XXXL 3 ~ AURORA - WEIGHT DISASTER

2102 Words
Aku menggeliatkan tubuh di atas ranjang Queen size berbentuk bulat yang sengaja kupesan khusus. Mataku menerjab menatap jam weker yang ada di nakas samping tempat tidur seraya menarik pakaianku yang sedikit tersikap memperlihatkan perut gembulku. Pukul 5.30 pagi, saatnya untuk bangun. Dengan rambut yang acak-acakan aku mencoba bangkit. Mataku masih begitu berat untuk di buka, Ingin rasanya aku kembali merebahkan tubuhku di ranjang kesayanganku, jika tidak ingat hari ini masih hari kerja. kukucek mataku pelan, mencoba membuatnya terjaga. Pikiranku mencoba mengingat hari apa sekarangi. Jum'at, berarti Sabtu, Minggu Libur. Aku memekik kegirangan. Hari minggu selalu menjadi hari yang paling kutunggu-tunggu. Dengan cepat aku berjalan menuju kamar mandi sembari menyanyikan lagu korea terbaru yang sedang kugandrungi. Selesai mandi aku masuk kedalam walk in closet, Jum'at berarti hari ini Casual Friday. aku mengambil blouse biru muda yang dipadu dengan cardingan hitam, bawahanya, aku kembali mengenakan celana panjang andalanku, Ku teruskan menyanyikan lagu Korea favoriteku itu seraya mengenakan celana hitam itu. Senandungku terhenti saat merasakan sesuatu berubah di bagian resleting celanaku. Tunggu dulu. Dengan kecepatan tinggi, aku mengambil benda 'keramat' yang ada di bawah ranjang. Tanganku bergetar memengang benda berwarna Pink itu. "Jangan sampai, jangan sampa..," ucapku dengan suara bergetar. Kuletakkan benda itu di lantai, dengan rasa gugup aku mencoba menaiki benda Pink berskala itu, Aku menutup mata seraya berdoa di dalam hati, "Jangan naik, jangan naik," ku rapalkan mantra itu berkali - kali. Perlahan mataku terbuka melihat angka yang tertera di benda 'KERAMAT' ini, Mata ku tercengang melihat Angka yang tertunjuk oleh jarum benda ini. 80 kg!!! ini pasti salah.  "Nggak mungkin 80, minggu kemaren nimbang masih 79, ini timbangannya pasti rusak." Aku tidak percaya dengan angka yang tercantum pada timbangan itu. ku coba sekali lagi timbangan itu, ternyata masih menunjukan angka yang sama. "Kya!!!!!!" teriakku menggelegar ke seluruh rumah. "Kenapa, De?"Bunda panik melihatku yang masih terdiam di atas timbangan. Pakaiannya masih mengenakan apron yang tadi ia pakai. Tangan kananya memegang penggorengan. Bunda terlihat khawatir melihat wajahku yang sudah berubah pucat pasi. "Bunda hiks, hiks, hiks." Rengekku menatap bunda dengan pandangan mata yang patut dikasihani. "Kamu kenapa? Sakit? Luka? Ranjang kamu roboh? Kenapa?!" jerit Bunda panik dengan kata-kata tidak masuk akal miliknya saat melihatku kembali menatap kosong benda keramat yang ada di bawah tubuhku tanpa tenaga. Aku masih menatap nanar benda kecil berskala yang kunaiki sama sekali tidak merespon ucapan Bunda yang terlihat panik. "AURORA!! KAMU KENAPA?!" teriak Rahma membuatku akhirnya tersadar, sontak kakinya lemas lalu terduduk di atas benda itu sambil menangis sesegukan. "Bunda.... Berat badan Ora naik sekilo, Bunda.. hiks.. hiks" "Ye elah, Ra. Bunda kira apaan?” ucap Bunda geli. Beliau menatap timbangan yang sedang kunaiki, matanya terlihat serius menatap benda paling menakutkan untuk ku itu seolah mengerti tindakan histerisku tadi terjadi karena berat badan. "Ya elah, Ra. Baru naik satu kilo aja kamu paniknya udah seperti itu," ucap Bunda santai membuatku menatap kesal. "Hanya 1 kilo?" batinku geram. Mungkin untuk wanita lain itu biasa, namun 1 kilo itu bagi menakutkan untukku. Satu kilo tambahan yang membuat berat badanku menjadi separuh dari berat badan gadis kebanyakan dan membuat ku terlihat seperti ban berjalan. "INI BENCANA!!!" teriakku frustrasi mengacak rambut panjangnya geram. "Ada apa, bun? Kok, Ade kayak orang frustrasi gitu?" celetuk Bang Arman, abang satu-satuku yang bersandar di pintu kamar. "Kamu kenapa, De?" tanyanya mendekati tubuhku yang masih menangis tersedu-sedu. Aku langsung menghambur ke pelukan tubuh Atletis abangku ini. Abang Arman binggung melihat keadaanku mengalihkan pandanganya kepada bunda yang ada di depannya. "Berat badannya naik lagi katanya, Man Udah, ah bunda mau lanjutin buat sarapan," ucap Bunda meninggalkan kami berdua. Abang Arman terlihat menahan ketawanya mendengar kata- kata yang dilontarkan Bunda."Abang Jahat..," ucapku mencoba mencubit perutnya tapi tidak membuahkan hasil karena Perut six packnya membuat cubitanku hanya tak bisa mengenai dagingnya. Aku mendongakkan kepala kembali memperhatikan wajah tampan abangku ini.  Dengan tinggi 180 cm dan berat badan yang proposional menyebabkan banyak perempuan tertarik padanya, hidung mancung,bola mata berwarna hazel,rahang yang tegasmembuatnya sangat menarik. Kualihkan pandanganku menatap badannya Kemeja Fit Body dengan ujung lengan yang sengaja ia gulung hingga ke lengan membuatnya terlihat begitu tampan, belum lagi rambut ikalnya yang ia sisir dengan rapi membuatnya terlihat seperti bintang film Hollywood. Liam Hemsworth aja kalah, pikirku “Kamu kenapa?” tanyanya membalas erat pelukanku. “Ora kan mau badan kayak gitu, Bang" tunjukku pada pigura berisi fotoku bersama Astrid dan Mia yang sedang asyik tertawa. "Ya elah, De. Tiap orangkan beda – beda," ucap Abang seraya mengacak rambutku. "Menurut abang kamu udah seksi kok, De.  Cuma, emang agak gemuk aja..,” goda Abang membuatku kembali meradang.. "Tuh kan, Abang jahat banget ma Ora." ucapku sambil memukul dadanya. "Sakit dek.Udahah nangisnya, jelek tau. In liatin mata sama hidung kamu merah gitu." ucapnya sambil memalingkan badanku menghadap cermin yang ada di meja rias. Aku melihat pantulan diriku yang ada dicermin itu, mata dan hidungku yang merah, belum lagi rambut merah maroonku yang berantakan. it's so terrible. "kamu siap - siap dulu deh, De.Udahditunggu ayah ma bunda di meja makan tuh. Entar kita lanjut lagi. Abang kangen ma Ade soalnya," ucap Abang seraya meninggalkanku. Aku pergi ke kamar mandi untuk memcuci muka, lalu kembali duduk di meja rias untuk menyisir rambut ikalku,menyapukan foundation,memberi dandanan kepada kedua mataku agar tidak kelihatan habis menangis, sentuhan terakhir aku berikan sapuan lip gloss rasa coklat pada bibirku. Tak lupa ku semprotkan parfurm Aroma coklat, kesayanganku Hadiah dari Bang Arman.  Kulangkah menuju ruang makan seraya menatap ayah, bunda dan bang Arman sedang asyik bercengkrama sambil memakan sarapan mereka. Aku duduk dihadapan bang Arman. Mataku membulat tak percaya melihat menu sarapan yang dimasak Bunda. Omelette, roti bakar, Nasi Goreng. Oh my God, ini bener - bener menggugah seleraku. Dengan semangat aku membalik piring dan bergegas mengambil Nasi goreng, saat tanganku hendak mengambil nasi goreng ingatan terntang berat badanku yang naik menghancurkan keinginanku untuk mengambil nasi goreng itu. kuletakkan kembali piring itu dan lebih memilih meminum air putih yang disediakan. "Loh, kok nggak jadi ngambil, Ra?" tanya ayah sambil memandangku heran. "Nggak ah, Yah. Ora mau diet mulai hari ini" "Masa, kamu beneran mau diet, Ra?" tanya ayah meragukan ucapanku, "menurut ayah, kamu udah cukup cantik dan seksi lo, cuma memang agak sedikit... lebar aja." ucap ayah sambil membuat simbol 'sedikit' dengan jarinya. "Tuh kan Ayah dan Bang Arman sama aja, Jahat ma Ora,” ucapku marah. " Ayah, Bunda sama bang Arman nggak ngerti perasaan Ora, sih. Lihat aja, Ayah sama Abang badannya propsional dan tegap gitu,"ucapku menunjuk kedua orang yang sangat ku sayangi itu. Ayah di usianya yang mendekati pertengahan 50 tahun itu masih tegap dan sehat. “Bunda juga, badannya masih Oke gitu walaupun udah hampir 50 tahunan," ucapku sambil memandang bunda yang berdiri di samping ayah dengan pandangan Iri. Di usianya bunda masih keliatan muda, dengan badan yang bikin semua ibu - ibu di Indonesia gigit jari. "”Bunda, bunda ngidam apa sih dulu?" tanyaku pada Bunda yang sudah duduk disamping ayah sekarang. "Ora kok nggak ada mirip - miripnya sama kalian semua sih. jangan –jangan.." ucapku mengantungkan ucapanku membuat semua orang mendekatkan wajahnya ingin tau “jangan - jangan apa, Ra?" ucap bunda hendak menyendokan nasi goreng ke piringnya. "Ora, bukan anak kandung kalian, ya?" ceplosku.  Plak Aku merasakan sendok nasi yang dipegang bunda tadi mendarat dengan mulus ke dahiku. "ADUH Bunda, SAKIT!!" teriakku sambil mengelus dahikuyang menjadi korban dari pukulan sendok yang ada di tangan bunda tadi. "Kamu tuh kalau mau ngomong, mbok ya dipikir dulu, jangan ngomong macam - macam deh." ucap bunda marah, yang kubalas dengan aksi diam seraya menatap sebal bang Arman yang tertawa ngakak melihat aksi brutal yang Bunda lalkukan tadi. Aku mendesis kesal kepadanya yang dibalas dengan juluran lidah. “Kamu kenapa masih nggak mau ngambil?. Makan!” perintah Bunda tegas sembari mengacak pinggang membuatku menghembuskan napas kesal, sebelum akhirnya menyendokan nasi goreng itu ke atas piring. "Abang tumben pulang ke rumah?" Kuminum air putih untuk melegakan tenggorokan seraya menatap Bang Arman  yang tersenyum menatapku. "Abang kangen rumah, De. udah lama nggak makan bareng kayak gini," ucap Bang Arman membuatku tersenyum. ia memang tinggal di Apartemen dekat Wijaya Company Perusahaan keluarga mereka. Untuk efisien waktu alasan Arman saat ditanya alasannya tinggal di apartemen, padahal aku tau apa yang ada dipikirannya setelah hidup bebas seperti itu. "Kamu pulang jam berapa malam tadi, de? lembur?" Aku kembali mengangguk. "Jam setengah 11 malem baru nyampe rumah. Lagi sibuk mau pemidahan kekuasaan soalnya bang,” jawabku. Sebenarnya aku lembur hanya sampai jam 9 malam tadi, tapi jarak antara rumah dengan kantor yang jauh membuatku mau tak mau pulang larut malam. Ayah dan Abang Arman selalu membujukku untuk keluar dari perusahaanku yang sekarang dan bergabung dengan mereka untuk mengurus perusahaan keluarga kami. Namun, dengan tegas aku tolak. Aku tak ingin ada lagi orang yang meremehkanku hanya karena penampilan ataupun hanya karena anak dari pemilik perusahaan. Aku ingin mereka melihatku sebagai Aulia, orang yang punya kemampuan untuk mengerjakan tugas yang diberikan dengan sebaik-baiknya atau bahkan melebihi ekspetasi. Membuktikan kepada mereka bahwa aku bukanlah Aurora yang dulu. Aurora yang kurang pede hanya karena bentuk fisikku yang berbeda. Karena menurutku dalam pekerjaan yang harus kita miliki adalah Brain, bukan Body. Akhirnya pembuktianku berhasil. Aku berhasil jadi manager keuangan perempuan termuda tanpa bantuan dari kakak dan ayah dan itu membuatku patut berbangga diri atas pencapaian yang kudapatkan. Kutatap jam tangan yang melingkar indah di lengan kiriku. Aku menghembuskan napas kesal saat melihat jam waktu berangkatku sudah telat lima menit, bergegas aku berdiri lalu mengambil laptop dan tas kantor. "Ora pergi dulu," ucapku tergesa mengecup pipi ayah dan Bunda. "Kamu nggak usah bawa mobil. Biar abang anter!" teriak Bang Arman. Ia menghabiskan makannya dengan cepat, lalu mengecup mesra pipi Bunda sebelum akhirnya menyusulku ***** Aku duduk di kursi penumpang mobil Audi R8 menatap Bang Arman yang membuka pintu mobil lalu melajukannya membelah jalanan ibu kota. "Kamu jadi pindah ke Apartemen?" tanya Bang Arman mengalihkan pandnagannya menatapku Aku tau Ia terus memikirkan keputusanku untuk tinggal di apartemen seperti dirinya. "Jadi,” anggukku tegas. “Aurora pengen mandiri. Nggak mungkin kan Ora terus-terusan tinggal sama orang tua. Lagipula, rumah sama kantor Ora terlalu jauh." "Kalau masalah kantor, abang kan pernah bilang kamu pindah aja ke kantor ayah..." "Dan endingnya di bilang nepotisme gitu?" ucapku memotong ucapan Bang Arman. "Bukan disegani, nanti malah bakalan dibilang mentang-mentang anak Bos. Udah badan bulet, belagu lagi," ucapku memancing tawa bang Arman. "Abang tau itu bukan satu-satunya alasan kamu untuk pindah. Bilang sama abang yang sebenarnya?" tanyaBang  Arman membuatku terdiam lalu menggigit ujung bibir. "Ora.." ucapku menggantung. "Pengen kurus," tungkasku cepat lalu menatap barisan gedung perkantoran di sampingku mencoba menahan rasa malu yang tiba-tiba kurasakan. "Kamu... pengen kurus?" tanya Bang Arman tertawa geli, diusapnya air matanya yang keluar karena geli mendengar kata-kata serius yang ku ucapkan. "Terus aja, Bang.Ledek aja,"ucapku mulai kesal membuatnya menghentikan tawanya lalu memandangi tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki.  Bang Arman menepikan mobilnya saat sampai di depan kantorku. Matanya kembali menatapku yang sibuk membenahi barang yang kubawa. "Kamu jangan bohong sama abang, De." "Maksudnya?" tanyaku bingung mendengar ucapannya. "Abang tau kamu dari lahir. Masalah kayak gini nggak akan pernah ganggu pikiran kamu sejak kamu mulai kerja. Kalau kamu bilang masalah ini saat kamu SMA mungkin abang akan percaya, Tapi sekarang.. Jangan harap abang akan percaya," ucapnya menatapku lekat. "Kamu..." ucap Bang Arman menggantung, alu menatapku penuh selidik "...Nggak sedang jatuh cinta, kan De?" tanya Arman sontak membuat wajahku memerah. "Enggak.. enggak kok, Bang." Aku menggeleng mencoba menutupi apa yang sedang kurasakan. Aku bernapas lega saat melihat mobil Bang Arman memasuki halaman depan kantor. "Udah ah, Ora masuk dulu." Kurapikan blouse yang kukenakan dengan cepat lalu mulai keluar dari mobil seraya mengatur napas sebelum akhirnya merubah mimik wajahku menjadi serius saat berjalan ke arah lobby Di dalam hati, aku meruntuki sikap Bang Arman yang bisa dengan cepat menebak apa yang ada dipikiranku. Itu benar-benar membuatku tak nyaman meskipun aku tau dia begitu menyayangiku "ORA!!" teriak Bang Arman membuatku  menghentikan langkah lalu menatapnya yang sedikit berlari mendekatiku.  Ku gelengkan kepala saat mendengar teriakan histeris dari beberapa karyawati kantor yang terpesona melihat ketampanan Bang Arman yang memakai kacamata hitam andalan yang mengiasi wajah tampan yang ia miliki “Dasar sok keren,” desisku melihat gayanya. Tubuhku tersentak saat merasakan tubuh Bang Arman memeluk tubuhku erat. Teriakan para karyawati terdengar semakin keras sehingga membuatku tak nyaman dan berusaha meronta melepaskan pelukannya. "Kamu cantik, De. Tanpa perlu kurus. Abang cuma pengen kamu mendapatkan cowok yang menatap kamu apa adanya, bukan ada apanya. Ngerti?" bisik Bang Arman membuatku terus meronta mencoba melepaskan pelukannya Mataku menatap awas sekeliling. Bagaimana mungkin Bang Arman berani memeluk tubuhku di depan Lobby kantor tanpa peduli dengan pandangan karyawan dan karyawati yang berlalu lalang. "Abang udah ah, malu." Tatapan orang-orang yang melihat membuatku tak nyaman, belum lagi bisikan-bisikan para karyawan di sana membuat suasana menjadi gerah. "Ingat kata-kata abang ya, De." Ucap bang Arman menatap lekat mataku sehingga akhirnya membuatku menghentikan rontaan lalu tersenyum menatapnya. "Tapi, ngomong-ngomong dengan diet. Kayaknya kamu memang perlu diet, De. Badan kamu makin empuk soalnya." Bang Arman melepaskan pelukan lalu dengan berlari menuju mobilnya. Aku memandang kesal Bang Arman yang tertawa geli melihat wajah geramku serata kembali menghela napas sebelum akhirnya masuk ke dalam kantorberusaha tidak memperdulikan beberapa karyawan wanita yang mulai kembali membuatku menjadi bahan gosip mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD