Bab 3

1419 Words
Adaline mendesis menahan sakit dan marah. Bau tepung masuk ke indra penciumannya. Gelak tawa dibelakang tubuhnya pun terdengar. Ia menarik napas dalam, kembali menghitung mundur angka 10 sampai 0. "Adaline, kau baik-baik saja?" Suara Momo menyadarkan Adaline. Mata hijau gadis itu terbuka. Manik indah yang bersinar cerlang itu memandang lembut temannya yang menatapnya khawatir. Ia tersenyum, mengangguk pasti sebagai jawaban jika dirinya tak apa. "Oh, adegan romantis sekali!!" Suara tepuk tangan dan pekikan centil dari arah belakang membuat Adaline melepaskan pelukannya. Ia berbalik, matanya menyorot tenang sekumpulan siswi yang biasanya membully Momo. "Si cupu akhirnya dapat teman juga." Yessy menyeringai rendah menatap Adaline, "Cih, tentu saja. Mereka sama-sama miskin." Sorakan lagi-lagi terdengar. Menertawakan keadaan Adaline yang kini tubuh bagian belakangnya penuh dengan tepung. Mengolok gadis berambut merah muda itu dengan sebutan tak manusiawi. Membuat Adaline mengepalkan tangannya kuat. Menahan hasrat untuk menyumpal mulut mereka. Trya mendekat ke arah Adaline. Meraih pergelangan tangan gadis itu dan menyeretnya masuk kedalam kelas. Mendorong tubuh Adaline hingga membentur tembok berhiaskan papan tulis putih. Tak hanya dirinya, Momo pun ternyata juga di seret oleh Jerrica. "Guys, harap diam dulu!!" Eliza angkat suara, ia berjalan anggun di memutari tubuh Adaline. Memandangnya dari atas kebawah. Mengangkat satu sudut bibirnya saat selesai menilainya, "Kita kedatangan teman baru dari kemarin. Bagaimana jika kita menyambut kedatangannya hari ini?" Teriakan setuju yang sangat antusias memenuhi ruang kelas Adaline. Bahkan di antara mereka ada yang menggebrak meja sangking semangatnya. Bersiul menyemangati apa yang akan di lakukan oleh sang ratu kelas. Eliza tersenyum anggun, bersedekap sambil menyandarkan pinggulnya dimeja guru. Menghendikkan kepalanya pada ketiga temannya. Yang disambut senyum dan kikikan centil ketiganya. Mereka berlari ke arah meja bangku masing-masing. Mengambil dua kresek hitam berukuran sedang. Kemudian membagikan isi kresek itu pada teman sekelas mereka yang lain. "Waktunya memberi sambutan guys!" teriak Eliza sembari tertawa. Dan tak memakan waktu yang lama, semua murid di kelas yang menerima isi kresek tersebut melemparkannya kedepan kelas. Kearah Adaline dan Momo. Adaline kembali menarik Momo, melindungi gadis itu dari telur, tepung, tomat, dan sampah lainnya. Membuat seluruh badannya kini semakin kotor. Meski begitu, raut wajah Adaline tetap tenang dan tak terusik sedikitpun. Momo menatap Adaline tak percaya. Matanya yang di bingkai kacamata bulat membulat sempurna. Merasa terharu sekaligus terkejut dengan apa yang di perbuat oleh Adaline. Gadis itu melindunginya. Teman barunya itu menjaganya. Hatinya terenyuh, hingga air matanya kembali merembes keluar. "Jangan menangis, kau bisa membuat mereka semakin puas." bisik Adaline disertai senyumannya. Ia berkali-kali memejamkan mata saat merasakan rasa sakit dari lemparan telur dan tomat busuk. Meski begitu ia tak mengeluh. Justru membiarkan semua melemparinya sesuka hati. Tak memberontak sedikitpun. Setelah merasa dirinya tak di lempari lagi, barulah Adaline membalikkan badannya. Matanya mengedar ke penjuru ruangan. Tatapan matanya begitu tenang. Membuat suasana hening seketika karena terkejut akan reaksi Adaline yang biasa-biasa saja. Karena biasanya, siapapun yang mereka bully, pasti akan berakhir menangis terisak-isak dan memohon ampun. "Uwu, hebat juga murid baru ini. Dia bahkan tak menangis." celetuk Garrend yang memandang Adaline tak berkedip. "Sudah selesai?" Adaline membuka suaranya, begitu tenang. Setenang air di kolam. Pertanyaannya yang terkesan santai membuat semua teman sekelasnya saling melempar padang bingung. Mata Eliza menyipit, ia yang masih bersedekap dan bersandar di meja guru menatap Adaline menelisik. Raut tak suka terpancar jelas di manik amethysnya. Melihat situasi tenang, Adaline tersenyum lebar. Terkekeh kecil sembari membungkukkan tubuhnya, ia pun berucap riang, "Terima kasih semuanya. Aku tidak menyangka kalian akan menyiapkan penyambutan seperti ini. Jujur saja aku sangat terharu. Ternyata kalian ingat hari ulang tahunku. Padahal baru kemarin aku gabung dengan kalian. Kalian memang hebat!" ujarnya sembari mengangkat kedua jempolnya kedepan sembari memperlebar senyumnya hingga deretan gigi putihnya terlihat. Semuanya melongo tak percaya dengan ungkapan Adaline. Mereka kembali melempar pandang. Sangat terkejut dengan reaksi Adaline lagi. Sikap gadis itu yang mudah sekali berubah membuat mereka sedikit bergidik ngeri. Eliza tertawa tak percaya. Ia mendekat ke arah Adaline, memandang rendah wajah polos Adaline yang tampak sumringah. Murid baru itu terlalu bodoh mengartikan apa yang telah terjadi. "i***t!" Eliza mendorong kepala Adaline kasar menggunakan jari telunjuknya. Mata amethysnya menghunus mat hijau Adaline yang memandangnya lugu. "Siapa yang i***t?" tanya Adaline kalem, ia menggaruk kepalanya yang memang gatal. "Tentu saja dirimu!" Trya menyela, ia ikut mendekat ke arah Adaline dan mendorong kepala gadis itu lebih kasar dari sebelumnya, "Kau tidak tahu apa yang kami lakukan padamu?!" Dahi Adaline mengernyit, "Memberiku sambutan kan?" Eliza mendengkus, percuma meladeni ucapan gadis miskin di hadapannya. Ia menatap tajam Adaline, dengan mimik wajah yang serius. "Tidak perlu basa-basi atau berpura-pura bodoh lagi!" desis Eliza tajam. Ia merangkul pipi Adaline dengan jemari lentiknya kasar, "Dengar, kau sudah melakukan kesalahan yang fatal, gadis kampung!" Ada jeda sejenak, keadaan kelas hening. Tak ada yang bersuara sedikitpun. Mereka asik melihat sang ratu kelas yang tengah membully murid baru. "Kau baru saja menabrak Barra dan bersikap kurang ajar padanya. Memangnya kau siapa?" Kening Adaline semakin mengernyit mendengar perkataan Eliza. Sembari menahan sakit, dirinya pun memutar otak. Dan terlintas di otak cerdasnya ketika dia menabrak orang beberapa saat yang lalu. "Ini adalah peringatan bagimu! Jauhi Barra, dan jangan dekat-dekat dengannya. Dia bisa tertular virus miskin kalian. Kalian bukanlah level kami para anak orang kaya! Mengerti!" kata Eliza tajam, ia melepaskan kasar cengkraman di pipi Adaline. Hingga membuat si empunya pipi menoleh kesamping. Adaline terdiam dengan tangan yang mengepal erat hingga buku jadinya memutih. Meski begitu dirinya tak bersuara. Wajah ayunya tampak sedih dengan raut menahan tangis. Tanpa banyak waktu, ia berlari keluar kelas. Meninggalkan Momo yang memandangnya iba. 000 Adaline keluar dari kamar mandi kamarnya dengan tangan yang sibuk mengeringkan rambutnya yang panjang. Gadis itu menghela napas lelah, sudah berkali-kali dirinya mandi sejak pagi setelah di bully tadi. Bahkan dia tadi pagi melewatkan jam pelajaran pertamanya. Namun tetap saja, dirinya merasa bau tak sedap masih menguar dari tubuhnya. "Ini yang ketujuh kalinya aku mandi setelah sore tadi. Bahkan aku sudah menghabiskan setengah botol shampo. Tapi kenapa rasanya masih saja kotor?" erang Adaline jengkel. Menghela napas, Adaline berjalan menuju jendela kamar nya.  Ia membuka pintu jendela. Angin malam menyambut dirinya. Sembari terus mengusap rambut sepinggulnya, Adaline memandang langit yang mendung. Dan tak beberapa lama dari itu, rintikan air hujan mulai turun. Dering ponsel menyadarkan lamunan Adaline. Tangan putihnya terulur, mengambil benda pipih berwarna merah muda itu dari meja belajarnya. Tersenyum kecil melihat siapa penelpon nomornya. Ah, sudah hampir tiga dua minggu ia menonaktifkan ponsel canggih dan baru mengaktifkannya tadi. Sudah pasti banyak orang yang mencarinya. Salah satunya orang yang ada di seberang ponselnya ini. "Halo." "Kemana saja kau sialan?!" Pertanyaan yang di barengi umpatan memancing tawa halus Adaline. Kelakuannya itu malah semakin menambah kekesalan penelponnya. "Jawab pertanyaan ku, b***h. Jangan membuatku menusuk kewanitaanmu menggunakan kayu!" Adaline mendengkus, ia berjalan menuju ranjangnya. Merebahkan diri disana di sertai desahan panjang, "Yang pasti aku tidak berada di pelacuran, Asshole." "Oh, kau sungguh sialan!" Adaline terkekeh, mendengar nada jengkel suara orang yang sangat di kenal nya. Hal yang sangat menghibur. "Adaline!! Kau dimana b******n?!" "Menjauh dariku, Genna!!" Adaline menjauhkan ponselnya dari telinga. Teriakan suara lain membuat telinganya sedikit berdengung. Apalagi saat grusak-grusuk di sertai adu mulut terdengar. Ia memutar kedua matanya malas. Membungkam mulut sampai kedua orang di seberang sana kembali damai. "Kau dimana, pink?" "Kalian selalu saja bertengkar." Adaline mengabaikan pertanyaan Genna, ia tertawa kecil mendengar gerutuan dua sahabatnya. "Jawab kami Adaline, kau ada dimana?" "Aku tidak mau menjawab kalian. Kalian pasti akan menyusul kesini dan memberitahu keluargaku! Terutama kau, Nelva!" Suara kekehan terdengar dari seberang, membuat Adaline mendengkus kesal. "Kami tidak akan memberitahukan Paman dan Bibi." "Tapi kalian pasti akan menyusul kemari." "Untuk itu, pasti." "Kau malah membuat Adaline semakin tak ingin memberitahu kita dia dimana bodoh!" "Ah iya, aku lupa." "Dasar bodoh!" "Tenang, gpsnya dia kan ada!" Adaline kembali memutar kedua bola matanya mendengar pertengkaran kedua sahabatnya. Ia berkata tegas dengan nada suara yang mengancam, "Jika kalian lakukan itu, aku akan benar-benar lompat dari atap gedung!" "Jangan/jangan!" keduanya berteriak dengan pekikan panik. "Aku akan melakukannya jika kalian mencari ku dan menyusul ku!" "Tidak Adaline, aku janji tidak akan melakukannya!" "Benar apa yang di katakan Genna, aku juga tidak akan mencarimu!" Adaline mendesah lelah, ia mengurut pangkal keningnya, "Aku butuh waktu sendiri. Kita masih bisa saling mengabari lewat ponsel. Jangan mencariku!" ucapnya lemah. "Kami mengerti." "Baiklah, aku harus istirahat. Kalian baik-baiklah disana. selamat malam." "Selamat malam pink." "Selamat malam Adaline." Adaline memutuskan sambungan telepon nya. Kemudian ia memejamkan mata. Menarik napas dalam berkali-kali guna meredakan rasa panik yang tiba-tiba melandanya. Setelah tenang, matanya kembali terbuka. Menatap pada langit-langit kamar miliknya. "Maaf membuat kalian khawatir dan repot." gumam Adaline dalam keheningan kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD