Part 2

2375 Words
Sebagai anak lelaki satu-satunya, Kenzio Emmert sudah digariskan untuk mewarisi Elt Corp. EltCorp adalah perusahaan besar yang bergerilya di sektor elektronik kelas dunia.  Ed yang merasa kesehatannya mulai memburuk, menjadi tidak sabar menguji kebolehan Ken memimpin perusahaan. Umur Ken yang beranjak 24 tahun dengan pembuktian predikat double degree dari jebolan Universitas terkemuka dunia untuk strata magister, membuat ayahnya cukup optimis bahwa laki-laki itu mampu. Ia bahkan bermimpi, dibawah kaki Ken, Elt Corp akan semakin tumbuh progresif. Meski Ken tetap butuh berproses sebelum benar-benar menyandang titel CEO. Namun memimpin Elt Corp bukan ambisi terbesar Ken saat ini. Dan rahasia itu ia tutupi rapat-rapat. Waktu sarapan pagi bersama, Ed sengaja mengundang tangan kanannya bergabung. Dia lah Mr.Milton, lelaki yang akan mengawasi bagaimana Ken menyelesaikan tugas-tugasnya di kantor nanti. Mr.Milton menjelaskan rincian tanggung jawab Ken di perusahaan dan menyerahkan beberapa dokumen pemula yang harus diselesaikan. Ken mengeluarkan gadgetnya untuk mencatat poin-poin yang penting. Konsentrasinya terbagi ketika ayahnya membicarakan Naya dengan salah satu asisten rumah tangga. "Harusnya dia sudah bangun. Well, she wakes earlier than us. Apakah tugas kuliahnya sedang banyak belakangan ini?" suara Ed terdengar khawatir. "Dani, Tolong panggilkan Naya. Make sure she is alright." Salah satu asisten rumah tangga perempuan yang bernama Dani itu langsung naik ke atas. Ken kembali pada Mr.Milton. Sesekali tersenyum mengingat peristiwa di kamar Naya kemaren. Jejak tangannya pasti membekas dileher itu. Ken penasaran bagaimana nantinya Naya akan mengadu pada ayahnya. Normalnya orang lain akan takut. Tapi Ken tidak. Ia tidak takut atau bahkan khawatir membayangkan murka ayahnya. Tidak sedikitpun. Ayahnya bukan suatu halangan untuk menghancurkan Naya. Ken bisa membunuh ayahnya sendiri kalaupun harus. Bukan hal yang sulit untuk mematikan pria yang sudah sakit-sakit. "Selamat pagi ayah." Naya datang mencium sebelah pipi Ed. Hari ini sweater berajut tebal dengan model leher turtle menjadi pilihan Naya dengan bawahan rok mekar. Fashion Naya sangat buruk. Namun Ken bisa memahami  mengapa di cuaca terik begini Naya memilih menggunakan pakaian itu. Ia pasti menyembunyikan lehernya dari ayah.  Bodoh sekali, hal itu tetap saja akan membuat orang curiga. Ken menantikan jenis pertanyaan 'mengapa kau memakai baju seperti itu dicuaca terik begini?' namun Ed menyoalkan hal lain. "Apakah kau sangat sibuk belakangan ini?" Ken nyaris tersedak mendengar pertanyaannya. Ken yang membenci Naya saja merasa sekali keganjalan itu. Berpakaian tebal dalam cuaca terik. Melihatnya saja ikut membuat Ken gerah. Tapi Ed bereaksi seolah itu hal normal. Hanya ada dua kemungkinan, Ayahnya tidak peduli dengan Naya atau memang begitulah Naya sehari-hari. Ken teringat pertemuan pertama mereka kemaren, perempuan itu juga mengenakan sweater kebesaran. Naya tersenyum sembari mengawali sarapannya. "Aku harus membagi waktu kuliahku dengan merajut. Aku mendapat banyak pesanan." "Ken, adikmu ini begitu kreatif. Ia membuat baju- bajunya sendiri." "Benarkah Nay?" Naya mengangguk gugup, menghindari tatapan Ken.  Ken ingin tahu berapa banyak jenis orang yang menyukai bahan rajutan di negeri tropis ini. "Jadi, berapa banyak pesanan baju yang kau terima di bulan ini?" "Dia menerima pesanan selimut. Para pembeli bahkan bisa memilih bentuknya sesuai keinginan mereka lewat internet. Naya hanya merajut baju untuk dirinya sendiri." Kembali Ed memotong. Ken mengganguk. Tidak heran Naya hanya merajut baju untuk dirinya. Baju-baju itu terlalu buruk untuk dibeli. "Mungkin kau bisa membuatkanku suatu hari." Ken pura-pura berminat. "Tidak. Tidak." Lagi-lagi Ed menyela mereka, Naya bersyukur tidak harus mengatakan apapun. "Butuh merajut banyak untuk membungkus tubuhmu itu. Kau hanya akan menyusahkan putriku." Ken tersenyum mendengar jawaban ayahnya yang bernada jenaka. Dalam diam ia menjawabnya.  Aku akan lebih menyusahkannya,ayah. Jauh lebih menyusahkan daripada merajut baju. *** Dua minggu terhitung sudah Ken berada di rumah. Sepuluh dari empat belas harinya dihabiskan untuk bekerja. Tidak tanggung-tanggung. Ia lembur hingga menginap dikantor. Ada sebuah prasyarat yang ia ajukan. Ia mendesak ayahnya supaya merahasiakan identitasnya. Tidak ingin diperlakukan istimewa—begitu alasan Ken. Ayahnya sangat mendukung. Ia langsung memuji keputusan Ken yang dinilai rendah hati. Ken tersenyum geli. Rendah hati tidak ada dalam kamusnya. Ini adalah strategi untuk meyakinkan sang Ayah. Ken yakin dengan cara ini nilai untuk performanya bukan hanya sebatas "bagus" namun "luar biasa".  Bila orang-orang tahu siapa Ken, tentu pekerjaan Ken akan menjadi lebih mudah. Seisi kantor tentu akan menyeganinya. Tapi bila begitu cara Ken membuktikan dirinya, rasanya sangat tidak seru. Ken suka tantangan. Dia ingin membuktikan, bahwa dia memang pantas memimpin EltCorp. Tanpa jalan pintas. Ed pun terkagum-kagum dengan hasil kerja Ken yang nyaris sempurna. Mimpinya melihat Ken memajukkan Elt Crop ternyata tidak salah. Menduduki posisi deputy manager tanpa melalui proses, tentu saja membuat Ken tersudut, Bahkan oleh bawahan yang sudah mengincar jabatan itu sejak lama. Dan Ken sungguh menikmati masa-masa sulitnya saat mereka mengerasi Ken. Ken akan mengingat setiap hal menjengkelkan dari rekan sejawatnya, lalu membalas dengan sesuatu yang lebih keras dikemudian hari. Kesibukan dikantor memang menggeser ambisi besar Ken sesaat. Tapi Ken sudah mensiasati hal itu. Malam ini Ken pun tidak lembur dikantor. Ia menuju sebuah pub ternama, dimana ia sudah membuat janji bertemu dengan seorang teman lama. "Jack." "Kenzi!" Seorang pemuda pirang menyambut Ken penuh semangat. "You good, man?" Ken hanya mengangguk, tanpa basa-basi bertanya balik. Ia kemudian melempar kotak rokok ketengah meja setelah mengeluarkan satu batang. "Jadi, apa yang kau dapatkan?" Tembak Ken sembari mengepulkan asap rokok. "Dia tidak punya seorang teman pun, juga tidak berbicara dengan orang lain. Seperti batu yang tidak dipedulikan." "Berapa lama kau mengikutinya?" "Sudah seminggu. Semenjak kau memintaku, aku segera melaksanakannya." Ken mengangkat alis. "Kau sungguh mengikutinya selama seminggu?" "Aku bersumpah." "Lalu bagaimana mungkin kau tidak menemukan satu orangpun sebagai temannya?" "Dia tidak punya teman, Ken. Sungguh, ini bukan bualan. Aku bahkan membayar seorang gadis diperkuliahannya untuk mengorek informasi ini." "Kau membayar seorang gadis?" "Sebenarnya bukan hanya seorang. Aku punya empat informan. Salah satu dari mereka tidur denganku." Jack terkekeh. Ken menggeleng tak mengerti. "Tidak masuk akal. Harusnya orang-orang tahu hubungannya dengan ayahku kan? Dengan status tersebut harusnya dia punya banyak teman." "Perempuan itu yang membatasi dirinya. Aku tidak tahu apa alasannya." "Jack, kau sudah kubayar dengan harga lebih dari pantas. Dan jawabanmu hanya ini? Aku akan membayar orang lain kalau begini caranya." Jack segera menahan Ken yang sudah ingin pergi. "Ayolah,man. Aku menjalankan misi ini dengan serius. Tapi begitulah kenyataannya. Aku mendapatkan ini sebagai gantinya." Jack mengoper sebuah dokumen. Ken kembali ke kursinya dengan jidat berkerut. "Apa ini?" "Itu segala informasi orang yang bekerja dirumahmu. Keluarga, berapa lama mereka mengabdi, biografi, sampai riwayat penyakit. Semua bisa kau dapatkan disana." Jack mengambil jeda dengan menghisap rokok. Dan kembali melanjutkan. "Gadis itu memang tidak punya orang terdekat diluar. Tapi tidak dirumahmu. Kurasa, teman terdekatnya adalah para pekerja itu. Bahkan sepertinya, gadis itu menggangap mereka selayaknya keluarga. Kau tahu, Dia selalu memilih duduk disamping supir dibanding duduk dikursi belakang." Ken tersenyum puas. Ia mengakui hal kecil ini luput darinya. Ia tahu Jack tidak akan mengecewakannya. Dan Jack tahu, Ken bukanlah pria penyabar. "Aku ingin kau terus mencari kenalan Naya diluar. Aku akan membayar orang lain kalau kau gagal mendapatkan detailnya. Akan kugandakan bayaranmu jika berhasil mendapatkan sesuatu yang menarik." Setelah berhari-hari sejak pertemuan terakhir itu, Jack tetap  belum berhasil membawa kabar yang Ken inginkan. Ken merasa dirinya harus turun tangan. Mustahil diluar sana gadis itu tidak memiliki seorang teman.   "Aku cukup senggang hari ini. Kita harus meluangkan waktu bersama. What should we call it...,a Bro-sis time?" Gagas Ken di perjamuan sarapan pagi. "Bagaimana menurutmu Dad?" "Itu hal yang bagus." Ed mengangguk senang. "Kalian belum sempat menghabiskan waktu bersama." "Jadwalku cukup padat hari ini." Balas Naya. Ia meremas roknya berusaha menutupi kegugupan. "Jam berapa kau selesai? Kakakmu siap menjemput." Dari sudut matanya, Naya bisa melihat senyum Ken mengembang. "Aku tidak yakin hari ini bisa. Tidak bisa kupastikan jam berapa jadwalku berakhir." "Begitu ya?" Ken mengangguk seolah menjawab sendiri pertanyaannya. "Kalau begitu biarkan aku ikut mengantarmu hari ini." "Aku bersama Pak Hary." "So I will come with him." tukas Ken cerdik. Setelah sarapan usai, Naya pamit dengan mencium pipi Ed sementara Ken merangkul Ed sekilas. Ia tidak terbiasa mencium wajah orang lain,sekalipun itu ayahnya sendiri. Pasti sangat canggung. Naya langsung mengisi kursi di sebelah supir dan memberikan roti selai cokelat. Biasanya pak Hary langsung menyantap setangkup roti pemberian Naya, namun mengingat Ken datang bersama mereka, ia pun memilih menyimpannya dahulu. Ia khawatir Ken menilainya buruk.  Naya terlihat leluasa bercanda dengan Pak Hary,supir yang sudah mengabdi delapan tahun pada keluarga Ken. Ken tidak suka sifat ramah Pak Hary ataupun para pekerja dirumahnya. Menurut Ken status mereka tidak layak mengajak bicara seorang majikan. Mereka harusnya berbicara seperlunya saja.  Pak Hary dan seluruh pekerja rumah Ed sudah mengenal tabiat Ken yang berbanding terbalik dengan Naya yang hangat.  Gedung kampus Naya masih jauh dari pandangan ketika Ken meminta Hary meminggirkan mobil. Laki-laki itu menurut ditengah kebingungannya. "Ada apa tuan muda?" "Kau bisa turun disini." Ken menatap Naya tajam. Lalu tanpa bertanya, Naya dengan patuh mengenakan tas ranselnya bersiap meninggalkan mobil. "Tuan,kampus nona masih ja—" Ken mengangkat tangan, tanda tak menerima alasan. "dimana dompetmu?" Lagi-lagi dengan penuh kepasrahan Naya mengeluarkan dompet beruangnya yang langsung diamankan Ken. "Handphone?" Naya mengeluarkan benda itu. Tapi Ken justru tidak mengambilnya, seolah hanya memastikan Naya memiliki benda itu. "Kelasmu mulai setengah delapan kan?" Ken mengamati jam di pergelangan tangannya "So.. you got twenty minutes. Tidak ada angkutan umum melewati jalan ini. Kau harus berjalan kaki, atau minta teman menjemputmu." Butuh tiga kali diperintah hingga Pak Hary mau menjalankan mobil. Ken benci mengulang ucapannya. Dan sejak Naya turun, pria tua itu tak juga berhenti berbicara dan menanyakan apa maksud tindakan Ken menurunkan Naya. "Berapa umurmu pak tua?" Tanya Ken memutus ocehan pria itu. Suaranya terdengar datar ditengah-tengah membaca lembar dokumennya. "Li-lima puluh empat,tuan." Ken melihat ke spion. "Kau tentu menyimpan nomor ayahku bukan? Kirimkan pesan singkat padanya. Katakan kau berhenti. Ganti nomormu, dan jangan pernah lagi menghubunginya." "Tapi tuan muda tidak berhak un—" "Dave dan Fara. Bukankah mereka anak-anakmu?" Kedua nama yang Ken elukan membuat Hary bungkam. "Sudah waktunya kau beristirahat dari pekerjaan ini. Nikmati lah sisa hidupmu. Dave akan mendapat pekerjaan dikantoran sebagai gantinya. Aku tahu dia masih menganggur. Tapi kalau kau menolak bekerja sama...," Ken menggantung kalimat itu sambil mengelus sekitar dagu dan pipinya yang berambut tipis, wajahnya penuh pertimbangan. "Akan kulakukan sesuatu pada Fara. Kau bisa mencobanya kalau tidak percaya. Dan lihat sendiri apa yang akan terjadi pada anak perempuanmu. " Begitulah Ken mengancam. Berhentinya Hary secara tiba-tiba memang sedikit mengejutkan Ed. Jarang sekali ada pekerja rumahnya yang mau mengundurkan diri selain disebabkan sakit dan kematian. Para pekerja itu diberi bayaran diatas rata-rata dari gaji umum pekerjaan mereka. Tapi Ed melihat sisi baiknya pula, dengan Ken yang selalu mengantar Naya setiap pagi, tanpa mengetahui sebenarnya Naya selalu diturunkan ditengah jalan dan terpaksa menempuh kampus dengan berjalan kaki dengan jarak yang bukannya dekat. Dibalik sikap Ken, Naya hanya dapat menyimpulkan Ken yang tidak senang melihatnya menggunakan fasilitas. Dia sadar selama ini hidupnya memang selalu bergantung pada fasilitas Ed.Kemungkinan lainnya, Ken ingin menunjukkan keakraban mereka di depan Ed. Naya tidak keberatan.  Melihat ayahnya yang belakangan berwajah sumringah, Naya ikut senang atas sandiwara mereka.   Setiap kali Ken mengantarnya ke kampus, pasokan oksigen di dalam mobil rasanya semakin menipis . Seperti ada aura dingin yang menguar dari laki-laki itu.   Naya selalu buru-buru meraih daun pintu mobil sebelum tempat biasa Ken menurunkannya bahkan belum terlihat, seolah dia memang tidak sabar diturunkan. Meski Ken terus memandang kedepan, dari sudut matanya dia selalu menangkap gestur tubuh Naya yang sedikit membungkuk sembari menutup pintu mobil, seolah wanita itu mengucapkan terima kasih. Setelah menurunkan Naya pagi itu pun,Ken menunggu lima belas menit sebelum menghubungi seseorang. "Bagaimana dengan pagi ini?" "Dia tetap jalan kaki bos." Suara disebrang telefon menyahut. "Apa yang ia kenakan hari ini?" Ken memastikan Jack benar-benar mengikutinya. "Sweater abu-abu, rok merah." "Kau belum mengetahui teman-temannya?" "For God Sake, Ken. Tidak satu orang pun yang kulihat selama ini." "Kuberi kau seminggu,Jack." "Ken—" Suara Jack terpotong oleh bunyi tut tut tut. Ken baru saja menutup telefonnya. Selama sepekan berikutnya, Ken membiarkan Jack berjalan sendiri. Hal yang terasa aneh ketika Jack yang mulai terbiasa diganggu dengan panggilan-panggilan dari Ken lalu secara mendadak tidak ada yang menggubrisnya.  Hari ini akan menjadi pertemuan terakhir bila saja Jack masih tidak bisa membawa berita yang Ken harapkan. Keduanya membuat janji bertemu di tempat yang sama seperti biasanya. Jack sengaja datang lebih terlambat. Sesekali ia ingin mengerjai temannya yang besar kepala itu. Melihat dari kejauhan tampang Ken terlihat gusar membuat Jack tersenyum.  Para wanita di pub mencoba menarik perhatian Ken dengan terang-terangan melekatinya, yang ditepis pria itu terang-terangan pula. Jack langsung memasang wajah tak berdosa dan merentangkan lebar-lebar lengannya. "Hi ladies!!" Ketiga perempuan disekitar Ken itu langsung menghambur memeluknya. Menyerah juga mereka menghadapi laki-laki arogan itu. "Kau terlambat lima menit." Begitulah kalimat sambutan yang terdengar dari mulut Ken. "Aku datang terlambat. Tapi aku punya berita menarik untukmu." "kau sudah tahu teman-temannya?" "kenapa kau selalu tertarik dengan temannya. Kalau pun dia punya teman, temannya pasti tidak jauh-jauh dari seorang pustakawan." Terang Jack ditengah-tengah cumbuan para gadis. Ia sedikit kewalahan meladeni ketiganya sekaligus. Salah satunya duduk dipangkuan Jack, Yang lain berada di masing-masing sisi Jack. Mereka berbagi tugas, ada yang mengerjai leher Jack,menjilati bibirnya, yang terakhir memijat tubuh bawahnya. Orang-orang di pub ini tidak perlu mengenal nama satu sama lain untuk bisa b******u. "Lalu sudah kau temukan pustakawan itu?" "....,Kalau kutemukan memangnya dia bisa berguna?" "Naya akan mencari perlindungan dikemudian hari. Setidaknya aku bisa tahu kemana harus mencarinya. Siapapun teman yang menolongnya akan ikut menderita." Ketiga perempuan yang masih menggerayangi Jack melemparkan tatapan b*******h pada Ken. Kepribadian Ken yang kejam sama sekali tidak mengurangi rasa tertarik mereka. Mereka bahkan membayangkan dikejami oleh Ken diatas ranjang. Gadis yang duduk paling dekat dengan Ken mengulurkan tangan kearah paha Ken. "Jangan pernah menyentuhku." Ken meninggikan tangannya bersama gelas champagne. Telunjuknya mengacung sebagai bentuk peringatan. Melihat Ken yang lagi-lagi menolak temannya,Kali ini giliran gadis yang duduk dipangkuan Jack yang bereaksi. Ia mencoba mengalahkan suara musik dengan berbisik pada Jack lebih keras. "Apakah temanmu gay?" "Katakan saja begitu." Ken yang masih bisa mendengar pun menanggapi demikian, lalu menambahnya dengan sindiran tajam melalui Jack. "Aku tidak kesini untuk melihatmu bermain dengan para jalang." Para wanita itu tidak terlihat keberatan dengan julukan 'jalang' yang digunakan Ken. "Baiklah. Aku memang belum mendapatkan informasi temannya. Tapi ada hal lain yang menarik." Ken menunggu. "Dia melamar ke sebuah stasiun televisi." Ken tersenyum remeh. "Stasiun televisi sudah seperti ajang audisi. Dia akan langsung tergeser." "Kau salah besar, Ken. Dia diterima." Kali ini senyum Jack yang mengembang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD