Part 3

1318 Words
Lima hari yang lalu, Naya telah melakukan tes wawancara. Ketika keluar dari sebuah ruangan interview, air mukanya tampak lebih murung. Berbeda dari lima belas menit sebelumnya yang masih tampak semangat. Ia ditolak. Padahal sebelumnya, Naya cukup yakin akan diterima setelah giat berlatih. Ia melalui hari-harinya dengan berlatih didepan cermin, sebelum tidur, bahkan saat berangkat kuliah. Hal itu berhasil melupakan keresahannya duduk disebelah Ken selama otaknya sibuk bermonolog. Membayangkan dirinya diinterview dengan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan yang sudah dipelajarinya lewat buku dan internet. Latihannya seringkali dikombinasi dengan komat-kamit bibirnya. Namun Ken tidak pernah menyadari hal itu kemaren-kemaren. Naya tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Ia sudah berusaha melakukan yang terbaik. Ia tidak membiarkan dirinya sedih berlarut-larut. Lagipula, Naya sudah terbiasa menghadapi rasa kecewa. Mungkin stasiun tv memang terlalu sulit diraih. Ia berfikir harus mencoba mengajukan lamaran lagi ditempat yang lebih memungkinkan. Sebuah butik kecil memasang kertas putih mengumumkan 'Butuh Karyawati. Jujur dan berpenampilan menarik' ditulis besar dengan tinta hitam. Naya masuk ke dalam toko dan menemui salah satu penjaganya, seorang perempuan sebaya dirinya. Gadis itu melihat penampilan Naya dari atas ke bawah lalu menunjukkan ekspresi merendahkan. Naya memastikan tidak ada yang salah dengan baju dan rok yang ia kenakan. "Kau bisa meninggalkan nomormu disini. Pemiliknya nanti akan menghubungimu." Naya membungkuk sambil mengucapkan terima kasih. Ia benar-benar berharap bisa cepat bekerja. Ia sudah menabung dari hasil merangkai rajutan. Naya butuh pekerjaan yang bayarannya bisa memenuhi sebuah kamar sewa murah dan layak tinggal sebab tabungannya belum seberapa. Ia harus siap bila sewaktu-waktu Ken memintanya meninggalkan rumah. Ia merasa sangat sadar diri. Sadar dirinya bukan siapa-siapa. Dan juga sangat sadar kebencian Ken atas kehadirannya. Belum lama Naya keluar dari butik, telefon genggamnya berdering, menampilkan sebuah nomor asing. Kemudian terdengar sapaan seorang wanita. Suara itu tidak asing rasanya. Naya kemudian diminta kembali datang ke KlanTv, tempatnya kemaren melamar pekerjaan. Mendengar sebutan KlanTv, membuat Naya lantas mengiyakan tanpa balik bertanya ada keperluan apa sampai ia dimintai kembali. Sejujurnya ia terlalu terkejut. Panggilan tadi rasanya tidak nyata. Masih segar ingatan Naya mengenai penolakan kemaren. Buru-buru Naya mengaduk isi tasnya yang selalu sama untuk memeriksa isinya. Mungkinkah barangnya ada yang tertinggal. Notes, Kotak kacamata,botol minum dan Dompet. Semuanya masih disana. Naya menggeluarkan dompetnya lalu menilik isinya. KTM. KTP. Sebuah kartu asuransi. Foto ibunya bersama Ed. Ia merasa tidak ada satupun yang hilang. Baik isi dompet maupun tasnya utuh.  Naya pun kembali kesana dengan dipenuhi pertanyaan. Ia menyebutkan namanya pada salah satu bagian office dan disuruh menunggu. Tak lama seorang perempuan berwajah tak asing menyambutnya, perempuan yang sama dengan yang mengumumkan kegagalannya kemaren. Pantas saja suaranya terdengar tidak asing ditelefon. Ia dibawa ke salah satu ruangan. Perempuan yang mengantar Naya sempat berbicara sebentar ditelefon. Lalu tanpa panjang lebar, wanita yang belakangan Naya tahu bernama Oliver itu memberikan sebuah bungkusan sembari meminta Naya datang bekerja besok. Sekedar memastikan, Naya menjelaskan bahwa kemaren ia sudah ditolak. Oliver menyatakan bahwa penolakan kemaren adalah sebuah kesalahan.  Naya bahkan berulang kali bertanya untuk sekedar memastikan telinganya tidak salah mendengar. Memastikan bahwa ia benar-benar diterima bekerja, Reflek ia pun memeluk Oliver sekejap dan langsung melepasnya lagi. Ia mengucapkan terima kasih sekian kali. Naya punya pekerjaan. Ia diterima dibagian pembantu umum bahkan dengan seragam kru. Tapi Naya kembali ragu keesokannya. Rasanya bagaikan mimpi. Dia kembali datang ke stasiun tv itu dengan mengenakan pakaian kesehariannya. Kemudian dalam kondisi bingung ia membiarkan pandangannya menyapu langit-langit gedung. Bertanya-tanya apakah mungkin gedung ini sudah resmi menjadi kantornya. Apa dia benar-benar sudah sah menjadi salah satu kru disini. Naya memperhatikan orang-orang berseliweran dengan seragam seperti yang diterimanya kemaren. Ada kebanggaan di wajah orang-orang yang mengenakan seragam itu. Mungkinkah Naya sudah menjadi bagian dari mereka? Mungkin dan mungkin yang lain menyusul memenuhi ruang otaknya. Sampai pada akhirnya suara bass milik seorang lelaki membubarkan kerumunan pertanyaan-pertanyaan itu. "Dimana seragammu Naya?" Disana sudah berdiri sosok pemuda tampan yang tidak asing lagi. Pemuda yang berhasil membuat Naya ingin kabur dan menghilang dari peredarannya. Pemuda yang sejujurnya pernah ia sukai namun juga harus dijauhi. Dialah Alfa Haritz,seorang mantan senior Naya, sebelum Naya memutuskan pindah ke sekolah lain, yang orang lain bahkan tidak pernah tahu dimana. Alfa memberi instruksi dari telapak tangannya yang menengadah, menunjukkan arah sebuah cafe—masih didalam gedung yang sama. Keduanya kemudian duduk berhadapan. Naya memainkan ujung bajunya. Ia ingin sekali kabur darisana. Tapi apalah daya kalau sudah bertemu muka begini. Ia tahu Alfa akan mengintrogasinya. Membayangkan hal itu hanya membuatnya semakin gugup. "bagaimana kabarmu?" "aku baik." "ayahmu baik?" "ayahku baik." Naya mengusap tengkuknya salah tingkah karena Alfa yang mendadak diam. "kau tidak menanyakan kabarku?" terlihat panik, Naya lalu buru-buru menanyakannya. "bagaimana kabarmu?" Salah tingkah itu membuat Alfa tertawa lebar. Dengan ditertawakan, anehnya cukup membuat kegugupan Naya berkurang. Dia kini malah ikut tersenyum. "aku merasa lebih baik begitu melihatmu." tukas Alfa ketika tawanya reda. "Kau menghilang begitu saja." kembali bungkam, Naya tampak tidak ingin menjelaskan apapun. Alfa pun tidak perlu dijelaskan untuk mengerti alasan dibalik itu semua. Laki-laki itu sudah mengerti meski suatu hari nanti berniat akan tetap menanyakannya. "Kau tampak berbeda,Nay. Sangat. Apa kau melanjutkan sekolah diluar?" Naya hanya menggeleng. Ia tampak tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjurus ke arah perubahannya dan hal-hal yang berbau masa lalu.  Jangan sekarang, Alfa. jangan sekarang. Pria itu mengingatkan dirinya dalam hati. "Omong-omong apa kau tahu aku bekerja disini?" "Tidak." Aku Naya. Aku tidak akan melamar kesini kalau tahu. Perempuan itu menambahkan dalam hati. "Apa yang tadi kau lakukan di lobby? kau bekerja disini?" "Tidak. A-aku.. aku menunggu seseorang yang bekerja disini." "pacar?" "bukan" "kau punya pacar?" "tidak." "kenapa kau berbohong Nay?" sesaat Naya fikir kalimat itu ditujukan untuk jawabannya yang terakhir. Tapi kemudian Alfa mengajukan hal lain bersamaan dengan pembelaannya. "aku memang tidak punya." "dimana seragammu?" kedua kalimat itu tercetus bersamaan dari mulut mereka. "Seharusnya kau mengenakan seragam." Alfa memperjelas tuduhannya sekali lagi membuat Naya merasakan dilema, harus mengakui atau menampik. "aku tahu semestinya ini hari pertamamu." Ujar Alfa sembari menyesap kopinya yang mulai dingin. Matanya mengawasi gerak-gerik Naya dari balik cangkir kopinya. Menyaksikan perubahaan air muka Naya yang terlihat terkejut, seperti ia terbayang sesuatu dibalik kepalanya. Adalah kesalahan, ketika seorang staf HRD justru menyerahkan dokumen yang berisi berkas CV dari para pelamar yang ditolak. Nama Kanaya Vashtiqa yang kemudian menjerat pandangan Alfa. Meski nama itu hanya didirikan dari dua kata, serta foto empunya nama pun tampak mengalami perubahan drastis. Alfa tahu dia masih seorang Naya, gadis cantiknya dulu. Bukan hal yang berlebihan bila mengatakan itu suatu kebetulan yang hebat. Seakan Tuhan memang berencana mempertemukan mereka kembali. Perlu melalui tiga kali tes sebelum diterima bekerja di stasiun tv ini. Yang pertama test tertulis, kemudian wawancara dengan tim hire management. Bila berhasil melewatkan semua test itu, barulah pelamar akan dipanggil lagi untuk final test yang berhadapan langsung dengan produser yang kekurangan personil dalam projectnya. Alfa adalah produser itu. Dan akhir ceritanya sudah bisa ditebak, Alfa lantas menyuruh HRD memanggil Naya kembali. Mendadak dipanggil setelah lamaran hari kemaren ditolak memang terasa janggal. Hari ini kejanggalan itu terjawab setelah bertemu Alfa disana. Naya cukup yakin ada peran lelaki itu atas penerimaan dirinya. Pria itu bahkan tahu persis mengenai lamaran dan hari pertamanya. Buru-buru Naya bangkit dari tempat duduknya. "aku punya urusan penting. Permisi.." "mengapa kau seperti ini?" Alfa langsung menahannya. Naya sempat mematung sebelum bertanya lirih. "kau yang memanggilku kesini kan? Kenapa tadi kau pura-pura tidak tahu?" "terus terang, aku menguji kejujuranmu." Naya tidak menanggapi. Ia tampak malu karena ketahuan berbohong. Alfa menarik pergelangan tangan Naya. Berharap perempuan itu bisa melihat keseriusan di wajahnya ketika mengatakan. "Kalau kau menganggapku membawa masalah, hadapi masalahnya. Aku akan ada bersamamu. Pengecut namanya kalau ingin terus-menerus menghindar. Menghindar tidak akan pernah menyelesaikan persoalanmu." Alfa tahu, di masa lalu, dia lah salah satu faktor yang mendorong Naya menjadi seperti sekarang ini. Perempuan itu banyak mengalami kesulitan karenanya.  Tapi yang dulu terjadi, tidak akan lagi pernah terulang. Saat itu, lingkungan mereka belum dewasa. "Kubiarkan kau pergi hari ini, jadi kembalilah besok." tukas Alfa sebelum membebaskan Naya. Kalimat itu memang terus terngiang dan berhasil membuat Naya tidak tenang.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD