CHAPTER 01

2630 Words
"Rui, makanan sudah siap!" Aku baru selesai mengenakan blazer sekolahku saat ibuku berteriak dari lantai 1. Bagaikan seorang cenayang, ibuku bisa mengetahui kapan aku selesai bersiap-siap setiap harinya. Mungkin saja karena aku selalu bangun-mandi-bersiap siap pada menit yang sama setiap harinya. Atau mungkin saja ibuku sedang menungguku di bawah tangga setiap paginya hingga aku beres mandi dan.... Sebentar... sepertinya pikiranku sudah mulai berkeliaran tidak jelas. Perkenalkan namaku Rui Hemlock Oleander, seorang anak tunggal yang tinggal berdua bersama ibunya. Aku tidak tahu apa pun tentang ayahku. Ibuku tidak pernah membahas tentang Ayah dan tidak ada secarik foto pun yang memperlihatkan wajah Ayah di rumah ini. Hampir semua bagian dari wajahku adalah jiplakan dari ibuku. Wajah oval dengan mata bersinar seperti anak kucing dan bibir yang cukup mungil untuk seorang laki-laki. Hal yang mungkin diturunkan dari ayahku hanyalah postur badanku : bahu bidang dan tinggi badan yang mencapai 177 cm. Aku mempunyai sebuah kebiasaan buruk yang tidak bisa kuhilangkan dari kecil, yaitu mempertanyakan segala hal yang mungkin dapat terjadi. Pikiranku dapat diibaratkan seperti akar pohon yang bercabang-cabang dan merambat ke sagala arah. Berantakan dan memusingkan. Terkadang aku pun tidak dapat menghentikan pikiranku sendiri, terutama saat ada masalah besar yang menimpaku. Tidak semua yang kupikirkan itu adalah hal penting. Malahan sebaliknya, seringkali pikiran yang tidak penting justru lebih sering terpirkirkan seperti : Apakah hari ini akan ada hal baru? Apakah hari ini akan menyenangkan? Apakah hari ini akan ada masalah? Secara tidak sadar, aku menggumamkan hal-hal tidak penting yang berlarian di otakku sambil merapihkan rambut coklatku di depan cermin yang terpasang di pintu lemari. "BRAK!!" Tiba-tiba saja jendela kamarku tertutup dengan kencang dan membuatku tersentak. Apa itu? Pikirku sambil mendekati jendela untuk memeriksanya. Hentakkannya cukup kencang dan aku khawatir kaca jendelaku retak, tapi ternyata setelah diperiksa tidak ada yang retak. Masih terheran-heran, aku menutup kembali jendelaku kepada posisi yang seharusnya. Saat aku melihat ke bawah dari kaca jendela, seeorang kucing sedang mengeong dan memandangiku dari samping pohon besar di halaman rumahku. Kami saling pandang untuk beberapa saat, namun tidak lama kemudian hewan itu meleos pergi. "Kucing nakal," kataku menuduh kucing tersebut sebagai pelaku yang sudah menurunkan pengait pada jendelaku dan mengagetkanku. "Selamat pagi, wanita karir," sapaku sambil menaruh tas selempang di atas kursi meja makan. Wanita yang kupanggil berbalik badan dan memberikan senyuman setengah bibir yang menaik. Walaupun sudah hampir 17 tahun tinggal berdua bersamanya, aku masih belum tahu apakah senyuman itu menandakan kasih sayang seorang ibu ataukah tanda pasrah mempunyai anak sepertiku. Aku berjalan mendekati wanita yang selalu marah begitu dikatakan orang lain sebagai kakakku karena wajahnya yang awet muda. Beruntunglah karakter wajahku menurun darinya, sehingga aku yakin 20 tahun lagi aku akan siap dikatakan awet muda. Kami mempunyai warna rambut yang sama, coklat muda seperti warna kayu lantai rumah kami, namun dengan panjang yang berbeda. Ada yang pernah membayangkan bila rambutku panjang sebahu seperti Ibu, wajah kami akan sama persis dan yang berarti wajahku akan cocok menjadi wajah perempuan. Ya... aku tidak perlu membayangkannya, tapi entah kenapa ucapan orang itu selalu terbesit sesaat saat melihat wajah Ibu dari dekat. "Selamat pagi, anakku yang tengil. Pagi ini cukup berisik ya," kata Ibu membahas tentang suara dari jendela yang tertutup dengan kencang. "Anak bungsumu berulah lagi. Setelah menutup jendela dengan keras ia mengeong padaku dengan bangganya dari taman," kataku mengundang tawa kecil dari Ibu. Aku menunduk sedikit untuk mencium keningnya dan Ibu mengelus-elus rambutku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih memegang centong sup. Kuambil alat itu dari tangannya dan meneruskan kegiatan Ibu dalam mempersiapkan sarapan. "Aku bersiap-siap dulu ya," sahut Ibu sambil meninggalkan ruang makan yang bersatu dengan dapur. Kamar tidurnya ada di sebelah ruang makan di lantai 1, sehingga aku masih bisa mendengar suara berisik saat Ibu membuka lemari, mencuci muka di wastafel dan lainnya. Sambil memindahkan panci sup ke tengah meja makan, aku masih memikirkan tentang apakah Ibu dapat mendengarkan apa yang sedang kulakukan di kamarku dari lantai satu. Pikiranku masih berkutat soal sensitivitas telinga manusia di saat Ibu menaruh tas jinjingnya di atas meja pantry kemudian duduk berseberangan dengan tempat dudukku. Ibu yang awalnya berpakaian piyama dan celemek kusut dengan rambut seadanya sekarang sudah siap untuk bekerja. Ia mengenakan kemeja yang ditutupi blazer dan rok di atas lutut dengan nuansa warna tua. Rambut ikalnya sudah tergerai natural dan polesan make up sederhana sudah terlihat lebih berwarna pada kelopak mata, alis dan bibirnya. "Bagaimana menjadi siswa SMA? Menyenangkan?" tanya Ibu sambil memenuhi kedua mangkuknya yang kosong dengan nasi dan sup. "Karena beberapa murid belum paham situasi Lynx, aku masih harus memutar otak untuk menanggapi respon mereka yang beragam. Sudah 1 minggu dan masih saja banyak yang penasaran. Tapi menyenangkan kok. Tenang saja," jawabku dengan nada yang santai. "Anak itu.... selalu saja." Aku masih bisa mendengar gumaman dari Ibu walau sepertinya ia melakukannya tanpa sadar. Ya... memang selalu tentang anak itu. Siapa pun yang bertanya padaku, entah tetangga, orang-orang yang bekerja dengan ibuku, hingga murid-murid di sekolah pasti akan menanyakan padaku tentang satu orang itu : Lynx Olivine. Lynx dan aku berteman sejak kami masih kecil. Bahkan kami sudah saling berinteraksi sejak bayi karena ibuku dan ibu Lynx adalah teman baik. Hingga sekarang, ke mana pun Lynx pergi hampir selalu ada aku yang menemaninya. Aku menemani Lynx hampir 7 hari seminggu dan 30 hari sebulan. Bisa dibilang kami hampir tidak terpisahkan. Walaupun kami berdua baru menjani kehidupan SMA kurang dari 1 bulan, kedekatan kami yang tidak wajar ini pasti mengundang banyak perhatian dari murid-murid di sekolah. Dan hal yang pastinya mengundang tanda tanya adalah kenyataan bahwa Lynx hanya mau berinteraksi denganku di sekolah. Secara medis, gejala yang dialami oleh Lynx mengarah pada ASPD atau yang biasa disebut dengan anti sosial. Lynx tidak peduli sama sekali dengan apa yang dilakukan oleh teman sebayanya bahkan oleh para guru. Ia akan dengan mudah meleos saat disapa oleh teman sekelasnya dan mengatakan tidak mau menjawab saat ditanya oleh guru. Hal ini sudah berlangsung semenjak kami menjadi murid SD. "Ada guru yang belum mengetahui bahwa Lynx adalah anak bungsu dari keluarga Olivine. Jadi Lynx dipanggil ke ruang guru dan karena aku yang datang bukan Lynx, guru itu mengomel padaku.... 'Kenapa bukan Lynx yang datang?!' Aku hanya menjawab 'Aku diminta Charlotte Olivine untuk mengurusi perihal anaknya' dan dia hanya terdiam menahan malu setelah mendengar nama ibu Lynx disebut," kataku menjelaskan apa yang terjadi beberapa hari lalu di sekolah. Setiap kalimat aku berikan intonasi yang berbeda supaya ceritanya terdengar seru dan secara tidak sadar tangan dan wajahku juga ikut berekspresi seakan ingin menggambarkan kembali adegan yang terjadi secara nyata. "Bisa-bisanya kamu sesenang itu saat mempermalukan seorang guru," kata Ibu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Aku yakin kami berdua saat ini mempunyai pikiran yang sama yaitu orang yang berkuasa akan disegani semua orang. Teman dari orang yang berkuasa akan terkena dampaknya juga, termasuk mendapat kemudahan dalam berinteraksi. Hal itu sudah menjadi hal yang sangat wajar, sangking wajarnya kami pun tidak menolak kesempatan tersebut. Berbeda dengan Lynx yang cenderung pendiam dan menarik diri, aku cukup tertantang untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang akan terjadi. Jadi walaupun ibu Lynx tidak meminta padaku untuk menemani Lynx saat aku masih berada di bangku SD, aku akan tetap sukarela menjadi alat tempur untuk menghadapi masalah Lynx. "Mom harus lihat ekspresi mematung dari guru-guru di sekitarnya saat aku mengatakan nama ibunya Lynx," kataku sambil memulai sarapanku dengan sesendok sup hangat. Bila pagi-pagi buta Ibu harus menyiapkan masakan untuk kami berdua, membereskan alat-alat setelah makan adalah tugasku. Ibu menghampiriku yang tengah menumpuk piring kosong, lalu mencium keningku. "Aku pergi dulu," kata Ibu meninggalkanku seorang diri di dalam rumah. Beberapa menit kemudian terdengar suara mobil distarter dan suaranya pun menghilang seiring kepergian Ibu. Sementara Ibu menyetir mobilnya sendiri, aku masih harus menunggu beberapa menit lagi sebelum mobil Lynx menjemputku. Hak istimewa untuk diantar jemput setiap hari tentunya aku terima begitu saja. Kalau diberikan yang lebih praktis mengapa harus melakukan yang lebih sulit? Tepat pukul 7 pagi, sebuah mobil mercedes benz terparkir di depan rumah 1 ½ lantai kami yang tidak mempunyai pagar. Setiap hari mobil hitam mengkilap ini akan terparkir manis di depan rumahku sehingga mengundang lirikan kurang senang dari para tetangga. Setelah mengunci pintu rumah, aku berjalan ke arah pintu belakang mobil dan membukanya. Di dalam mobil mewah itu ada driver yang sudah berumur setengah baya dan tentunya bukan dia yang bernama Lynx. Kemudian teman kecilku berada tepat di belakang kursi driver dan memberikan ruang di sebelahnya untuk tempat dudukku. Lynx di ingatan masa kecilku adalah anak yang sangat pemalu dan sering menarik lengan bajuku ke mana pun aku pergi. Mana kutahu pada akhirnya anak laki-laki itu berubah menjadi sosok super cool di mata semua orang yang membuatku ikut menjadi pusat perhatian bersamanya. Lynx di masa sekarang mempunyai tinggi 183 cm dengan badannya yang tegap dan berisi namun tidak sampai membentuk otot besar di lengannya. Rambut hitamnya berponi belah pinggir dengan garis alis yang tegas didukung dengan ujung mata yang menaik. Secara natural Lynx sudah mempunyai karakter mata yang tegas dan tajam. Saat melemparkan pandangan yang biasa pun sorot matanya seperti akan mencekik lawan bicaranya. Proporsi dari mata, hidung, mulut terhadap bentuk wajah tampak sangat balance di wajah Lynx, sehingga dari wajahnya pun sudah sangat cocok bila masuk dunia model. Aku sempat berpikir apakah ada korelasi antara ketampanan dengan maniak makanan manis karena isi tasnya yang dipenuhi dengan permen, cokelat dan minuman berasa selalu dapat habis dalam sehari. Kalau ditanya penyakit apa yang akan dihadapi Lynx saat tua nanti pastilah aku menjawab diabetes. Lihat saja sekarang ia pasti sedang mengemut permen. "Rasa apa?" tanyaku secara spontan. Pertanyaan ini akan selalu kutanyakan setiap kali melihat wajah Lynx di awal pembicaraan kami. Aku mengerti ini hal absurd, tapi sulit untuk tidak menanyakannya. "Strawberry," jawab Lynx dengan singkat. Dan seperti ritual yang selalu kami lakukan, Lynx akan membuka kan sebuah permen yang lain untuk aku makan. Lynx mengambil sebuah benda berbentuk bola dengan warna merah dari bungkus plastik kecil, kemudian mendekatkan diri padaku yang membuka mulut perlahan untuk menaruh permen itu di dalamnya. Saat turun dari mobil di parkiran sekolah SMA Johnson, orang-orang tidak memandangi kami seperti yang dilakukan di depan rumahku. Alasannya tentu saja karena orang tua mereka hampir semuanya orang berada sehingga pemandangan mobil mewah yang mondar mandir itu sudah sangat wajar. Murid-murid SMA Johnson hampir semuanya datang dengan mobil dan driver. Sebagian besar orang tua murid mempunyai bisnis yang dikenal secara nasional. Sebagian berkecimpung di dunia politik. Sebagian berhasil di bidang entertainment, entah mantan artis, model, penyanyi, pembawa acara terkenal. Walaupun aku tidak termasuk di dalam semua kategori di atas, aku bukan tokoh utama yang tertindas di sekolah. Bukan. Di kelas 10-C Lynx dan aku duduk bersebelahan di meja paling belakang dan dekat dengan kaca di bagian luar gedung. Salah satu hal praktis yang aku lakukan setiap hari adalah menerjemahkan pikiran Lynx pada orang yang bertanya padanya. Dan hari ini langsung terjadi beberapa detik setelah kami berada pada tempat duduk kami. "Lynx dan Rui, tugasnya...." Sebelum ketua kelas menyelesaikan kalimatnya, aku sudah mengeluarkan dua buah buku dan mengarahkan pada gadis yang berada di antara kedua mejaku dan Lynx. "Oh... tugas Lynx juga ada padamu ya?" Aku hanya tersenyum datar untuk mengisyaratkan gadis itu tidak perlu berurusan langsung dengan Lynx. Baru saja aku menghadapi satu orang di depan pandanganku, siswi dari kelas lain melintas di belakang kursiku dan berusaha mengajak ngobrol Lynx. Wow, combo 2x di pagi hari! "Lynx Olivine... bisa bicara sebentar? Temanku ada yang mau berbicara padamu," kata seorang gadis berambut pirang pendek. Aku menoleh ke arah Lynx dan mendapati wajahnya yang meleos ke arah kaca jendela. Gadis itu cukup terkejut tapi berusaha menutupinya dengan mengatupkan bibir. Pemandangan ini sangat sering kutemui saat SMP. Ekspresi kecewa yang sama dari seseorang yang ingin membantu mendekatkan temannya dengan Lynx tapi tidak digubris sama sekali. Melihat wajah gadis ini yang sedikit kesal, aku biasa menyimpulkan dia berasal dari kelas 2 atau 3. Biasanya harga diri sebagai kakak kelas tercoreng karena merasa diabaikan. "Temanmu di mana? Dia bisa bicara padaku saja," kataku mengundang gadis itu untuk berhenti memandangi punggung Lynx yang bergeming. Gadis itu terdiam beberapa saat tapi sebelum ia berbicara, aku sudah beranjak dari tempat duduk lalu berjalan ke arah pintu kelas. Prediksiku untuk berjalan keluar ternyata benar. Gadis berparas manis dan berambut hitam panjang tengah berdiri di luar kelas sambil sesekali memperhatikan ke dalam. Aku cukup sulit mengingat wajah orang, tapi gadis ini bukan berasal dari kelas 10 dan dia adalah salah satu gadis yang menarik perhatian karena ada di majalah sebagai anggota OSIS. "Hei, tunggu!" sahut gadis berambut pendek berusaha mengejarku keluar. Aku memandanginya sebentar, lalu kembali memerhatikan gadis OSIS yang sedang terbengong-bengong melihat sosok yang bukan diharapkan ada di depannya. "Aku yang akan mewakili Lynx untuk menjawab... silahkan," kataku berusaha memperlihatkan kesopanan dan keramahan. Walaupun aku sudah merasa cukup baik, ternyata niat baik saja tidak cukup untuk si gadis berambut pendek karena terlanjur kesal. "Hei, Manna tidak akan berbicara padamu. Ia hanya ingin berbicara dengan Lynx! Mana sopan santunmu?!" kata si rambut pendek sambil menarik lengan blazerku. "Cath... tidak apa-apa," kata gadis OSIS yang bernama Manna. "Sepertinya yang mau mengajak bicara pun tidak keberatan. Lagipula aku sudah menggunakan kata-kata yang sopan," kataku dengan santai melihat pandangan seorang gadis yang sedang mengerutkan dahinya. Manna berusaha menarik lengan gadis yang dipanggil Cath tapi tidak berhasil mengalihkan pandangan temannya itu dariku. "Manna, tetap saja orang ini tidak sopan," kata gadis berambut pendek masih terlihat marah padaku. "Bila dia tidak bisa berbicara padaku, berarti kalian bisa kembali karena Lynx tidak bisa berbicara dengannya," kataku menatap Manna kemudian menatap temannya yang mulai bergeming. Beberapa murid di dalam kelas 10-C sudah mulai melirik ke arah kami dan beberapa yang baru mau masuk ke kelas pun terlihat penasaran sehingga menghentikan langkahnya. Adegan seperti ini kurang berpihak padaku karena seakan aku yang membuat kedua gadis ini tidak berkutik. Tapi aku hanya menjalankan tugasku dengan sedikit keisengan semata. Toh aku tidak terlalu peduli apa yang dibicarakan oleh orang-orang setelah ini. "Aku ingin mengajak Lynx makan bersama nanti siang... kamu juga boleh ikut," kata Manna dengan suara manis tidak seperti temannya. Ya ampun... kenapa aku yang merasa berdosa sudah membuat gadis sebaik ini kecewa karena tidak dihiraukan oleh teman baikku yang antisosial? "Maaf aku harus menolak ajakanmu atas nama Lynx. Tapi dia tidak pernah mau makan dengan banyak orang," kataku menundukkan kepala lalu memandang Manna kembali yang terlihat kecewa. "Ah... begitu ya. Ternyata rumor bahwa Lynx sulit didekati memang benar," kata Manna agak salah tingkah. Aku hanya bisa tersenyum dan memandangi satu gadis manis yang tersakiti lagi. Dari sekian banyak tugas yang harus aku lakukan, sebenarnya kasus seperti ini yang paling sulit bagiku. Gadis manis. Sopan. Baik. Walaupun bukan ditolak olehku, tapi tetap saja kata-kataku yang membuatnya kecewa. Dalam hati aku ikut bersedih untuk Manna. Kedua gadis yang bukan berasal dari kelas 10-C itu pun pergi. Aku tidak memerhatikan kembali ekspresi si gadis berambut pendek karena fokusku bukan padanya. Tapi aku bisa melihat si gadis berambut pendek berusaha menenangkan Manna dengan menepuk-nepuk pundaknya saat berjalan. Mereka pun berbelok menaiki tangga yang berada di tengah-tengah koridor dan kedua sosok itu menghilang dari pandanganku. Aku berjalan masuk ke kelas sambil memikirkan kembali cara yang lebih baik untuk tidak membuat gadis baik yang lain kecewa ke depannya. Apakah aku sebaiknya mengiyakan dahulu, tapi beralasan tidak bisa setelahnya? Apakah perempuan lebih suka diberi harapan sedikit dahulu? Apakah aku mencoba mendekatinya saja? Ah.. lupakan. Seakan-akan aku sekarang sedang kecewa tidak bisa mengejar perempuan seperti Manna hanya karena aku bukan seorang Lynx. Pikiranku berhenti berkelana saat mendapati ada yang menatapku dari sebelah kiri. Lynx yang sedang menopangkan kepalanya di atas tangan sedang memandangiku dengan wajah tanpa dosa. "Dia gadis yang manis. Satu-satunya tugasku yang membuatku merasa bersalah," kataku membalas tatapan dari Lynx. Lynx membuat senyuman sesaat tapi dengan pandangan mata yang tidak tersenyum, lalu ia menolehkan kepalanya ke arah jendela dan membelakangiku. Baiklah... dia menyebalkan. Aku tidak akan mengambilkan minum untuknya nanti siang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD