Gadis Yang Menarik

1153 Words
"Kita kalah. Kita kalah, Bu. Tuan Roger resmi menjadi pemilik tanah panti ini. Secepatnya kita harus pergi dari sini." Bukan mudah saat Najma menyampaikan ini pada Aliyah, pemilik panti. Tapi mau bagaimana lagi, ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus mereka terima. Namun, dia tidak pernah mengira dampaknya. Rasa cinta yang begitu besar kepada panti membuat Aliyah tak mampu kehilangan. Akibatnya, wanita paruh baya ini langsung lemas tak sadarkan diri. *** BLACK EAGLE CORPORATION. Najma menatap nama itu dengan sedikit mengangkat wajahnya. Maklumlah, tertempel di atas sebuah gedung dimana dirinya kini berdiri di luar pagarnya. Sesudah menyakinkan diri kalau ini benar perusahaan milik Roger, dia pun melangkah masuk ke pelataran perusahaan. Baru beberapa langkah melewati pintu pagar, seorang satpam berjalan cepat ke arahnya. "Eh, dek! Dek! Mau ketemu siapa?" Suara teriakan itu cukup kuat tertangkap oleh indera pendengar. Najma pun menoleh. Langkahnya langsung terhenti begitu mendapati satpam tadi mendekat. "Mau bertemu dengan Tuan Roger, pak." Lugu sekali memang Najma ini. Mengatakan maksudnya tanpa mencari tahu siapa Roger. Menyampaikan ingin bertemu Roger seperti ingin bertemu dengan temannya. Satpam tadi memperhatikan Najma dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilan Najma sungguh tidak menyakinkan. "Memangnya adek sudah punya janji dengan Tuan Roger?" Najma menggeleng samar. Wajah cantiknya terlihat bingung. "Belum, pak. Memangnya harus buat janji dulu kalau mau bertemu sama dia?" "Aduh... tentu saja." Satpam ini seperti orang kebingungan menghadapi Najma. "Tuan Roger tidak bisa ditemui oleh sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa bertemu dia. Memangnya ada keperluan apa sih adek mau ketemu dia?" "Keperluan__" Najma menggaruk keningnya. Tampak sekali sedang berpikir. "__penting, pak. Iya, keperluan yang penting." Apakah dia harus mengutarakan maksudnya pada seseorang yang baru dia temui? "Siapa pun kalau ingin bertemu Tuan Roger pasti bilangnya penting. Nggak penting aja dipenting-pentingin." Nada bicara yang terkesan sinis. Namun ini benar adanya. "Tapi ini beneran penting, pak. Saya tidak bohong." Najma mengatakan itu dengan nada memohon. Takut satpam di depannya ini mengusirnya. Satpam itu berdecak. "Iya, tapi masalah apa? Tuan Roger tidak akan mau sembarangan menemui orang. Apalagi belum membuat janji dengannya. Kedatangan adek ini sia-sia saja kalau tanpa janji." Untuk sesaat Najma terlihat gelisah. Merasa ragu untuk mengatakan perihal sebenarnya pada seorang satpam yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini. Tapi daripada diusir sebelum bertemu dengan orang yang jadi tujuan? "E... ini masalah tanah panti asuhan yang akan dibangun hotel oleh Tuan Roger di atasnya." Najma mulai bercerita. Terpaksa sih. "Kasihan adik-adik saya tidak punya tempat tinggal lagi. Padahal kami membangun panti asuhan di atas tanah itu atas seizin yang punya tanah dan yang punya tanah sudah memberikannya kepada kami. Hanya saja, kami memang belum memegang sertifikatnya dengan alasan tanah belum dipecah-pecah. Katanya putranya yang akan mengurus. Tapi yang terjadi kemudian, yang memberi tanah meninggal. Ternyata putranya tidak amanah. Dia menjual semua tanah ayahnya itu tanpa memperhitungkan kami. Lalu dibeli oleh Tuan Roger. Kira-kira ceritanya seperti itulah, pak. Makanya saya mau ketemu sama beliau. Siapa tau mau berbaik hati untuk kami." Setelah berpikir untuk sekian detik, akhirnya satpam itu memberi solusi. "Begini saja, kamu masuk ke lobby. Bilang resepsionis ingin bertemu dengan Tuan Roger. Lalu ceritakan pada resepsionis cerita yang barusan kamu ceritakan kepadaku. Tapi kamu tidak bisa berharap apapun. Aku tidak yakin Tuan Roger mau bertemu kamu untuk membahas ini. Kalaupun dia bersedia bertemu kamu, paling-paling membuat janji dulu dan tidak hari ini." "Iya, pak. Tidak apa-apa. Yang penting saya diizinkan masuk dan berusaha dulu. Untuk hasil... bagaimana nanti saja, pak." "Ya, sudah. Masuklah!" Setelah mengangguk dan mengucapkan terima kasih, Najma langsung melangkah menuju gedung. Dia mengikuti ucapan satpam dengan mengatakan kepada resepsionis maksud kedatangannya ke perusahaan ini. "Saya coba untuk hubungi assisten pribadinya dulu ya, mbak," tanggapan resepsionis ramah. Jemari lentik resepsionis itu mengangkat telpon, lalu memencet beberapa nomer. Beberapa detik kemudian wanita itu terlibat obrolan di telepon sebelum akhirnya menaruh kembali teleponnya." Maaf mbak, tapi kata Pak Wilson persoalan tanah itu sudah selesai. Itu jelas milik Tuan Roger karena beliau membeli dari pemiliknya langsung dan memegang sertifikat atas tanah itu. Jadi tidak perlu dibicarakan lagi." Najma menggeleng tidak terima. "Tidak begitu mbak. Pemilik aslinya memberikan tanah itu kepada kami. Tapi putranya yang tidak amanah menjualnya pada Tuan Roger. Sehingga kini__" "Mbak, mbak. Saya tidak tau menahu soal ini." Resepsionis menginterupsi. "Pak Wilson mengatakan apapun berdasarkan perintah Tuan Roger. Kalau jawabannya seperti tadi, artinya Tuan Roger tidak mau bertemu mbak." Najma panik. Bahkan sampai kesulitan menelan saliva sendiri. "Terus saya harus bagaimana mbak?" Resepsionis menggedikkan bahunya. "Mana saya tau, mbak. Tapi yang pasti Tuan Roger tidak mau bertemu mbak. Jadi menurut saya , mbak pulang aja. Percuma kan tetap di sini?" Najma tetap berada di tempatnya meskipun sudah diusir secara halus oleh resepsionis. Dari sorot matanya yang sayu tapi tegas, terlihat sekali dia belum akan menyerah. "Gini aja mbak, besok saya akan datang ke sini lagi. Barangkali Tuan Roger berubah pikiran dan mau bertemu dengan saya." Resepsionis menipiskan bibir. "Percuma mbak karena__" "Terserah kata mbak, tapi saya akan tetap datang besok," sela Najma tegas. "Kalau masih tak ada hasil, maka saya akan datang besoknya lagi. Besok dan besok lagi sampai Si Tuan Roger itu mau bertemu dengan saya untuk membicarakan ini." Najma langsung membalikkan badan dan berjalan keluar tanpa menunggu respon resepsionis. *** Najma dikenal sebagian orang sebagai gadis yang polos. Tak banyak tingkah dan tak pernah terlihat menjalin hubungan dengan pria mana pun. Sebagian lagi, mengenalnya sebagai gadis lembut, baik hati, dan ramah. Dia disukai banyak orang karena sifatnya itu. Tapi tak banyak orang yang tahu dengan kepribadiannya yang tangguh dan tidak mudah menyerah. Karena itu, penolakan Roger di hari itu tak lantas membuatnya patah arang. Najma membuktikan ucapannya pada resepsionis. Esok harinya dia kembali datang ke perusahaan yang sama untuk mengungkapkan maksudnya. Meskipun mendapatkan penolakan yang sama seperti kemarin, hari-haru selanjutnya dia tetap datang. Sampai membuat resepsionis capek. "Pak, kalau gadis itu datang lagi, tolong jangan biarkan masuk. Usir saja. Saya sudah capek menghadapinya." Pesannya pada satpam yang menjaga pintu gerbang. Maka sejak saat itu, langkah Najma tertahan di pintu pagar saja. Namun, lagi-lagi Najma belum menyerah pada keinginannya untuk bertemu dengan Roger. Setiap hari gadis itu datang. Tidak diperbolehkan masuk oleh satpam. Berdiri berjam-jam di dekat pintu pagar tak kenal panas dan hujan. Kalau capek berdiri dia akan duduk. Sesekali merengek pada satpam untuk membiarkannya masuk sampai membuat indera dengar satpam lelah. Begitu setiap hari. Najma akan datang di pagi hari ke perusahaan itu dan pergi saat siang datang karena harus bekerja. Membuat para satpam hampir menyerah menghadapinya. Hingga kegigihannya sampai juga ke telinga Wilson. Pria tersebut akhirnya menyampaikan hal ini pada bosnya, Roger. "Jadi begitu?" Ini respons Roger setelah mendengar berita tentang Najma dari Wilson. "Ya, tuan," jawab Wilson dengan kedua tangan di depan. Tangan kiri menangkup tangan kanan. "Gadis yang__" Roger menarik senyum penuh arti di sudut bibir kirinya. "__ cukup menarik." Wilson sengaja diam. Menunggu Roger melanjutkan kalimatnya. "Kalau begitu... jika dia datang lagi besok, bawa dia menemui aku." Wilson mengangguk cepat. "Baik tuan." Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD