XXXL 7 Aurora ~ Lucky or.. Disaster

1475 Words
Aku tersentak merasakan tubuhku terdorong ke tembok. Tubuhku nampakt tak berdaya efek dari minuman yang kuminum tadi. Aku yakin otakku tidak berfungsi dengan normal sekarang. Ciumannya membuatku terlena. He’such a good kiseer. Damn. Aku  lepas kendali saat pria itu menekan tubuhku dan terus memperdalam ciumannya. Tangan yang  yang awalnya mengepal di depan d**a pria itu mulai terbuka dan menyentuh kedua lengannya  yang berada di sisiku.  Entah mengapa, aku merasa tak berdaya. Ciuman hangat ini seakan  mampu dengan cepat melumpuhkan kinerja saraf-saraf otakku Batinku mengatakan bahwa ini salah, namun otakku seakan tidak ingin mengikutinya. Aku meruntuki diriku yang dengan berani membalas ciuman pria itu. Kesadaran mencapaiku saat merasakan tangan pria itu mulai meraba pantatku, seketika itu aku mendorong tubuhnya kuat lalu menamparnya dan pergi tanpa sepatah katapun.Dada kiriku sakit. Bagaimana mungkin pria itu dengan berani menyentuh pantatku?. Aku masih wanita terhormat, bukan seorang p*****r yang menjajakan diri mereka kepada lelaki hidung belang.  Dengan cepat aku berlari menjauhi  pria itu yang terlihat syok akibat tamparan yang ku berikan. Wajahku merah padam saat mendekati Astrid dan Mia dan menarik mereka dari kursi bar yang aku duduki tadi. Kedua sahabatku ini menatap bingung melihat emosi yang nampak jelas diwajahku. Mereka hanya diam dan mengikuti permintaanku untuk pergi dari klub ini. Raut-raut kekhawatiran terlihat di wajah mereka sepanjang perjalanan pulang. Raut bersalah karena telah membawaku kesini membuat suasanana diantara kami menjadi hening. Aku yang tak dapat menahan emosiku mulai menangis sesegukan. Pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa aku bisa menangis seperti ini terus keluar dari mulut sahabatku tidak ku gubris. Seolah tau aku sedang tidak ingin di ganggu mereka hanya bisa berdiam diri sembari melirikku dari kaca dashboard. Keesokan paginya Aku terbangun dengan rasa sakit di seluruh tubuh. Mataku menerjab menatap sekeliling tempat tidur yang terlihat lengang tanpa kehadiran kedua sahabatku. Aku tersenyum lemah melihat mini dress yang malam tadi aku kenakan telah berganti dengan piyama yang sengaja ku bawa. Astrid dan Mia memang selalu mengerti diriku. Bahkan make up yang ku pakai sudah mereka bersihkan. Dengan langkah berat aku mulai berjalan menuju dapur. “Good Morning, sleeping Beauty,” Sapa Mia membuatku terkekeh pelan. Astrid terlihat begitu sibuk membuat sarapan sedangkan Mia menyesap morning Coffe. “Udah enakan?” tanya Mia menyodorkan coklat hangat saat aku duduk di sampingnya. “Makan dulu.” Astrid menyodorkan piring berisi roti bakar dengan telur setengah matang di atas. Aku hanya mengela pelan sebelum akhirnya menggeleng mencoba mengingatkannya tentang diet yang sedang kujalani. “Makan. Kamu butuh tenaga!” perintah Astrid sembari mendelikan matanya membuatku menghembuskan napas kesal sebelum akhirnya mulai memakan makanan yang ia buat. “Mau ngomong?” tanya Mia pelan. Tanganku yang hendak kembali menyuap terhenti. Kugigit bibirku pelan serya berpikir harus kah aku memberitahu mereka tentang semuanya? “Ayolah!, kamu tidak ingat perjanjian kita. No more secret between us.” Helaan napasku kembali terdengar sebelum akhirnya meluncurlah semua kejadian yang terjadi malam tadi. ****** "So, he stole your first kiss?!" pekikMia setelah mendengar semua penjelasanku.  "Dan lomembalasnya?" tanya Astrid antusias. Wajahku kembali memerah mengingat kejadian itu. "Lalu, kenapa Lo nangis kayak gini" tanyanya bingung “He touched my butt. Gue ngerasa seperti wanita jalang saat itu. Dia pasti beranggapan kalau aku w************n, terutama dilihat dari make up dan baju yang gue gunakan." "Jujur, entah pengaruh alkohol atau apa, tapi aku benar - benar menikmati ciuman itu, Sampai tangan brengs*knya memengang itu," ucapku menatap mereka dengan pandangan kosong. “You loved him before?" ucap Mia antusias "Don't be kidding me. We had just met twice, how can i fall in love with him?" ucapku sambil tertawa sumbang. Love? is it true?. ****** “Baru pulang, De?” sapa Bunda dari sofa mengagetkanku yang berjalan mengendap menuju kamar setelah diantar Mia tadi. “Mata kamu kenapa De, kok bengkak gitu?” tanya Ayah yang memeluk Bunda yang menyandar dengan begitu nyaman di bahunya membuatku memandang iri.  “De, kamu dengar ayah nggak, sih?” tanya Ayah kesal melihatku tak menjawab pertanyaannya. “Kamu bertengkar sama Astrid dan Mia?” tanya Ayah sekali lagi membuatku tersadar lalu menggeleng. “M-malem tadi kebayakan nangis abis nonton drama korea, Yah. Makanya mata Ora jadi bengkak kayak gini,” bohongku. Aku tak mungkin mengatakan semuanya kepada Ayah dan Bunda dan memancing pertanyaan-pertanyaan kepo mereka. “Masa anak gadis malam minguan nonton drama korea sih, De? Seharusnya kamu hang out sama kedua sahabat kamu,” celetuk Bunda membuat pandangan mataku kembali menerawang. Pikiranku kembali mengingat kejadian memalukan itu lagi, sehingga membuatku ingin kembali menangis. “De, kamu kenapa sih melamun?” tanya Bunda mendekatiku, lalu mengusap pipi gembulku lalu mencubitnya. “Bunda!, sakit..” rengekku. Ayah dan Bunda terkekeh geli mendengar rengekanku.  “Makanya jangan melamun. Udah ah, kamu masuk kamar trus istirahat, nanti Bunda bawain es sama sendok dingin andalan kamu buat ngompres mata kamu biar nggak terlalu bengkak.” Bunda mendorong tubuhku berjalan menjauhi mereka.  Aku tersenyum lalu menatap Bunda penuh arti. Bunda memang selalu tau apa yang aku butuhkan. Sejenak akudapat melupakan ciuman pertamanya yang telah direnggut oleh pria itu.  “Eh, De,” sapa Bunda menghentikan langkahku menuju kamar. Matanya menatap kedua tanganku yang penuh dengan tas belanjaan dari butik ternama dunia. Bunda kembali berjalan mendekatiku lalu tersenyum penuh arti. “Kamu habis shopping sama Astrid dan Mia?” tanya Bundanya penuh minat. Dengan cepat kujauhkan kantong belanjaanku dari Bunda lalu memincingkan mata mengerti apa yang dipikirkan Bunda sekarang. “Bunda, besok aja, ya nanya – nanya nya. Ora capek.” “Bundakan cuma pengen tau kamu habis belanja apa aja sama Astrid dengan Mia, De. Bunda seneng ngelihat kamu pergi belanja kayak gini,” tungkasnya sebel.  “Biarin aja dia istirahat, Bun. Dia besok harus bangun pagi.” Tungkas Ayah menghentikan Bunda yang hendak menarik kantong belanjaanku “Kamu besok setau ayah bakalan ada rapat perkenalan sama Direktur keuangan kamu yang baru, kan?” tanya Ayah yang kujawab dengan anggukan semangat. “Masuk kamar, terus tidur!’  “Siap Bos” ucapku mengacungkan jempol. Dengan cepat aku mulai kembali berjalan menuju kamar sembari bersenandung riang. Ayah dan Bunda hanya bisa menggeleng melihat kelakuanku. Seolah kejadian yang dulu merenggut tawa dan candaku tak pernah terjadi ***** Aku kembali duduk manis di samping kemudi Audi R8 milik abang. Tatapan khawatir abang yang ia perlihatkan membuatku merasa tak nyaman.“Abang apaan sih, ngelihat aku sampai segitunya. Risih tau,” ucapku kesal."Bunda bilang mata kamu bengkak kayak habis nangis, pas pulang dari apartemen Mia, kalian marahan?" tanya BangArman meneliti wajahku. Aku sadar walaupun tampil dengan riasan sempurna seperti sekarang, raut kusut dan mataku yang membengkak tak dapat kututupi. Kugelengkan kepalaku lalu tersenyum geli menatapnya. "Abangkan tau kalau Aku nggak pernah bisa marahsama mereka.”.“Terus?” "Nggak ada terus terus. Ade kemaren cuma habis nonton drama korea sampai malem. Dramanya sedih, trus nangis sampai ketiduran." Mengalihkan pandanganku  ke kaca jendela mobil, Aku tidak ingin abang mengetahui kebohongan yang barusan kulontarkan."Abang udah ketemu Apartemen yang pas buat kamu.” “Beneran?” tanyaku tak percaya. Mataku menatapnya penuh binar seolah baru saja mendapatkan rejeki nomplok. Bang Arman mengangguk, lalu berkata,”Sesuai permintaan kamu. Dekat kantor, privasi terjaga sama yang ada tempat gymnya kan? Kamu tinggal pindah aja minggu depan," ucap Bang Arman sambil terus fokus ke jalan.Aku mulai tersenyum - senyum sendiri membayangkan bagaimana asyiknya tinggal sendiri. "Mau sampai kapan kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Bang Arman menundukkan badannya di pintu penumpang."Eh." Dengan cepat Aku keluar dari mobil Arman. Tanganku merangkul tangan Arman yang tersenyum melihatku yang jadi begitu manja kepadanya. Kudatakan ciuman mesra di pipinyaseraya mengucapkan terima kasih yang dibalas dengan usapan lembut di rambutku.Mungkin bagi orang yang tidak mengetahui Kami bersaudara akan berpikir kami adalah sepasang kekasih yang sedang bermesraan. Tapi aku tak peduli, karena menurutku abang memang kekasih hatiku yang selalu bisa menjagaku kapanpun dan dimanapun aku berada.*****Aku baru saja ingin duduk di kursi kebesaranku sebelum akhirnyanya sebelum akhirnya Rani, asisten pribadiku mengetuk pintu."Mba Aulia, sudah ditunggu di ruang meeting,” ucapnya membuatku tersadar lalu mengangguk kecil.Rani kembali berjalan ke mejanya lalu mulai melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Aku benar-benar kagum dengan perjuangan Rani membesarkan Deeva, putri cantiknya. Entah bagaimana caranya Rani bisa merawat anak itu seorang diri, sehingga menjadi anak sepintar dan seceria Deeva di usianya yang masih muda.Deeva. Gadis kecil yang membuatku jatuh hati sejak pertama kali Rani membawanya kemari. Sikap optimis dan keceriaan yang Deeva berikan kepadanya membuatku bisa menyukainya  dengan mudah.“Ran?”“Iya, Mba.” jawab Rani cepat saat aku berjalan mendekati meja kerjanya.“Kapan – kapan bawa Baby girl main kesini lagi ya. Saya kangen lesung pipinya,” ucapku membuat Rani tersenyum lalu mengangguk.“Nanti saya ajak ke kantor lagi, Mba,” ucapnya sebelum kembali sibuk  dengan berkas-berkasnya yang tertunda.******Perutku tiba-tiba keroncongan saaat aku berjalan menuju ruang meeting. Apel yang aku makan sebelum berangkat tadi ternyata tak mampu menahan perut besarku. Kutekan perutku guna menahan rasa lapar seraya memasuki ruang meeting. Astrid dan Mia tersenyum menatapku dari kursi di depanku diapit kedua manager mereka.Bergegas aku mengambil handophoneku lalu mulai mengetikan sesuatu di grup chating kami. Saking terlenanya berbincang via pesan singkat di salah satu aplikasi chatting itu, sehingga membuatku tak menyadari bahwa rapat sudah dimulai. Direktur utama perusahaan ini, Anton Kusuma memperkenalkan Direktur keuangan yang baru dan menyuruhnya memperkenalkan Diri." Perkenalkan...." Tunggu!!, aku kenal suara ini. Suara  pria yang m***m yang mencuri ciuman pertamaku. Aku mendonggakan kepala. Napasku tercekat, mataku membulat siapa orang yang sedang berdiri di atas mimbar."Saya Alan David Kusuma, Direktur Keuangan Kalian yang baru." Dengan wajah terkejut aku tanpa sengaja menatap wajahnya sehingga membuat mata kami bertemu Dia menyunggingkan senyumnya menatapku sehingga membuatku tersentak. Oh, Tuhan, Ini sebuah keberuntungan atau sebuah bencana buatku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD