Bab 4

1581 Words
Barra Aldair mendesah malas melihat segerombolan gadis yang berteriak kagum mendambakan dirinya. Dirinya keluar dari mobil sport keluaran terbarunya dengan enggan. Sembari menenteng tas punggung hitam miliknya. "Wih, mobil baru!!"                                                Barra memutar kedua bola mata hitamnya mendengar suara yang sangat familiar dari belakang. Ia membalikkan badannya, bersandar santai di badan mobil black nya sembari memandang sosok kuning berjalan yang berjalan ke arahnya. "LaFerrari Aperta." Garrend berdecak kagum, ia menyentuh badan mengkilap mobil Barra, "U$ 2,20 juta. Wow, bolehkah aku meminjam nya Bro?" Barra mendengkus, melirik sinis pada sahabat sedari bayinya, "Jangan kekanakan. Kau bisa meminta kakekmu untuk membelikannya juga." ujarnya datar. Garrend terkekeh, ia merangkul bahu Barra mesra. Mengabaikan tatapan tajam dari sang empunya bahu. Menggiring sang sahabat untuk keluar area parkiran yang ramai akan teriakan siswi yang menyebutkan nama mereka. Berlebihan. "Kau sungguh mendapatkannya dari kakek setanmu? Luar biasa!" Garrend berujar antusias, seolah apa yang di dapatkan oleh Barra adalah suatu yang sulit. Meski memang benar adanya, "Katakan padaku, apa yang membuat kakek serammu itu menghadiahkan mobil sejenis Ferrari itu?" Mata Barra menyorot datar kedepan, memandang koridor sekolah yang mendadak sepi karena kehadirannya. Para murid saling merapat kepinggir saat dua siswa pentolan Lawrence Academy itu lewat. "Barra, jawab pertanyaan ku sialan!" Barra menghela napas, ia menjawab malas, "Tahun lalu aku taruhan dengan kakek dan aku yang menang." "Taruhan apa?" "Bukan urusanmu!" Garrend mencebik, ia menggerutu mendengar jawaban Barra yang tak memuaskan. Sedangkan sang pelaku yang membuat Garrend kesal, dia tetap memasang wajah stay cool dan tak memperdulikan omelan sang sahabat. Barra melepas rangkulan Garrend setelah mereka tiba di depan pintu kelas. Sebelah tangannya terulur, meraih gagang pintu dan membukanya. Namun begitu pintu terbuka, sesuatu di depan menubruk tubuh depannya. "Barra!!" Adaline meringis kala tubuh belakangnya menubruk benda yang lumayan keras. Terlebih bahunya yang terluka berbenturan dengan sesuatu yang diyakininya sebuah kepalan tangan. Benar saja, begitu ia menoleh kebelakang, dirinya ternyata sedang menabrak seseorang. Barra sendiri terpaku di tempat. Hidung tajam nya mencium aroma harum menenangkan yang tercampur dengan bau busuk di tubuh gadis penabraknya. Kedua mata hitamnya bersirobok dengan mata hijau indah milik gadis tersebut. Ia terdiam, seolah seperempat jiwanya keluar dan pergi menyelami mata cerlang itu. Sedang asiknya saling tatap, Adaline terkejut saat tangannya di tarik kedepan. Dirinya yang tak mempunyai keseimbangan yang baik tersungkur di lantai. Hal tersebut mengundang gelak tawa yang beberapa saat lalu sempat teredam oleh kehadiran murid yang di ketahuinya bernama Barra Aldair. Tak menyia-nyiakan kesempatan, teman sekelasnya kembali melempari dirinya menggunakan telur busuk dan tomat busuk. Adaline memekik saat merasakan punggung tangannya di injak oleh seseorang. Ia mendongak, menatap sosok yang menjulang tinggi di hadapannya. Air matanya mengalir dari sudut mata, merembes keluar membasahi kedua pipinya. "Berani sekali dirimu menabrak Barra!" Eliza mendesis tajam, kakinya yang menginjak tangan Adaline di tekannya kuat. Membuat sebelah tangan Adaline lainnya yang bersembunyi di pangkuan gadis itu mengepal erat hingga kuku panjangnya menusuk telapak tangannya sendiri. Darah segar pun tak terelakkan keluar dari sana. Adaline terisak, wajahnya yang penuh kotoran tepung, telur, tomat dan saus pun memerah. Antara menahan marah yang sudah naik ke ubun-ubun dan menahan rasa sakit yang ia derita. Ingin rasanya ia membalas, namun sekuat hati ia menahan. "Kau membuat Barra-ku kotor, sialan! Siapa dirimu yang berani main peluk dengan pangeran sekolah ini?!" Adaline memejamkan mata, suara tangisnya kian keras. Membuat senyum bengis murid di kelas itu terbit dengan lebar. Merasa puas melihat murid baru miskin yang tersiksa. "Dasar lemah!" Eliza mendorong kepala Adaline keras, ia berjongkok di depan gadis itu, mendesis tajam dengan suara yang terdengar menakutkan, "Menangislah yang keras, mungkin saja aku punya sedikit rasa kasihan padamu!" "Suruh saja dia mencium kaki tuan muda Aldair, Eliza!" Trya mengusulkan ide, yang di sambut antusias para murid. "Benar juga." Eliza berdiri, mundur beberapa langkah dari Adaline . Ia menyeringai begitu melihat punggung tangan Adaline yang memar akibat ulahnya, "Cium kaki Barra, murid sampah!" Oloknya. Adaline terdiam sembari terus terisak. Ia menggigit bibir bawahnya kuat. Berusaha menyembunyikan kemurkaannya. Dirinya yang tak jua bergerak membuat Yessy geram, hingga menariknya dan mendorongnya di hadapan Barra. Barra memandang datar sosok yang bersimpuh di kakinya. Mata tajamnya menatap tangan berdarah Adaline. Keningnya mengkerut, apakah Eliza tadi juga membuat tangan kiri gadis itu terluka juga? "Cepat!" Yessy mendorong kasar kepala Adaline. Kemudian ia mundur dua langkah dari gadis itu. Bersedekap d**a sembari menyorot remeh Adaline yang masih menangis tersedu-sedu. "Tuan muda Aldair." Adaline berucap lemah, begitu lemah hingga yang mendengarnya mungkin akan merasa kasihan. Namun sayangnya semua yang ada disana tidaklah punya hati, "M-mohon maafkan saya." "Sekarang cium kakinya, b***h!" Adaline menelan ludah, haruskah ia mencium kaki pria yang tak di kenal nya ini? Bahkan ia tak pernah mencium kaki ayah, ibunya. Luar biasa, ia akan mengingat hal ini selamanya! Adaline merunduk, mendekatkan wajahnya pasa sepatu mengkilap Barra. Tubuhnya bergetar lumayan hebat. Semua orang di sana saling bersorak. Menyemangati hal hina seperti ini. Reaksi mereka sungguh menjijikkan. "Tunggu!" Adaline menghentikan tindakannya sedangkan Barra mundur satu langkah. Mata pemuda itu menatap datar punggung mungil Adaline. Hening merajai untuk beberapa saat. Semua cukup terkejut dengan apa yang di lakukan oleh idaman para siswi tersebut. Terlebih saat pemuda bermata kelam itu mulai melepaskan blazer almamater sekolahnya. "Cuci itu, dengan tanganmu sendiri!" Barra melenggang pergi kebangkunya setelah melempar blazernya di kepala Adaline. Ia mengabaikan puluhan pasang mata yang mengerjap memandangnya. Tak biasanya dirinya melakukan hal ini. Karena biasanya, jika baju pria itu kotor parah, dia akan lebih memilih membeli yang baru dari pada mencucinya. Adaline menarik napas dalam, kepala dan wajahnya yang tertutupi blazer Barra berubah datar. Isak tangisnya pun terhenti untuk beberapa detik. Sebelum kemudian kembali tersedu-sedu. Eliza yang mendengar isak tangis Adaline memutar kedua bola mata amethysnya. Ia melangkah anggun mendekati gadis itu. Dengan senang hati pula ia menendang tubuh Adaline yang masih bersimpuh di lantai. Apa yang di lakukannya di ikuti oleh ketiga teman segengnya. "Cepat pergi dari sini sialan, kau merusak pemandangan!" 000 Angin kencang berhembus menerpa tubuh Adaline begitu ia membuka pintu  rooftop. Menerpa tubuh Adaline yang berbalutkan pakaian olahraga dengan jaket rajut berwarna pink. Rambut setengah basah sepinggulnya terurai bebas di belakang punggung. Keadaan begitu sunyi. Tentu saja, hanya ada dirinya yang berada disana. Adaline melangkah santai menuju pagar pembatas atap. Ia menumpukan kedua sikunya disana. Taman luas sekolahan terlihat sangat indah dari atas. Mengundang senyum kecil terbit dari bibirnya. "Melompat dari sini sepertinya akan menjadi seni yang indah." gumam Adaline dengan suara lembut. Adaline memandang langit yang tampak mendung. Sinar surya bahkan tak terlihat. Hanya gumpalan awan abu-abu yang perlahan bertambah gelap. Hujan akan turun, namun Adaline tetap bergeming di tempatnya. Dering ponsel sedikit membuat gadis bermanik hijau itu terkejut. Ia merogoh saku celananya hati-hati. Mengambil benda pipih kesayangannya. Mendeal tombol hijau yang terpampang di layar ponselnya. "Halo?" "Jauhkan wajahmu dariku Genna!" suara grusak-grusuk terdengar beberapa saat. Membuat Adaline menghela napas lelah, "Halo, Adaline. Kau masih hidup?" "Tidak, aku gentayangan. Baru dua menit tadi aku melompat dari atap sekolah!" "Apa?!" "Kenapa kau berteriak bodoh?!" "Diamlah Genna!" Grusak-grusuk kembali terdengar, diiringi oleh berbagai nama binatang yang di ucapkan oleh dua orang yang bertengkar di seberang ponsel. Adaline mengurut pangkal keningnya menggunakan tangan nya yang memar akibat injakan Eliza. Membuatnya tanpa sadar memekik karena merasa sakit. Dan pekikan itu cukup keras hingga membuat dua sahabat nya yang saling beradu mulut berhenti. "Adaline kau kenapa/Kau tak apa Adaline?" Adaline tak langsung menjawab, ia hanya meniup-niup tangannya yang membiru, "Tidak, hanya tersandung batu." "Matamu kau taruh mana hingga tak bisa melihat batu itu, pink?" "Ku taruh di bokongmu!" "Sialan kau!" Suara tawa sekilas menggelegar di seberang telepon. Sedangkan Adaline dirinya tersenyum tipis.  "Kenapa kalian menelponku? Bukankah kalian masih jam pelajaran sekolah?" tanya Adaline dengan suara kalem. "Biasa girl, kita ada di tempat biasa!" kata Nelva di iringi kikikan centil. Adaline memutar kedua bola matanya bosan, sedikit mendengkus saat tahu tempat yang di maksud dua sahabatnya. "Kau sendiri? Apa tidak ada pelajaran?" "Aku bolos." Adaline terdiam sejenak, "Aku baru saja terpeleset di kamar mandi. Dan sekarang berada di UKS." ujarnya beberapa saat kemudian. "Astaga, sampai kapan kau melakukan ke cerobohan seperti itu!" suara Genna terdengar pasrah, "Lantainya tidak apa-apakan?" imbuhnya yang langsung di sambut tawa cetar Nelva. "Asshole!"  Adaline mengumpat tajam. Membuat tawa kedua sahabatnya bertambah heboh, "Sudahlah, aku mau istirahat!" "Yah, padahal kita ingin sekali berbincang denganmu lebih lama. Kami merindukanmu!" gerutu Nelva. "Sorry Ladies! Obrolan bisa di sambung nanti malam. Aku sibuk!" ucap Adaline sembari langsung menutup panggilan telepon tanpa menunggu jawaban dua temannya. Adaline mendesah lega sembari menyimpan kembali ponselnya di saku. Ia berdecak, merasakan denyutan di bahunya yang kembali terasa. Dirinya lupa tak mengobati luka di bahu kirinya. Adaline melepaskan jaketnya perlahan. Kedua tangannya yang terluka sedikit membuatnya kesulitan. Meski begitu, benda yang terbuat dari benang wol itu bisa ia lepaskan. Kemudian disusul oleh kaos olah raga nya yang ikut ia lepas. Meninggalkan singlet hitam yang tak menutupi kedua bahunya. "Sialan." desis Adaline rendah, ia menyampirkan rambut panjangnya di bahu kanan. Sedikit menengok kebelakang melihat luka di bahu kirinya yang kini membiru, "Keturunan Viollet itu benar-benar berengsek!" Tangan mungil Adaline yang berbalut perban meraba pinggiran luka di bahunya. Matanya kini memandang lurus kedepan. Terlihat begitu tenang. Seolah hanyut dengan angin yang mulai berhembus dingin. "Eliza Viollet kau sungguh jalang k*****t!" umpat Adaline, tubuhnya sedikit bergetar karena ia menahan amarah, "Semoga vaginamu membusuk!" "Aku penasaran, bagaimana reaksi Eliza saat mendengar semua umpatanmu kepadanya," Tubuh Adaline menegang, mendengar desisan lirih di belakang tubuhnya. Ditambah kecupan ringan di bahu nya yang terluka setelah mendengar bisikan rendah itu. Ia membalikkan tubuhnya seketika. Dan langsung terpaku pada mata hitam yang berkilat memandangnya. "Adaline Alonza!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD