“Stevano....”
Panggilan itu membuat Stevano menoleh. Cowok kecil berusia tujuh tahun itu menerima selembar kertas yang diberikan oleh wali kelasnya. Hasil ulangan matematika kemarin sudah dinilai dan Stevano mendapatkan nilai sembilan puluh. Memang Stevano termasuk anak pintar di kelasnya. Nilai-nilainya selalu bagus dan memuaskan.
Hanya saja, semua itu terasa percuma untuk Stevano.
Entah bagaimana caranya, Stevano yang masih duduk di bangku kelas dua SD itu sudah bisa merasakan amarah dan rasa cemburu yang begitu hebat kepada Aulia Sistine, adik kembarnya. Aulia Sistine adalah cewek mungil yang cantik dengan senyum indahnya, mata bulat berbinar ceria dan sifat ramahnya kepada semua orang. Dia selalu mendapatkan perhatian dari orang tua, kedua kakak kembar mereka dan teman-teman seusia mereka. Awalnya Austine biasa saja. Tapi, ketika kedua orang tuanya, kedua kakak kembar mereka bahkan orang-orang di sekolah mulai membanggakan dan menomorsatukan Aulia, selalu membandingkan mereka, Austine mulai berubah.
Seperti saat ini, ketika pulang dari sekolah. Orang tuanya memuji Aulia karena ulangan matematikanya mendapat nilai sembilan puluh lima. Lima poin lebih unggul dibanding dirinya. Tapi, Aulia begitu diagung-agungkan. Rambutnya dibelai, dijanjikan mainan dan boneka, dibanggakan, semuanya. Dan ketika Austine menunjukkan nilai matematikanya, kedua orang tuanya hanya tersenyum dan mengangguk sambil berkata, “Bagus, Stevano.”
Hanya itu.
Jika ditanya apakah dia membenci Aulia Sistine, Austine Stevano pasti akan menjawab ‘ya’ tanpa ragu. Tapi, ada masa di mana rasa benci dan sebalnya pada Aulia lenyap. Seperti saat adik kembarnya itu membelikan kue kesukaannya atau minuman kesukaannya atau rela memberikan puding vanilla kesukaan mereka kepadanya. Juga ketika Aulia sakit, Austine adalah orang pertama yang merasa khawatir dan selalu menjaga Aulia di sisi cewek itu sepanjang malam sambil menggenggam erat tangan mungilnya.
Tapi, rasa benci kepada Aulia selalu muncul kalau cewek itu mendapatkan semua perhatian orang-orang.
Suatu hari, Aulia dan Austine sedang bersiap untuk pulang ke rumah. Di kelas itu, hanya ada mereka berdua. Aulia dengan sifat ramah dan tulusnya, juga karena dia sangat menyayangi Austine, langsung menghampiri sang kembaran dengan senyuman lebar andalannya. Meski Austine tidak membalas senyumannya dan menatapnya datar, bahkan cowok itu tanpa ragu memperlihatkan tatapan bencinya untuk Aulia, namun Aulia kecil nampaknya belum mengerti dan tidak ambil pusing. Karenanya, cewek mungil itu menggenggam erat tangan Austine dan berkata, “Stevano, ayo pulang! Semalam Sistine buat puding kesukaan kita berdua dibantu sama Bibi. Nanti kita makan sama-sama di teras atas, ya!”
Austine hanya diam dan menyentak tangan Aulia. Cowok itu berjalan lebih dulu, meninggalkan Aulia yang bingung di tempatnya. Semalam, semua orang di rumah lagi-lagi memuji dan membanggakan Aulia. Hasil ulangan cewek itu yang hanya lebih tinggi dua poin dibandingkan dirinya begitu dipuja oleh keluarga, sedangkan hasil ujiannya tidak ada satu pun yang dipuji. Jangankan dipuji, dilirik pun tidak.
Aulia dan Austine selalu pulang sekolah berdua dengan berjalan kaki karena jarak sekolah mereka dan rumah sangat dekat. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit. Tidak harus menyebrang, cukup berjalan di sisi yang aman. Aulia nampak senang, sedangkan Austine masih memikirkan kejadian semalam. Hatinya sakit. Dia sedih. Dia ingin menangis, tapi dia seorang cowok.
Lalu, semuanya terjadi begitu saja. Sebuah mobil tidak dikenal berhenti di dekat keduanya. Dua orang turun dari sana dan langsung berusaha membawa Aulia dan Austine masuk ke dalam mobil. Keduanya berontak hebat. Mereka berteriak meminta tolong, tapi keadaan jalan yang sepi karena hujan yang baru saja berhenti membasahi bumi membuat teriakan keduanya sia-sia.
“Lepasin Sistine! Lepasin Sistine!” teriak Austine sambil berusaha melepaskan diri dari gendongan paksa salah satu dari kedua orang yang turun dari mobil tersebut.
“Nggak! Lepasin Stevano! Stevano lagi sakit! Lepasin Stevano! Nanti Stevano makin sakit. Stevano harus makan puding supaya sembuh! Lepasin Stevano!” jerit Aulia sambil menendang-nendang udara. Usahanya untuk melepaskan diri dari orang yang menggendongnya dengan paksa.
Lalu, Aulia melihat sebuah kesempatan. Cewek mungil itu, mengerahkan seluruh kekuatannya yang masih berusia tujuh tahun, menendang wajah orang yang menggendong paksa Austine hingga orang tersebut kesakitan dan melepaskan Austine.
“Stevano, lari! Sistine nggak apa-apa! Lari, Stevano!”
Austine hanya bisa diam. Cowok kecil itu menatap ke arah dua orang yang berhasil membawa Aulia masuk ke dalam mobil. Ketika mobil itu pergi, Austine bangkit dan berusaha mengejar. Saat mobil itu belok di tikungan jalan, Austine berhenti berlari. Napasnya tersengal. Jantungnya terasa sakit. Dia takut. Matanya mulai panas dan air mata itu mengalir turun. Lalu, Austine jatuh terduduk dan menangis keras. Tidak peduli lagi dengan istilah ‘anak cowok dilarang menangis dan harus kuat’.
Berkat kepintaran Austine, cowok kecil itu berhasil mengingat nomor plat mobil serta ciri-ciri mobil yang membawa Aulia. Dibantu polisi, dua hari kemudian Aulia ditemukan. Aulia dibawa ke rumah sakit oleh pihak polisi dan mendapat sedikit luka di bagian lengan juga lutut. Ketika Austine datang menjenguknya, Aulia menyambut dengan senyum dan langsung memeluk leher kakak kembarnya.
“Stevano! Sistine kangen sama Stevano!”
Saat itu, Austine hanya bisa mematung. Lalu, cowok kecil itu mendorong tubuh Aulia dengan tegas agar pelukannya terurai dan menatap dingin adik kembarnya. Keluarganya bahkan terkejut dan menatap Austine dengan tatapan penuh tanya. Kali ini, mereka semua membeku ketika melihat bagaimana anak berusia tujuh tahun bisa mengeluarkan tatapan setajam dan sedingin itu.
“Berisik!” Austine menunjuk wajah Aulia. “Kamu itu menyebalkan, Sistine. Kamu itu bisanya cuma nyusahin orang aja. Karena kamu terlalu ramah sama orang lain, kamu terlalu dekat sama orang lain, kamu jadi target penculik! Dan kamu justru bawa-bawa aku, bikin aku hampir ikut diculik!”
“Stevano!” Putra mencoba menghentikan ucapan Austine, tapi Austine hanya mendengus dan langsung pergi dari kamar inap Aulia. Meninggalkan Aulia yang kemudian menangis hebat sambil terus memanggil nama Austine.
Sejak saat itu, sikap Austine kepada Aulia berubah. Cowok itu selalu bersikap dingin kepada Aulia, mengeluarkan kata-kata pedas dan menyakitkan untuk Aulia, meski dia harus ikut menahan sakit di hatinya setiap melihat tatapan serta wajah sedih adik kembarnya itu. Semuanya Austine lakukan dengan pikiran untuk menjauhkan Aulia dari bahaya seperti itu lagi. Karena Austine berpikir, akibat kecerobohan dan ketidakbecusannya dalam menjaga Aulia, Aulia berada dalam bahaya. Dia terpaksa melakukan hal itu untuk membentuk pribadi Aulia yang tegas dan bisa melindungi diri sendiri.
Sayangnya, dia tidak menyangka akibat tindakannya tersebut, Aulia justru menciptakan pribadi dirinya yang lain, yang diinginkan oleh Austine, tanpa cewek itu sendiri sadari. Dan Austine sungguh menyesalinya.
###
Austine terbangun dengan napas terengah.
Sebelah tangannya mengusap wajah dan kedua matanya terbelalak. Peluh itu membasahi wajah tampannya, meski udara di luar sana dingin karena hujan juga pendingin ruangan yang memang menyala sejak dirinya dan Andini memasuki kamar ini. Dadanya kini terasa sesak dan sakit akibat baru saja memimpikan hal di masa lalu yang sangat ingin dia lupakan.
“Mimpi buruk?”
Pertanyaan bernada khawatir itu membuat Austine menoleh ke kanan. Di sana, Andini sedang duduk sambil bersandar pada kepala tempat tidur. Cewek itu hanya memakai kaus yang bahkan tidak terlalu menutupi pahanya. Di tangannya terdapat ponsel, yang Austine tebak sedang digunakan cewek itu untuk bermain game.
“Mm-hm.” Austine menjawab dengan gumaman dan menarik napas panjang. Cowok itu memejamkan kedua matanya sejenak dan saat matanya kembali terbuka, dia mengangkat satu alis sambil tersenyum tipis. “Berniat menggoda gue lagi, Din? Perlu melakukan hal seperti tadi selama beberapa kali sampai lo nggak bisa jalan di pagi harinya?”
Rona merah yang muncul di pipi Andini membuat Austine tertawa pelan dan mengacak gemas rambut teman masa kecilnya yang sekarang sudah berubah status menjadi pacarnya.
“Gue serius nanyanya,” gerutu Andini. Dia menaruh ponselnya di atas meja di samping tempat tidur dan melirik jam yang menggantung di dinding. Sudah pukul lima pagi. “Lo habis mimpi buruk?”
“Iya,” jawab Austine datar. “Mimpi soal masa lalu.”
“Tentang?”
Austine tidak langsung menjawab. Cowok itu turun dari ranjang dan mengambil kausnya yang teronggok di lantai. Setelah memakai kaus, Austine berdiri di dekat jendela kamar dan menyibak gordennya. Di luar, hujan masih turun meski tidak sederas semalam. Kemungkinan besar hanya berupa gerimis. Dia bersedekap, menatap langit yang masih gelap.
“Tentang gue dan Sistine,” kata Austine lagi. Cowok itu memijat pelipisnya dan mendesah berat. “Waktu gue dan Sistine masih SD. Waktu gue tiba-tiba berubah di hadapan Sistine, supaya Sistine bisa membenci gue dan bisa membentuk dirinya menjadi lebih tegas dan berani.”
Kali ini, ganti Andini yang mendesah. “Look, i told you about this before, right? Adik kembar lo diculik dulu itu sama sekali bukan kesalahan lo. Kalian berdua masih kecil waktu itu, masih nggak berdaya.”
“Tapi supaya gue selamat karena waktu itu entah gimana caranya hanya Sistine yang tau tentang gue yang lagi sakit, dia mengorbankan diri. Dia nendang muka orang yang mencoba memasukkan gue ke dalam mobil, bikin gue terlepas dan bisa melarikan diri. Dan karena dia diculik, dia jadi terluka.” Austine memutar tubuh dan menatap Andini. “That was my fault.”
Andini turun dari ranjang dan mendekati Austine. Dia bahkan tidak peduli dan tidak malu ketika mata tegas Austine sempat hinggap pada kedua paha putih mulusnya. Toh semalam, entah untuk berapa kali lamanya, dia dan Austine bercinta tanpa mengenakan sehelai pakaian pun. Ketika Andini sudah berhadapan dengan Austine, cewek itu menangkup wajahnya sehingga mengharuskannya untuk berjinjit.
“Aulia nggak menyalahkan lo. Dia justru terlihat senang waktu itu, kan? Saat dia berhasil diselamatkan dan lo datang menjenguknya?”
“Tapi gue bukan seorang kakak yang baik, Din,” balas Austine. “Gue adalah seorang kakak yang jahat, yang tega menyakiti hati adik kembarnya sendiri hanya karena cemburu tidak diperhatikan seperti mereka memperhatikan Sistine.”
“Austine Stevano, gue percaya kalau Aulia pasti nggak pernah membenci lo sampai detik ini. Dia sangat menyayangi lo. Dia selalu memberikan lo hadiah di saat kalian ulang tahun dan membuatkan puding kesukaan kalian, kan? Kalau dia membenci lo, dia nggak akan mungkin rela buang-buang waktu hanya untuk menyiapkan hal itu. Kecemburuan di antara saudara itu hal biasa, kok. Sekarang, gimana kalau lo coba untuk merubah semuanya? Dekati Aulia, minta maaf sama dia dan mulai bersikap layaknya seorang kakak kepada Aulia.”
“Tapi—“
“Gue juga sadar dan tau sejak dulu kalau lo sangat menyayangi Aulia. Lo bahkan menghajar semua cowok yang pernah menyakiti hati adik lo dan membuat adik lo menangis dulu saat sekolah.” Andini terkekeh geli. Cewek itu mencium bibir Austine kilat dan memeluk pinggangnya. “Apa perlu gue temani?”
Austine balas memeluk Andini. Mungkin, memang sudah saatnya dia menghentikan semuanya dan meminta maaf. Sudah terlalu lama dia menyakiti hati adik kembarnya sendiri. Dan kalau Aulia tidak mau memaafkan kesalahannya, Austine tidak akan memaksa. Cowok itu sadar, kesalahannya selama ini memang fatal.
“Nggak perlu,” jawab cowok itu mantap dan mencium puncak kepala Andini. “Gue bisa menanganinya sendiri.”
###
“Kalau lo mau beli sarapan, gue nitip bubur ayam satu ya, Sayang!”
Suara menyebalkan itu membuat langkah Aulia terhenti dan cewek tersebut langsung menoleh ke sumber suara untuk memberikan tatapan mautnya kepada Setyo. Nemesisnya itu sedang tersenyum lebar di depan pintu rumahnya sambil bersedekap dan sekarang melambaikan tangan. Sambil menggeram, Aulia mendorong pagar rumah Setyo dan memasang tubuh mungilnya di hadapan cowok tersebut.
“Lo bilang apa barusan?”
“Mm... nitip bubur ayam?” ulang Setyo dengan senyum tanpa dosa.
“Setelah kalimat itu!” Aulia berjinjit dan menjitak kepala Setyo sampai cowok itu mengaduh. “Siapa yang lo panggil ‘sayang-sayang’?”
“Elo, lah. Lupa kalau semalam kita resmi jadian?” tanya Setyo sambil membuat tanda kutip dengan kedua tangannya. Melihat Aulia yang wajahnya memerah karena menahan emosi membuat Setyo tertawa keras dan menggeleng. “Kok nggak rela gitu jadi pacar gue?”
“Iya, lah! Siapa juga yang mau jadi pacar cowok sinting kayak situ!” Aulia mendengus. “Dengar, ya... kita pacaran cuma di hadapan kakak lo aja! Kalau sampai orang lain tau tentang ini, lo habis di tangan gue.”
“Cih,” cibir Setyo. Cowok itu menyentil kening Aulia pelan, tapi Aulia tetap mengaduh keras. “Dengan tubuh sekecil itu, sebelum lo berhasil menghilangkan nyawa gue, mungkin gue yang akan menghilangkan nyawa lo duluan.” Setyo berjalan melewati Aulia menuju pagar rumahnya. Namun, dia berhenti, menoleh dan berkata, “Atau, mungkin sebelum menghilangkan nyawa lo, gue akan menghilangkan keperawanan lo lebih dulu?”
Wajah Aulia memanas dengan cepat hingga cewek itu yakin kalau saat ini, rona merah itu sudah muncul di kedua pipinya. Sambil menahan emosi, Aulia bergegas menghampiri Setyo dan menendang tulang keringnya.
“Arrgh! Dasar cewek bar-bar! Sakit, tau!” teriak Setyo seraya membungkuk untuk mengusap tulang keringnya.
“Siapa suruh mulutnya minta banget dirajam,” sahut Aulia polos. “Perlu gue tendang tulang kering yang satunya lagi, Sayang?”
Setelah adu tatap sengit dan Setyo sudah menegakkan punggungnya lagi, keduanya menoleh ketika mendengar suara dehaman. Lalu, tahu-tahu saja Setyo sudah berdiri tepat di hadapan Aulia. Setyo mencoba menghalangi tatapan tajam yang dilayangkan oleh Austine yang entah muncul dari mana kepada Aulia.
“Sistine? Ngapain kamu di rumah tetangga pagi-pagi begini?”
Alis Setyo terangkat satu. Entah ini hanya imajinasinya saja atau bukan, tapi dia berani bersumpah kalau barusan, kakak sintingnya Aulia itu baru saja berbicara dengan nada biasa. Tidak dingin apalagi tajam seperti beberapa hari ke belakang. Yah, walaupun tatapan mata Austine masih tajam seperti biasa, sih.
Ragu, Aulia menyembulkan kepalanya dari belakang punggung Setyo. Entah kenapa, sejak semalam Setyo selalu mencoba melindunginya. Mungkin sepertinya, sang nemesis sudah salah makan sehingga sikapnya menjadi normal.
“Mm, tadi mau cari sarapan di ujung gang sana bareng sama Setyo,” jawab Aulia pelan. “Stevano baru pulang? Habis dari mana?”
“Rumah Andini. Ada urusan.” Austine bisa melihat bagaimana adiknya itu terlihat takut di tempatnya. Mungkin sikapnya selama ini sudah begitu menyakiti hati Aulia, sampai-sampai adiknya itu selalu takut jika ada di sekitarnya. “Mau ditemanin cari sarapannya?”
“Hah?”
Respon yang barusan tentu saja keluar dari mulut Setyo. Cowok itu melongo dan menunjuk Austine, tidak peduli tindakannya ini bisa dikategorikan sebagai tindakan yang sangat jauh dari kata sopan. “Elo mau nemanin adik lo cari sarapan? Nggak salah? Habis dikasih makan apaan sama cewek yang namanya Andini itu sampai berubah jinak kayak gini?”
Meski tidak peduli dengan komentar Setyo, tapi Austine tetap memberikan tatapan super dinginnya untuk cowok yang dia ketahui sebagai teman SMA Aulia itu. “Sori, tapi bisa lo nggak nyembunyiin adik kembar gue di sana?”
“Ih, dia emang harus disembunyiin dari serigala kayak elo, kali,” jawab Setyo dengan nada tengilnya. “Bisa-bisa, gue meleng dikit aja, nih cewek udah lo habisin.”
“Mana mungkin gue menghabisi adik yang gue sayang?”
Mendengar kalimat Austine membuat Aulia mematung. Cewek itu tanpa sadar keluar dari persembunyiannya dan mengenyahkan Setyo yang langsung menggerutu tidak jelas. Lalu, ketika dia berhadapan dengan Austine, senyuman tulus dan lembut Austine yang baru pertama kali dia lihat di sepanjang umurnya hadir. Dan, tiba-tiba saja, Aulia sudah menangis.
“Stevano... ngomong apa barusan?” tanya Aulia dengan nada terbata.
Sambil menarik napas panjang, tetap mempertahankan senyumannya dan kini memeluk tubuh gemetar adiknya, Austine berkata, “Stevano sayang kok sama Sistine. Dari dulu. Maaf, karena selama ini Stevano selalu menyakiti Sistine. Stevano punya alasannya dan Stevano harap, Sistine mau mendengarkan semua penjelasan itu. Kalau nantinya Sistine nggak mau memaafkan Stevano, Stevano ngerti, kok. Tapi, yang harus Sistine tau, Stevano selalu menyayangi Sistine dan nggak pernah membenci Sistine. I just... i just don’t know how to show you... my love for you, that is.”
Dengan tangan yang gemetar, Aulia balas memeluk tubuh tegap Austine. Cewek itu bahkan tidak malu-malu menangis keras seperti anak kecil di pelukan Austine. Dia bahkan lupa dengan kehadiran Setyo di sekitar mereka saat ini.
Meskipun senang dengan perkembangan ini, tapi Setyo tetap tidak terima diacuhkan. Akhirnya, cowok itu berkata, “Eh, kalau gitu lo calon kakak ipar gue dong, ya? Soalnya, tadi gue bilang ke Aulia kalau gue mau menghilangkan keperawanan dia dalam waktu dekat.”
Dan jawaban Austine diberikan detik itu juga kepada Setyo. Cowok itu menendang tulang kering Setyo dan mendorong keningnya dengan keras sampai Setyo jatuh terjengkang.