sehidup-semati sama cowok arogan, dingin dan menyebalkan seperti lo, Austine.”             Tanpa banyak bicara, Austine langsung mendekatkan wajahnya dengan wajah Andini yang berada di bawahnya. Cowok itu mencium bibir Andini. Awalnya lembut, namun lama-lama, ciuman Austine berubah dalam, basah dan sedikit liar. Dia memasukkan lidahnya ke dalam mulut Andini, berhasil mengaitkannya dengan lidah Andini, bahkan memainkan rongga atas mulut teman kecilnya itu. Ciuman itu semakin panas ketika Austine mendengar desahan menggoda dari Andini, juga bagaimana tangan cewek itu yang sudah dia lepas kini bermain di rambut lebatnya. Austine bahkan tidak menyadari bahwa sebelah tangannya sudah masuk ke dalam pakaian Andini, bermain di kulit halus cewek itu dan mulai meremas sesuatu yang bulat dan kenyal di sana. Sebelah tangannya yang lain mulai mencari ristleting celana jeans Andini dan ketika dia berhasil menemukannya, tanpa kesulitan Austine menariknya turun.             “Are we going to continue?” tanya Andini dengan napas terengah dan gairah yang mulai menyala, ketika ciuman panas mereka terlepas. Cewek itu menatap mata Austine yang juga memancarkan gairah. Bukan hanya itu, Andini pun sadar jika kancing celana jeans dan ristletingnya sudah terbuka, pun dengan tangan besar dan hangat Austine yang masih bermain di payudaranya. “In here?”             “No,” jawab Austine dengan suara seraknya. Dia menyelipkan tangan kanannya di bawah lutut Andini dan tangan kirinya di punggung cewek itu. “In your bed. And now, you are mine. Only mine. Your body, your heart and your love, they are mine.”             Ketika Austine menutup pintu kamar Andini, hujan di luar sana semakin deras dan hawa dingin itu semakin terasa. ### Setyo baru saja menaruh semua makanan yang dipesannya di atas meja, ketika dia menyadari Aulia sudah selesai berganti pakaian dan sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk.             Nyaris saja Setyo tertawa saat melihat bagaimana tubuh mungil Aulia tenggelam dalam pakaian miliknya. Kaus lengan panjang dan celana training yang dipinjamkan Setyo kepada Aulia sangat kebesaran untuk cewek itu. Tak bisa menahan hormon tawanya lebih lama, akhirnya Setyo mengeluarkannya juga. Hal itu tentu saja memancing tatapan bete dari Aulia.             “Ketawa aja terus!” Aulia mendekati Setyo dan melempar handuk di tangannya ke arah cowok itu. Tepat mengenai wajahnya. “Dasar setan!”             “Loh? Salah gue ketawa? Lo lucu begitu, tenggelam di balik pakaian gue.” Setyo menggeleng dan menjemur handuk yang tadi dipakai Aulia di sandaran kursi meja makan. “Duduk. Gue udah pesan makanan. Semoga lo nggak keberatan gue memesan ayam goreng mentega dan capcay goreng.”             Aulia mengangkat satu alisnya dan duduk di kursi di samping Setyo. “Dari mana lo tau makanan kesukaan gue?”             “Hmm?” Setyo memberikan piring berisi nasi putih ke hadapan Aulia. “Ini makanan kesukaan lo? Gue hanya asal pesan padahal. Mungkin gue seorang cenayang?”             Aulia mendengus.             “Bagus dong,” kata Setyo lagi, setelah dia berhasil menelan nasi dan ayam goreng menteganya. “Itu artinya, semua ini nggak akan sia-sia. Lo akan makan dengan lahap dan membantu gue untuk menghabiskan semua makanannya.”             Aulia menarik napas panjang dan mengedikkan bahu. “Harganya berapa, nih? Biar gue ganti uang lo setengahnya.”             “Udah, nggak usah dipikirin.” Setyo menggeleng dan mengambil capcay goreng. “Anggap aja gue lagi berbaik hati sama lo. Omong-omong, orang-orang di rumah lo lagi ke mana?”             “Bokap sama nyokap lagi di rumah Oma gue di Bandung, Kak Putra sama Kak Petra lagi ada acara pemotretan dan makan malam di hotel ternama gitu. Stevano, mm... dia....”             “Gue nggak nanya dia dan nggak butuh tau dia lagi di mana atau lagi ngapain.” Setyo mengambil satu potong ayam goreng mentega lagi. “Lo nggak punya kunci cadangan?”             Aulia menggeleng. “Gue selalu pulang tepat waktu dan mengabari kalau pulang larut. Jadi, gue nggak pernah bawa kunci cadangan. Gue pikir, Stevano ada di rumah. Tapi, ternyata tadi gue ketemu dia di tempat yang biasa dia datangi, waktu gue nggak sengaja lewat sana. Dan dia lagi sama Andini juga. Mungkin, malam ini dia nggak akan pulang dan gue harus menunggu kedua kakak gue pulang dulu. Gue udah menghubungi Kak Putra, dan dia bilang acara selesai sekitar jam sepuluh malam.”             Setyo menatap jam dinding rumah kontrakannya. Pukul tujuh malam. Masih tiga jam lagi.             “Apa lo bertengkar lagi dengan kakak sinting lo itu?”             Pertanyaan yang diajukan dengan nada santai itu membuat Aulia sempat menegang, sebelum akhirnya cewek itu melanjutkan makannya kembali. Dia lupa kalau Setyo sudah tahu soal kepribadian gandanya yang selalu disebabkan oleh Austine.             “More or less.”             “Dan lo termakan sama semua ucapan brengseknya?” tebak Setyo. Cowok itu memang terlihat fokus dengan makan malamnya, tapi Aulia tidak sadar kalau Setyo selalu meliriknya untuk melihat raut wajah dan respon darinya.             “Always.” Aulia mendesah berat dan menghentikan makannya. Cewek itu minum sedikit, mengelap bibirnya dan menatap kedua telapak tangannya sendiri. “Gue nggak tau kenapa dia selalu bersikap dingin ke gue. Tadi, sewaktu gue liat dia sama Andini, sikapnya terlihat biasa aja. Dia memang masih terlihat cuek, tapi di samping Andini, gue melihat Stevano bisa bersikap gentle. Dia memarahi Andini yang terlihat ceroboh, khawatir ketika Andini menekan perut kirinya yang gue asumsikan pada saat itu penyakit maagnya sedang kambuh, bahkan mengacak rambut Andini dengan gemas. Dan, meski orang-orang nggak bisa melihatnya, tapi gue sempat melihat Stevano tersenyum lembut ke arah Andini, walau Andini nggak menyadarinya. Kenapa di hadapan Andini dia bisa menjelma menjadi seorang yang hangat dan gentle, memperlihatkan sikap seorang kakak kepada adiknya, sedangkan dengan gue dia selalu bersikap dingin? Kenapa dia sangat membenci gue?”             Setyo menyilangkan sendok dan garpunya di atas piring dan meminum air putihnya. Lalu, cowok itu mengelap mulutnya dengan serbet bersih dan memutar kursinya agar bisa berhadapan dengan Aulia. Aulia sendiri masih menatap kedua tangannya, sampai akhirnya cewek itu tersentak kala merasakan kursinya diputar oleh Setyo. Kini, keduanya saling tatap.             “Gue nggak begitu yakin ada seorang kakak yang bisa membenci adiknya sampai seperti ini. Hubungan persaudaraan gue dan kakak gue pun bisa dibilang buruk. Tapi, gue rasa, ada alasan dibalik sikap Stevano terhadap lo, Aul. Apa lo pernah menanyakan hal itu?”             Aulia mengangguk. “Jawabannya selalu sama. Dia membenci cewek yang ramah dan baik hati seperti gue, karena gue terlihat seperti cewek murahan di matanya. Cewek yang mau didekati oleh banyak orang, mencari perhatian banyak orang dengan sikap ramah gue itu.”             “Itu alasan doang,” kata Setyo sambil mengibaskan sebelah tangan. “Pernah menanyakan hal ini sama orang tua lo?”             Aulia menggeleng. “Mereka emang tau hubungan gue dan Stevano yang nggak akur, tapi menurut mereka, itu biasa di antara saudara kandung.”             Kening Setyo mengerut. Menurut Setyo, dari pengakuan Aulia barusan, sikap Stevano tadi kepada cewek bernama Andini itu bisa dikategorikan sebagai sikap normal. Khawatir pada lawan jenis, tersenyum lembut, memperlihatkan tingkah yang hangat dan gentle. Setyo sempat mengira kalau Stevano itu membenci lawan jenis, apa pun alasan dibaliknya, termasuk kepada saudara kembarnya sendiri. Tapi, asumsi itu sekarang dipatahkan oleh cerita Aulia. Kalau Stevano bisa bersikap baik pada cewek bernama Andini, tapi sikapnya b******k luar biasa kepada saudara kembarnya sendiri, jangan-jangan...             “Amit-amit! Amit-amit! Jauh, jauh!” Setyo langsung menggeleng tegas dan mengacak rambut Aulia dengan ganas, seolah cowok itu sedang mengeluarkan Aulia dari pengaruh buruk. “Jangan sampai, Tuhan... jangan.”             “Apaan sih, Set?!” seru Aulia kesal. Dia menyentak kedua tangan Setyo dari rambutnya. “Cari ribut, ya? Paham situasi dan kondisi sedikit, kek! Gue lagi nggak mood buat ribut sama lo, tau!”             Setyo hanya meringis aneh dan mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Kalau lo tau gue sempat berpikiran alasan dibalik sikap dingin Stevano kepada lo adalah karena dia ingin mengubur dan menghilangkan perasaan cinta terlarangnya untuk lo, mungkin lo akan membunuh gue detik ini juga, Aulia Sistine.             “Lo punya kakak?” tanya Aulia, ketika dia selesai merapikan rambutnya. Dia juga tidak ingin membahas Stevano lagi, karena itu Aulia melontarkan pertanyaan barusan.             “s**t! Gue kelepasan cerita.” Setyo memukul mulutnya berulang kali dan Aulia dengan sigap menahan tangan cowok itu sambil melotot.             “Lo gila? Mau bibir lo luka dipukulin kayak gitu?”             “Kalau bibir gue dipukulnya sama bibir lo, kayaknya nggak akan luka, deh.” Dan Setyo langsung mengumpat ketika komentarnya barusan dibalas dengan sentilan kuat di bibirnya oleh Aulia. “Cewek sialan.”             “Cowok b******k m***m,” balas Aulia pedas. “Kok gue nggak tau lo punya kakak?”             “Harus gitu lo tau? Gue aja baru tau lo punya tiga kakak.” Setyo mendengus dan bangkit dari kursi. Cowok itu berjalan menuju ruang tengah dan menyalakan televisi. “Dia tiga tahun lebih tua daripada gue. Dari kecil, gue jarang banget ngomong sama dia. Hampir nggak pernah.”             “Kenapa?” tanya Aulia. Cewek itu mengekori Setyo dan berdiri di samping cowok itu yang saat ini sedang mencari acara bagus di televisi. “Dia lebih ganteng dari elo, lebih pintar dari elo, lebih baik daripada elo, ya?”             Setyo hanya diam. Cowok itu menatap datar layar televisi dan entah kenapa, sikapnya saat ini membuat Aulia merasa bersalah. Aulia tanpa sadar memegang lengan Setyo, membuat Setyo berjengit dan mengucap syukur ketika bel rumahnya berbunyi.             “Sori, gue buka pintu dulu,” pamit Setyo. Cowok itu menurunkan tangan Aulia dari lengannya dengan lembut dan bergegas membuka pintu.             Ketika pintu rumahnya terbuka, Setyo mematung. Lalu, cowok itu mendengus keras dan bersedekap. “Mau apa ke sini?”             Orang di hadapan Setyo tersenyum ramah dan mengangkat rantang di tangannya. “Nyokap nyuruh gue untuk antar makanan buat lo. Apa gue dilarang masuk?”             “Siapa, Set?”             Aulia yang sudah berdiri di belakang Setyo dan mengintip dari balik punggungnya langsung mengerjap. Cewek itu kini maju, berdiri di samping Setyo dan menunjuk cowok di hadapannya dengan senyuman lebar. “Kak Saizou?”             “Aulia?” Saizou balas menyapa. Cowok itu tertawa dan mengulurkan tangan kanannya. “Kok bisa ada elo di sini?”             “Ini tetangga gue sekaligus musuh abadi sejak masa SMA,” jawab Aulia seraya menjabat tangan Saizou. “Kak Saizou sendiri kenapa ada di sini?”             “Ingat soal adik gue yang seumuran sama lo?”             Aulia mengerjap lagi dan menunjuk Setyo juga Saizou secara bergantian. “Si Mas setan ini adik lo, Kak?”             Mendengar julukan Setyo dari Aulia membuat Saizou tertawa. Cowok itu mengangguk dan menarik napas panjang. “Gila! Dunia sempit banget. Baru kemarin kita nggak sengaja ketemu, sekarang kita udah dipertemukan lagi melalui Setyo.”             Mendengar dan melihat Aulia sangat akrab dengan kakaknya, Setyo merasa jengkel luar biasa. Cowok itu bersedekap dan menyandarkan bahunya ke dinding di sampingnya. Senyumnya merekah, namun jenis senyuman mengejek.             “Heh, kalian udah saling kenal?”             Aulia menoleh dan raut wajahnya langsung berubah. Dia seolah tidak mengenal sosok Setyo di hadapannya ini. Setyo yang dikenalnya adalah Setyo yang menyebalkan, selalu memberikan tatapan dan senyuman menantang dan mengejek untuknya. Tapi, sekarang Setyo terlihat seperti... hampir seperti Stevano.             Dan, tahu-tahu saja, Aulia merasa takut. Takut kalau Setyo benar-benar akan berubah seperti Stevano. Takut kalau Setyo akan memperlakukannya sama seperti Stevano memperlakukannya. Takut kalau Setyo pergi darinya. Kalau sampai itu terjadi, siapa yang akan membuatnya mempertahankan kepribadian dominannya, jika kepribadiannya yang satu lagi mengambil alih? Siapa yang akan membelanya di hadapan Stevano?             Tanpa Aulia sadari, tangan cewek itu langsung menarik ujung lengan panjang kaus yang dikenakan Setyo. Cowok itu tersentak dan mengerjap. Dia menoleh, menatap Aulia yang nampak takut di tempatnya dengan mata memancarkan sorot kesedihan.             Kenapa cewek itu?             “Mm... apa kalian berpacaran?” tanya Saizou, memecah keheningan.             Setyo kembali fokus kepada Saizou. Kakaknya itu masih tersenyum dan Setyo bisa melihatnya dengan jelas kalau Saizou merasa tertarik dengan Aulia. Rahang Setyo mengeras dan giginya mengertak. Dadanya mulai bergemuruh dan sebelah tangannya mengepal.             Selalu. Apa akan selalu seperti ini sampai kami mati nanti? Apa dia harus merebut semua yang menjadi milik gue, yang ada di sekitar gue, sampai gue benar-benar kehilangan semuanya?             “Nggak,” jawab Setyo pelan.             “Oh!” Saizou menatap adiknya dengan mata berbinar-binar puas. “Kalau gitu, boleh kan gue mendekati Aul—“             “Kita emang nggak berpacaran,” potong Setyo tegas. “Tapi, akan berpacaran karena gue baru saja menembak Aulia barusan. Iya, kan?”             Mendengar itu, sorot mata berbinar penuh kepuasan milik Saizou menghilang. Senyuman lebar penuh keramahan itu pun lenyap. Saat ini, raut wajah Saizou terlihat datar dan tatapan matanya terlihat dingin. Dia menatap adiknya yang tersenyum ke arah Aulia, sementara cewek itu mengerjap dan menatap Setyo dengan tatapan kaget.             Di sisi lain, Setyo seolah melakukan telepati dadakan dengan Aulia. Karena Aulia tidak paham dengan maksud tersirat Setyo, cowok itu berkata, “Jadi ingat pertemuan pertama kita setelah nggak ketemu tujuh tahun lamanya di mall waktu itu. Lo ingat, kan? Waktu lo lagi ngobrol sama tunangannya dari sahabat lo semasa kuliah dulu.”             Saat itulah, Aulia paham. Setyo ingin dirinya membayar hutangnya waktu itu karena sudah menolongnya dari perasaan malu di hadapan publik. Sambil menarik napas panjang dan memaksakan seulas senyum, Aulia berkata, “Iya.”             “Jadi, lo menerima pernyataan cinta gue, kan, Aulia Sayang?”             Aulia memejamkan kedua mata dan menunduk. Kepalanya mengangguk. “Iya,” jawabnya pelan sekali, nyaris berbisik. Arrrgh! Gue terikat janji dengan iblis!             Sementara Setyo tersenyum puas ke arah Saizou, kakaknya itu justru memberikan tatapan dinginnya. Hanya Setyo yang tahu bahwa Saizou tidaklah seperti yang cowok itu tampakkan.             Saizou Rajawali adalah seorang manusia bermuka dua yang tidak segan-segan menyingkirkan lawannya untuk mendapatkan keinginannya, meskipun itu adalah adik kandungnya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD