Bab 2

1451 Words
Bel istirahat berdering. Semua siswa di kelas Adaline langsung berhamburan keluar. Sementara Adaline sendiri menghela napas lelah. Merasa jenuh dengan tingkah polah teman sekelasnya yang selalu mengganggunya selama sesi pelajaran. Ia menyandarkan diri di kursi sandaran dan memejamkan mata seraya mendongak ke atas. Merilekskan diri. Namun belum pernah percaya, ia di kejutkan oleh gebrakan meja di diterima. Diungkapkan sekarang, berdiri tiga gadis cantik dengan pakaian yang tidak bisa dikembalikan rapi. Tengah mengepung gadis berkepang dua yang membantunya tadi. Mereka merusuh, mulai membully kembali gadis melihat culun itu. "Heh, punya baju ganti ternyata. Masih punya muka juga untuk kembali ke kelas." "Kita ceburin saja ke parit depan Trya. Kita suruh pungutin sampah di selokan." Adaline mengernyitkan dahinya. Sedikit merutuk karena sikap gadis cantik yang memperlakukan Momo dengan buruk. Ia meminta tolong, namun tidak jadi ingat kapan akan apa yang di ucapkan oleh Momo sebelum meminta di bantu tadi. Sebisa mungkin ia harus terhindar dari pembullyan. Dan tidak ikut campur dalam urusan para murid lainnya. Adaline reflek berdiri saat melihat Momo di depan gelas. Lagi-lagi gadis itu di tindas dan di lempari tepung bersama kawanannya. Miris di rasa Adaline, diberikan gelak tawa tak berdosa dari sekumpulan orang yang masih di dalam kelas. Sama sekali tak berniat dan dibatalkan pembullyan tersebut. "Kau layak untuk belajar di sini! Sampah sepertimu itu layak didapat karena mendapat bantuan sampah!" olok gadis bernama Yessy. "Miskin saja sok-sokan sekolah disekolahan orang kaya!" Trya mendorong kepala Momo kasar, hingga membuat kepala gadis itu membentur tembok cukup keras. "Hu, sampah, dasar sampah!" kekeh Jerrica dengan suara centil. Ia bertepuk tangan saat melihat Momo disiram air pel oleh Yessy. "Guys, sudah. Jangan mengurusi sampah itu lagi. Lebih baik kita cari makan!" Eliza yang baru saja selesai berbincang dengan Barra menerima teman-teman. Menendang kaki Momo dengan sepatu hak tinggi. Momo. Ruang kelas menjadi lebih hening. Hanya ada satu grup pria di sisi kiri. Adaline Berjalan Mendekat ke Arah Momo. Ia mengulurkan tangan. Memberi senyuman pengertian pada teman barunya itu. Namun demikian, Momo menampikembali dan membuat Adaline terkejut. "Maaf Adaline, sebaiknya kita jangan saling sapa. Aku tidak mau kau ikut tertindas seperti diriku." bisik Momo sebelum berlalu dari kelas. Adaline terdiam, ia hanya mengikuti arah kemana Momo pergi. Wajah ayunya terlihat sendu dan kasihan. helaan napas kembali keluar dari mulutnya. Dan tatapannya bertaut dengan onyx tajam yang tak sengaja ia pandang. Menghendikkan bahu, ia memutuskan tatapan itu dan berjalan kembali kebangkunya. 000 Adaline  membuka jendela kamarnya setelah ia selesai mandi. Angin malam berhembus sedikit kencang. Selain menerbangkan helaian merah muda Adaline yang setengah basah, angin itu juga membuat tubuh Adaline yang berbalutkan kaos oblong dan hotpant merinding dingin. "Hahh... Para bintang pun hari ini tidak muncul. Mereka pergi kemana ya?" gumamnya sembari memandang langit gelap. Senyum kecil terpatri di bibir Adaline. Ia bersenandung ringan. Sembari memandangi bulan sabit yang bersinar. Mengusir sunyinya malam hari di tengah kesendiriannya. Satu lagu kesukaannya sudah selesai ia senandung kan. Adaline meraih buku yang terletak di meja belajarnya. kemudian duduk di kusen jendela dan mulai membaca buku novel miliknya itu. Dalam hitungan detik, gadis berambut sepinggul itu hanyut dalam bacaan cerita fiksinya. Di tempat lain, Barra menuruni pagar pembatas asrama laki-laki dan perempuan dengan mulus. Pemuda berusia 17 tahun itu memandang sekitar, dan ia menyeringai begitu melihat keadaan yang sepi. Dengan langkah tanpa suara. Dirinya berjalan menuju kamar yang sudah ia ingat. Barra berjalan dengan tangan yang bersembunyi di balik saku jaket hoodienya. Dan langkahnya terhenti begitu dirinya menangkap sosok yang duduk tak acuh di atas jendela. Sosok itu tak menyadari keberadaannya. Tentu saja, dirinya berada di bawah sedangkan sosok itu berada di jendela lantai dua. Mata hitamnya seksama memandang sosok berhelaian merah muda itu dalam remang-remang. Onyxnya menyorot tajam, pada kaki mulus Adaline yang terekspos jelas. Bahkan mata kelamnya itu bisa melihat jelas raut serius sang gadis saat membaca buku yang tidak di ketahui oleh Barra  buku apa itu. Meski begitu, pemuda tampan idaman para wanita itu terlihat tertarik memandang gadis yang hanyut dengan dunianya sendiri. Menyadari apa yang ia lakukan, Barra mendengkus kecil. Ia kembali melanjutkan langkahnya. Berjalan santai ke arah pintu utama asrama putri. Adaline yang merasakan dirinya di awasi mendongakkan kepalanya. Ia melihat kebawah, matanya berpendar ke sekeliling yang dapat ia jangkau. Hingga dalam remang-remang lampu taman asrama, dirinya melihat siluet sosok yang berjalan santai menuju pintu utama asrama. Sebelah alisnya terangkat, namun sedetik kemudian ia menghendikkan bahunya tak peduli. Dan kembali menggeluti buku novelnya. 000 Adaline membuka loker miliknya. Matanya pun langsung berubah malas saat melihat isi loker. Dengan ogah-ogahan gadis itu memunguti satu persatu sampah yang ada disana. Baru dua hari ia masuk sekolah, dan dirinya langsung menjadi sasaran para anak orang kaya. Setelah bersih, Adaline membawa tumpukan sampah itu ke tempat sampah yang tak jauh dari dirinya berada. Memasukkan semua kertas dan plastik bekas makanan disana. Sedikit menggerutu karena tindakan kekanakan para murid yang melakukan hal ini padanya. Adaline menghela napas lelah, ia tersenyum kecil menyemangati dirinya sendiri. Melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk mencuci tangan. Dan ketika dia sampai ditoilet wanita, ia begitu terkejut melihat kondisi Momo yang tengah di bully habis-habisan. "Berani sekali kau menyatakan cinta pada Winter! Cupu sepertimu tidak pantas bersanding dengan keturunan menteri Williom!!" "Sudah cupu, kutu buku, miskin, kampungan, masih saja tebal muka! Kalau aku jadi kau, aku akan berkaca diri selama seratus hari dan berpikir berpuluh-puluh ribu untuk bersanding dengan Winter!" "Dasar dekil! Sudah ayo tinggalkan dia, biar dia mati kedinginan disini!" Ketiga siswi yang membully Momo pergi, dan bersamaan dengan itu Adaline berjalan mendekat ke arah Momo. Ia melepaskan jaket merahnya dan memakaikannya ada Momo yang tampak kedinginan. "Momo, kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir. "Pergilah Adaline, jangan mendekatiku. Aku tidak mau kau menjadi sasaran bully mereka karena aku!" Pinta Momo lemah. Adaline  terdiam, apa yang di katakan oleh Momo ada benarnya. Dirinya tak ingin mendapat masalah yang lebih rumit lagi. Ia ingin tenang. Tapi, melihat teman barunya yang di tindas seperti ini, ia ingin menolong. Ia masihlah manusia yang punya hati nurani dan simpati. Bukan manusia yang melebelkan prinsip 'penderitaanmu adalah bahagiaku.' Dia manusia yang mempunyai jiwa solidaritas. "Lupakan mereka, aku masih bisa menjaga diri sendiri." kata Adaline pada akhirnya, dia bukanlah gadis lemah, bukan pula gadis yang kuat. Tapi dia adalah gadis yang tengah mencoba bersabar, "Yang utama sekarang adalah bersihkan dirimu dan ganti baju. Aku akan mengambil kan nya untukmu. Tunggu disini." Tanpa menunggu ucapan Momo, Adaline bangkit dan berlari menuju loker miliknya. Dan saat di belokan koridor, dirinya yang tak hati-hati menabrak seseorang. Membuatnya mundur beberapa langkah. "Maaf." kata Adaline tanpa melihat siapa yang ia tabrak. Ia pun langsung kembali melanjutkan langkah larinya. "Berani sekali gadis itu." Barra, si korban yang di tabrak Adaline menoleh pada Garrend yang baru saja berbicara. Mata hitamnya menatap datar Garrend sebelum kembali memandang punggung gadis berkucir kuda yang baru saja menabraknya. "Untung tidak ada Eliza, kalau ada aku pastikan dia tidak akan bisa kabur begitu saja." Sai, pemuda dengan senyum menawan ikut bersuara, matanya melirik ke arah Barra yang masih setia bertampang datar. "Ah kau benar, kenapa tidak terpikirkan olehku ya." Garrend menjentikkan jarinya, memandang penuh minat ke arah Barra. "Apa yang kau rencanakan?" tanya Ace, pria itu bersedekap dengan pandangan lurus ke arah Garrend. "Kau akan lihat pertunjukannya nanti." Garrend menyeringai, kemudian ia merangkul Barra  dan mengajaknya kembali berjalan, "Ayo ke kelas!" 000 "Adaline, terima kasih." Adaline mengangguk sembari melempar senyum pada Momo. Ia merapikan kembali tatanan rambut Momo, kemudian memasukkan sisir rambut miliknya ke dalam tas. "Sama-sama." Momo terdiam, ia memandang wajah ayu Adaline dari pantulan cermin. Berdeham sedikit sebelum berbicara, "Sebaiknya kita tidak bersamaan saat masuk kelas." Adaline yang semula menunduk dan sibuk dengan tas merahnya mendongak, memandang Momo yang menatap sendu dan bersalah dirinya. Ia menghela napas, kedua sudut bibirnya pun tertarik ke atas. "Jangan khawatir, tanpa berteman dengan dirimu aku juga menjadi sasaran bully mereka. Kau tahu, latar belakang keluarga kita." jawab Adaline santai. "Tapi.." "Tidak ada tapi, mulai sekarang kita adalah teman. Jadi sudah sepatutnya saling menjaga." Adaline  memperlebar senyumnya, "Jangan khawatir, di sekolahku dulu aku juga sering di perlakukan seperti ini." Momo bungkam, matanya berkaca-kaca. Terharu dengan senyum tulus Adaline. Setelah sekian lama ia sekolah disini. Baru pertama kali dirinya mendapat teman sebaik Adaline. "Terima kasih Adaline." Adaline  terkekeh, "Kau sudah mengucapkannya berkali-kali." Ia menyampirkan tasnya ke pundak sebelah kiri, "Ayo, pelajaran sebentar lagi akan di mulai." Momo mengangguk, ia pun mengulum senyum. Berjalan di samping Adaline. Melangkah santai menuju kelas mereka. Dan kompilasi sampai di depan pintu kelas, berhenti. Saling melihat sebelum akhirnya Momo memutar gagang pintu. Dan pintu kompilasi terbuka, mata Adaline membulat. Tanpa pikir panjang ia menarik Momo dan memeluknya. Lalu, rasa hantaman yang cukup keras dan sesuatu yang mengotori tubuh belakangnya ia rasa. Membuat Adaline menutup mata dan menahan napas. Sekaligus, berusaha menyerahkan kesabarannya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD