CHAPTER 02

2269 Words
Salah satu yang membuat SMA Johnson terkenal di kota xxx adalah kantinnya yang sangat elit. Selain mempunyai luas yang setara 4x lapangan sepak bola, kantin SMA Johnson juga dipenuhi oleh 10 vendor makanan-minuman ternama yang dengan sukarela berinvestasi di sekolah ini karena yakin dengan kemampuan finansial para muridnya. Berdasarkan survey internal sekolah, 90% murid di SMA Johnson mampu membeli makanan setaraf restoran dengan penghargaan Michelin Star setiap harinya. Makanan dan minuman yang dijual di kantin SMA Johnson terdiri dari berbagai macam budaya yaitu east, western hingga asian food. Delapan dari 10 vendor menyajikan masakan dengan tema prasmanan supaya waktu tidak terbuang percuma hanya untuk menunggu. Satu vendor menyediakan minuman khusus bagi pecinta kopi, teh, cokelat dan minuman lain yang tidak dapat disediakan dari vending machine. Dan satu vendor sisanya adalah sebuah patisserie. Di bandingkan dengan 9 vendor lain, ruangan dari patisserie terlihat sangat mencolok karena tempatnya sengaja di desain secara estetis. Tiga buah meja panjang marmer berwarna ivory diletakkan di ketiga sisi ruangan berbaur dengan etalase pendingin yang mengkhususkan kue yang mudah berubah kualitasnya saat suhunya tidak sesuai. Dua meja lain terletak di tengah ruangan secara diagonal dan membentuk tanda sama dengan. Setiap kue disusun dengan cantik di setiap anak tangga akrilik yang ditempatkan di atas meja. Warna warni yang dipancarkan dari hiasan kue selaras dengan nuansa warna pastel yang terlihat dari wallpaper dan hiasan pada setiap meja. Dengan tambahan permainan cahaya redup dan terang pada setiap meja dan etalase, ruangan patisserie ini sudah seperti pameran kue tingkat internasional. "Kamu sudah membelinya 5x dalam seminggu kemarin," kataku saat melihat mata Lynx terhenti pada secangkir kecil tiramisu yang terletak di pojok patisserie. "Setiap hari mereka membuat detil yang berbeda," jawab Lynx tanpa menatapku. "Ya tetap saja... tidak berminat untuk membeli yang lain?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Lynx malah mengibaskan tangannya. Aku menghela napas lalu meninggalkan Lynx yang masih berdiri di depan kue tiramisu. Saat aku berada cukup jauh dari posisi Lynx, aku membalikkan badan dan disana temanku sibuk mengetik dengan handphonenya. Memang, dari sejak makan siang hingga perjalanan ke tempat ini, sepertinya sudah lebih dari 10x Lynx mengecek handphonenya. Saat kutanya, Lynx malah mengalihkan pembicaraan sebagai tanda ia sedang tidak mau membahas tentang apa yang sedang dilakukannya dengan handphonenya. Aku pun tidak menanyakannya kembali karena sepertinya moodnya sedang kurang baik. Di ruangan ini hanya ada aku dan Lynx sebagai pengunjung dan 3 orang pramusaji yang masing-masing membawa nampan kayu dan siap melayani. Dengan harga setiap kue yang setara dengan 5x makan siangku, tidak aneh kalau ruangan ini sangat sepi, sehingga tidak ada yang akan terganggu jika aku menghabiskan waktu lama untuk memilih kue. Pandangan mataku menyusuri kue-kue yang terpajang cantik satu per satu. Memang benar patisserie ini menjual dekorasi kue yang berbeda setiap harinya sehingga rasanya tidak akan pernah bosan melihat-lihat hasil seni yang autentik dari berbagai jenis cake, mousse, truffle, praline dan croissant. Bahkan roti isi yang ditaburi garlic sekalipun tampak menarik dengan sentuhan dari seorang profesional. Awalnya aku ingin mengambil Cheese Cake sebagai makanan penutupku, tapi mengingat Lynx selalu ingin mencoba makananku, jadi aku menetapkan pilihan pada Red Velvet Cake yang berada di sebelahnya. Aku menoleh ke arah pelayan yang berada di belakangku dan menunjuk kue yang aku inginkan. Pelayan yang sedari tadi diam mengikutiku dengan sigap mengambil kue tersebut untuk diletakkan ke atas nampan kayu. Karena aku sudah selesai memilih kue, aku memastikan apakah Lynx sudah selesai menggunakan handphonenya atau belum. Dari kejauhan aku melihat Lynx sedang menunjuk beberapa kue dan pelayan lain yang berada di dekat Lynx memindahkan kue-kue tersebut ke atas nampan. Melihat Lynx yang sudah selesai berurusan dengan handphonenya dan seleasai memilih kuenya, aku pun menghampirinya kembali. "Satukan pembayarannya," kata Lynx pada pelayan yang membawa kue pilihanku. Si pelayan mengikuti perintah Lynx dengan memindahkan Red Velvet Cake ke nampan berisi 3 gelas tiramisu yang telah dipilih oleh Lynx. Setelah selesai melakukan pembayaran digital, aku dan Lynx berjalan keluar dari patisserie menuju sofa terdekat diikuti oleh pelayan yang membawakan nampan untuk kami. Lynx duduk di sebelah dalam sofa dekat pembatas tanaman dan aku menyusul duduk di sebelahnya. "Besok aku akan membawakan tiramisu buatanku," kataku santai sambil memerhatikan si pelayan menurunkan satu per satu kue ke atas meja. Selama beberapa detik kemudian aku bisa merasakan pandangan yang sedang mengamatiku dalam diam dari sebelah kanan. Dengan sikap Lynx yang seperti itu, aku tahu bahwa aku harus memberikan penjelasan di balik perkataanku barusan. "Sejak hari Kamis aku mencari-cari resep di internet dan mencoba membuat tiramisu. Aku mencoba karena seorang Lynx yang tidak kunjung berhenti membelinya. Jangan berharap banyak, rasanya masih jauh dari yang sedang kamu makan," lanjutku dengan membalas pandangan Lynx yang tanpa ekspresi. "Aku akan membeli darimu kalau buatanmu sudah hampir menyamai ini. Bahannya aku bisa siapkan," kata Lynx dengan kecepatan bicara yang membuatku curiga. Aku menangkap adanya rencana yang sudah dipersiapkan sebelumnya dari kecepatan pengucapan Lynx yang terdengar terlalu cepat di telingaku. "Wah... sepertinya kamu sengaja membeli tiramisu terus menerus dari minggu lalu untuk menantangku," kataku dengan intonasi menuduh. "Baiklah, aku terima....." Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Lynx memasukkan sesendok tiramisu ke dalam mulutku yang sedang terbuka. Ampun.... anak ini.... "Kamu bisa meminta Jonathan mempersiapkan bahannya untukmu. Mulai dari tiramisu cukup gampang kan?" Kata Lynx dengan nada datar sambil menarik kembali sendok yang kosong dari mulutku. Jonathan adalah driver yang setiap hari mengantar jemput Lynx dan merangkap menjadi personal assistant. "Ngomong-ngomong... sejak kapan kamu tau aku suka membantu Mom membuat kue? Rasanya aku belum pernah memberi tahumu," kataku beberapa saat kemudian setelah yakin Lynx seharusnya tidak tahu aku suka membuat kue. "Sepertinya karaktermu cocok untuk bikin kue," jawab Lynx seenaknya tanpa peduli lawan bicaranya menjadi kesal karena omongannya yang tidak masuk akal. "Alasanmu tidak bisa diterima. Kamu bertemu ibuku saat aku tidak ada ya? Atau..." Lagi-lagi kalimatku terhenti karena Lynx mau menyodokkan kembali sendoknya ke mulutku. Untungnya aku sempat menghindar sehingga gigiku tidak perlu kesakitan saat menggigit sendok stainless seperti tadi. "Hai hai hai, pasangan mesra sejak SMP." Tiba-tiba saja sosok laki-laki berambut cokelat dicepak duduk di seberang tempat dudukku dan Lynx sambil memberikan kalimat sapaan yang membuat bulu kudukku berdiri. "Berhentilah mengucapkan hal-hal aneh seperti itu, Kai," kataku sambil membalas tawa jahil dari Kai dengan pandangan kesal. Kai adalah si ekstrovert tulen yang sering tiba-tiba muncul di berbagai kelompok dan senang menjadi pusat perhatian. Sejak SMP ia berusaha keras mengikuti percakapanku dengan Lynx di setiap kesempatan karena ia penasaran mengapa hanya Lynx satu-satunya orang yang tidak merespon kehadirannya. "Wow! Tiramisu yang terkenal itu. Boleh aku mengambil satu..." kata Kai dengan berusaha meraih salah satu dari gelas tiramisu yang berada di tengah meja. Sebelum Kai berhasil meraih apa yang ingin diambilnya, Lynx lebih dahulu menarik tangan kananku yang masih memegang pisau sehingga ujung pisaunya persis berada 1 cm di depan tangan Kai. Aku cukup syok dengan tangan kananku yang sedang digenggam erat oleh tangan kiri Lynx apalagi setelah menyadari tanganku yang seakan menodong pisau ke arah Kai. Tapi yang membuatku lebih terkejut adalah tenaga Lynx yang sangat kuat saat menggenggam tanganku saat ini. Adegan penuh tekanan itu disaksikan oleh kami bertiga dan beberapa murid yang tidak sengaja lewat : pandangan tajam Lynx kepada Kai, wajah Kai yang ketakutan, tangan Kai yang hampir terkena pisau yang sedang aku pegang. "Ba....baiklah.... aku tidak... akan... mengambilnya.... Lynx.... tenang...," kata Kai menarik kembali tangannya. Perlahan Lynx mengendorkan tangan yang menggenggam pergelangan tanganku dan ia melanjutkan makannya dengan tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Sepertinya yang butuh ditenangkan adalah Kai sendiri dan beberapa murid yang tidak sengaja lewat dan melihat kejadian tadi. Kai dan murid-murid tersebut masih memandangi Lynx dengan mata yang membelalak dan bahkan Kai sampai mengeluarkan keringat di dahinya. "Perbuatanmu sangat tidak sopan, Kai," kataku berusaha menyadarkan Kai yang masih terlihat ketakutan. Kai menelan ludahnya dan mengangguk-angguk dengan pelan. "Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Kami hanya sedang bercanda," kata Kai berusaha tersenyum saat mengusir beberapa orang di samping tempat duduk kami. "Wah... memang benar ya SMP dan SMA berbeda jauh sekali. Kantin di sini benar-benar luas... hahaha... tapi kenapa panas sekali ya? Mungkin AC nya sedang mati." Aku hanya tersenyum geli melihat Kai yang sedang berakting. Mungkin aku pun butuh akting basa basi sepertinya untuk menghadapi murid-murid perempuan yang mengejar Lynx. Ya... mungkin. "Kamu ikut ekstrakulikuler basket lagi?" tanyaku untuk mengalihkan pikiran Kai pada adegan tadi. "Yes! Kamu juga harus ikut, Rui. Sejak SMP tim basket sudah mengincarmu. Kenapa tidak tertarik bergabung?" tanya Kai dengan wajah yang sudah kembali ceria. Sesekali Kai melihat ke arah Lynx dan tanpa perlu aku konfirmasi lagi dengan melihat wajah Lynx pastilah Lynx tidak peduli dengan percakapan yang sedang terjadi. "Ekstrakulikuler terlalu menyita waktu," kataku sambil melanjutkan memotong 1 slice cake menjadi beberapa bagian kecil. Setelah selesai menggunakan pisau, aku menggeser pisin berisi Red Velvet Cake ke arah Lynx dan menaruh garpu kecil dengan pegangan yang mengarah padanya. Dengan garpu kecil lain aku mulai memakan potongan kecil cake dan tanpa sadar Kai sedang memerhatikan gerakanku sedari tadi. "Ada apa ya?" tanyaku setelah beres menelan potongan cake pertama. "Ah... aku hanya penasaran... apa kalian benar-benar tidak sadar bahwa kalian diperhatikan oleh murid-murid lain?" tanya Kai sambil menunjuk cake yang sudah aku potong dengan bola matanya. Bola mata Kai lalu mengarah pada Lynx yang dengan tenang mengambil cake yang telah aku potong dan memakannya. Lalu Kai melihat padaku kembali untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. "Tentu saja sadar. Memang kenapa?" tanyaku balik yang membuat Kai berpikir keras karena merasa belum puas dengan jawabanku. "Maksudku... kalian benar-benar seperti pasangan. Semua orang mengira kalian berpacaran..." "Tunggu.. perkiraan itu dari semua orang atau dalam pikiranmu saja?" tanyaku memotong perkataan Kai karena aku tahu lawan bicaraku ini sangat mudah menambahkan bumbu ke dalam setiap kalimat yang ia ucapkan. "Ya... itu pikiranku saja. Tapi banyak yang sudah bertanya-tanya hubungan kalian itu seperti apa. I swear! Mereka benar-benar bertanya-tanya," kata Kai memperlihatkan dua jari yang membentuk V. "Ya hak mereka juga sih mau berpikir seperti apa," kataku masih dalam intonasi yang tenang dan tidak merasa terganggu. "Dan bahkan kalian berdua sudah terkenal di angkatan kelas 2 dan 3. Berita tadi pagi itu cepat menyebar loh..," kata Kai yang membuatku mengaitkan pembicaraan ini dengan Manna, gadis yang ingin mengajak Lynx makan siang tapi ditolak olehku. Walaupun saat ini aku tidak merasa terganggu, tapi pikiranku mulai bertanya-tanya sendiri. Bila banyak orang yang salah paham dengan hubunganku dan Lynx, kira-kira kemungkinan apa saja yang akan merugikan kami? "Apa saja yang kamu dengar?" tanyaku setelah memutuskan untuk menggali informasi lebih dalam dari seorang pembawa dan penyebar informasi di depanku ini. "Manna, si sekertaris OSIS ingin mengajak Lynx makan siang. Tapi temannya yang bernama Rui menghadangnya. Sepertinya Lynx dan Rui mempunyai hubungan khusus," kata Kai dengan mimik yang serius dan volume yang lebih pelan dari sebelumnya. "Begitulah! Anehnya rumor itu terus menerus terdengar dari sejak hari pertama hingga sekarang. Bukannya kalian harus berhati-hati?" "Apalagi yang kamu dengar dari orang-orang?" tanyaku kembali kemudian memasukkan potongan cake lain ke dalam mulutku. "Sebagian murid yang sama-sama dari SMP Johnson seperti kita mungkin sudah terbiasa dengan kalian. Tapi ada beberapa murid lain yang sepertinya memprovokasi dan menggali informasi dari teman-teman SMP kita. Seperti mengatakan 'lihat saja mereka bahkan suap-suapan di kantin', 'mungkin saja mereka sudah melakukan peeep dan peep', 'orang yang mengikuti Lynx itu seperti pelayannya yang mau melakukan apa saja yang disuruh..' " Cerita Kai sempat terhenti sesaat karena tiba-tiba suara sendok yang bersentuhan dengan gelas kaca terdengar lebih keras dari sampingku. Entah Lynx sengaja membunyikannya atau tidak, tapi aku bisa melihat ada jeda beberapa detik yang tidak biasa sebelum ia memakan gelas tiramisu keduanya. Kai yang tidak merasa ada yang aneh kembali melanjutkan ceritanya sedangka aku masih memerhatikan Lynx sehingga tidak mendengar beberapa kalimat yang dikatakan oleh Kai selanjutnya. "....jadi... daripada kalian membuat orang lain salah paham, bukankah sebaiknya masing-masing dari kalian mulai berpacaran dengan perempuan?" tanya Kai sambil memerhatikan wajahku dan Lynx satu per satu. Di balik basa-basi yang dilontarkan oleh Kai, aku bisa merasakan perhatian yang cukup tulus dari ucapan dan ekspresinya kali ini. Baru saja aku membuka mulut untuk membalas ucapan Kai, Lynx tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya sambil menggenggam handphone dan dompetnya di tangan kanan. "Aku mau ke kelas," sahut Lynx ke arahku. Aku pun ikut beranjak dari tempat duduk dan mundur selangkah memberi ruang untuk Lynx keluar. "Terima kasih atas informasinya, Kai," kataku sambil tersenyum singkat, mengambil handphone dan dompetku di atas meja, lalu meninggalkan Kai dan sisa kue yang belum termakan. Saat aku berjalan menyusul Lynx di depanku, aku bisa melihat beberapa pasang mata yang sedang tertuju kepada kami. Saat SMP pun kami terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini dan aku tahu pasti mereka tidak berani macam-macam karena Lynx cukup ditakuti oleh murid lain. Tapi sejak hari pertama menjadi siswa SMA, intuisiku berkata akan ada sesuatu yang berbeda kali ini. Memang benar yang dikatakan Kai itu bukan hanya sekedar omongan yang akan hilang dalam sehari dua hari. Aku sudah menyadari bahwa ada yang mengamati gerak gerikku dan Lynx sejak awal. Sudah beberapa orang sengaja menabrakkan badannya padaku selagi berjalan dan ada yang terang-terangan memandangiku dengan senyuman yang penuh arti dari kejauhan. Tapi aku belum pernah mendapatkan masalah yang serius, jadi semuanya kupendam saja sendiri tanpa memberitahu siapa pun termasuk Lynx. "Tanganmu baik-baik saja?" tanya Lynx saat aku sudah mensejajarkan langkah dengannya. "Yeah... moodmu sepertinya kurang baik hari ini," kataku melihat wajah Lynx yang walaupun tanpa ekspresi tapi aku tahu dia sedang kesal. "Ayahku kembali hari ini." Jawaban Lynx singkat tapi sudah cukup menjawab pertanyaan mengapa mood Lynx tampak buruk hari ini. "Katakan pada ibumu aku akan menginap malam ini." [EXTRA] "Kalau memang tidak akan dihabiskan kan tidak perlu menodongkan pisau seperti itu," ujar Kai dengan nada kesal sambil mengambil gelas tiramisu yang masih utuh lalu beranjak untuk mengambil sendok. "Yaampun, ini tiramisu ter enak yang pernah kumakan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD