Cara Membayar

1193 Words
Najma menghela nafas berat saat menatap dirinya di cermin. Wajah gadis dengan sepasang mata lelah terlihat di sana. Dia sudah membayangkan bagaimana capeknya menjalani hari ini. Berdiri di depan gerbang Black Eagle Corporation hingga siang hari sebelum kemudian dia berangkat ke tempat kerjanya. Sungguh dia lelah sekali. Tapi tak akan menyerah sampai Roger memberinya waktu untuk bertemu. Setengah jam kemudian, dia sudah sampai di sana. Seperti kemarin-kemarin, setiap kali datang dia akan memberikan senyum terbaiknya untuk para satpam yang berjaga di pos. "Pagi pak, mas. Apa saya sudah boleh masuk?" Semua satpam menggeleng dengan cepat. Lalu kembali sibuk dengan tugas mereka tanpa memperdulikan Najma lagi. Beberapa jam kemudian, Najma melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Pukul 11.19. Namun tak ada tanda-tanda para satpam akan mempersilahkannya masuk. Najma mulai lelah berdiri. Maka dia mengambil duduk di tepi trotoar setelah sebelumnya memberi alas duduk dengan selembar tisu agar celana berbahan crincle-nya tidak kotor. Belum sepuluh menit pinggulnya mendarat di tisu tersebut, seorang satpam mendekati. "Dek, doa kamu terkabul tuh." Tapi cara penyampaiannya terdengar tidak ikhlas. Najma yang belum paham, mengangkat wajah demi menatap satpam tersebut. "Ya?" "Barusan aku dapat perintah untuk mengizinkan kamu masuk karena Tuan Roger mau bertemu." Najma berdiri dengan setengah melompat "Benarkah, pak? Benar Tuan Roger ingin bertemu saya?" "Iya. Cepatan masuk!" Najma mengusap wajah kasar. "Alhamdulillah." Lalu lari melewati satpam tadi menuju pintu gedung. Membuat satpam itu geleng-geleng kepala. "Dasar anak keras kepala." Di lobby, Najma bingung. Dia harus kemana untuk bisa bertemu dengan Roger. Resepsionis lalu mengarahkannya untuk masuk ke lift dan berhenti di lantai 10. Setelah mengucapkan terima kasih, Najma langsung mengikuti arahan resepsionis. Singkat cerita, Najma sudah berada di lantai 10 dan bertemu dengan Wilson. "Ikut saya." Hanya dengan satu perintah itu, Najma mengikuti langkah assisten pribadi Roger tersebut. Sesekali dia mengelus d**a untuk menghilangkan kegugupan yang melanda. Maklum dia belum pernah bertemu dengan pria yang bernama Roger itu, apalagi melihat wajahnya. Dia hanya pernah mendengar kalau Roger adalah pria yang ... dingin. Kini langkah mereka sudah berada di depan sebuah pintu kayu mengkilat berwarna coklat muda. Ada papan tipis bertuliskan RUANG PRESIDEN DIREKTUR yang tertempel di bagian atas pintu. Tulisan itu membuat jantung Najma berdegup kencang. 'Tuhan, bantulah aku.' Doanya. Wilson membuka pintu coklat mengkilat itu. Menimbulkan suara derit yang membuat Najma susah menelan ludahnya sendiri karena kegugupannya semakin menjadi. Kedua kakinya lalu bergerak mengikuti langkah Wilson masuk ke dalam ruangan yang... harum, sejuk, dan bernuansa maskulin. "Duduklah." Wilson menunjuk sofa yang berada tak jauh dari pintu masuk dan terletak di sebelah kiri ruangan. Najma mengangguk. Lalu melangkah mendekati sofa sebelum akhirnya mengambil duduk di sana. Dia sempat melirik pada pria tampan yang berada di balik meja kerja. Tidak salah lagi itulah Roger yang dia cari. Tak menyangka saja kalau ternyata masih muda, tampan, dan... berwajah bule. Setelah hening selama beberapa detik, terdengar langkah mendekati sofa. Membuat telapak tangan dan kaki Najma berkeringat dan dingin karena kegugupannya menjadi kian parah. Suara langkah itu lalu berhenti di sofa yang paling panjang di depan Najma. Meskipun menunduk, Najma menangkap sosok yang mengambil duduk di sana. Mereka hanya terhalang oleh meja. "Katakan maksudmu yang begitu ingin menemuiku." Suara itu bernada rendah, tapi entah mengapa terasa mengintimidasi. Najma yang sedari tadi menunduk, kini memberanikan diri menatap wajah pria di depannya. Subhanallah, indahnya ciptaan-Mu. Najma mengedipkan mata demi mengembalikan fokusnya. "Maaf tuan mengganggu waktu. Kenalkan nama saya__" "Langsung saja ke hal yang ingin kamu sampaikan." Roger menginterupsi. Dia tidak suka dengan basa-basi." "Ah, iya." Najma mulai bercerita, bahwa belasan tahun lalu Haji Sulaiman telah memberikan tanah yang sekarang sudah dibangun panti kepada panti asuhan. Tapi karena saat itu kondisi Haji Sulaiman sudah sakit-sakitan dia belum bisa memecah tanah tersebut dan memberikan bagian panti serta membuatkan sertifikatnya. Beliau mengatakan kalau putranya yang akan mengurus pembuatan sertifikat tanah. Namun hingga Haji Sulaiman meninggal, pemilik panti tidak juga menerima sertifikat tanah tersebut. Malah diam-diam putra Haji Sulaiman menjual tanah tersebut. "Bukan hanya persoalan tanah saja, tuan. Ada banyak kenangan di atas tanah itu. Selain kenang-kenangan bersama anak-anak yang pernah tinggal di sana, ada juga kenangan Ibu Aliyah bersama almarhum suaminya. Ibu Aliyah syok berat ketika mendapati kenyataan bahwa dia harus meninggalkan tempat tinggal yang selama ini menjadi tempat berteduh, berbagi kasih sayang, dan mengukir kenangan. Karena itu, saya datang untuk memohon pada anda mengikhlaskan tanah itu untuk kami karena Haji Sulaiman pemilik aslinya sudah memberikan tanah itu kepada kami." Roger tak langsung menanggapi permohonan Najma meskipun dia melihat gadis itu hampir menangis. Dia terdiam lama. Merenungi. Tak mau cepat-cepat mengambil keputusan sembari memperhatikan Najma dari atas kepala hingga ujung kaki. "Sebenarnya mudah saja bagi saya untuk memberikan tanah itu kepada panti jika letak panti ada di paling pinggir." Roger mulai menyuarakan pemikirannya. Yang jadi masalah adalah panti itu berdiri di tengah-tengah tanah itu. Tidak mungkin pembangunan hotel di potong jadi dua, kanan dan kiri lalu di tengah ada pemandangan aneh yaitu, panti?" Ya, benar. Hati Najma membenarkan. Alasan yang dikemukakan Roger masuk akal. Tapi Ibu Aliyah? "Bukan murah aku membeli tanah itu. Puluhan milyar. Kalau aku membiarkan panti itu tetap tegak berdiri di sana karena mengabulkan permintaanmu, maka otomatis pembangunan hotel tidak jadi. Kata lainnya, aku rugi besar. Apa kamu bisa memberi solusi untuk hal ini?" Najma menelan saliva. Tentu saja dia tidak bisa. Untuk mengganti rugi, lebih tidak mungkin lagi. Seumur hidup bekerja juga belum tentu bisa terkumpul uang sebanyak itu. Roger tersenyum miring mendapati diamnya Najma. Lalu dengan gaya angkuh seorang presiden direktur yang kaya raya, dia menyandarkan punggung di penyangga sofa. Lalu menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kiri. "Sampai di sini kamu sudah mengerti bukan?" Najma mengangguk samar. Namun hati belum bisa mengikhlaskan. Pertanyaan Roger barusan seolah memintanya untuk menyerah dan... pulang. Najma mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk dalam. Dengan beraninya dia menatap mata Roger yang tajam. "Maaf kalau ini lancang. E... bagaimana jika anda menjual tanah itu dan membeli tanah yang lain. Tanah panti anda ikhlaskan untuk kami." Kedua alis tebal Roger bergerak ke atas, lalu dia terkekeh. "Sepertinya kamu mau enaknya saja ya? Mana bisa main perintah seperti itu? Kamu pikir aku siapa? Kakak kamu?" Roger mengangkat tangan kanannya ke depan dan mengibas-ngibaskan kelima jarinya. "Sudah, lebih baik kamu pulang. Aku memiliki banyak pekerjaan. Waktuku sudah terpotong untuk meladenimu." Roger beranjak dari duduknya, hendak kembali ke balik meja kerja. Tapi tiba-tiba Najma bersujud di depan kakinya yang membuat langkahnya otomatis berhenti. "Tuan aku mohon kemurahan hati anda. Jika anda mengabaikan ini, kami bagaimana?" Roger memasukkan kedua tangannya ke kantung celana. Mau berjalan tidak bisa karena Najma menghalangi langkahnya. Pandangan dia buang ke dinding ruangan yang terbuat dari kaca. "Mau bagaimana kalian, itu bukan urusanku. Kenapa aku jadi seperti harus bertanggung jawab pada kalian? Harusnya kalian marah pada putra Haji Sulaiman yang menjual tanah itu." "Saya tau, tuan. Saya tau anda tak harus bertanggung jawab untuk ini. Tapi hanya tuan yang bisa membantu kami. Kasihanlah kami, terkhusus Ibu Aliyah yang terbaring di rumah sakit." Roger mendengkus kasar. Dia menyesal telah memberi waktu pada Najma untuk berbicara dengannya karena gadis ini sangat keras kepala. Sepertinya tak akan menyerah sampai dia mengabulkan keinginannya. "Sepertinya kamu sangat memaksa. Agar aku tidak rugi, bagaimana kalau kamu membayar tanah itu dengan tubuhmu?" Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD