Hari Buruk

1204 Words
Namaku Reya, umurku 21 tahun, dan tahun depan saat usiaku menginjak 22 tahun. Aku akan lekas memegang toga. Ya, aku akan wisuda. Tapi, itu hanya sekedar harapanku. Karena nyatanya, saat ini aku hampir mual melihat banyak coretan pada proposal skripsiku. Nasibku sungguh mengenaskan, kenapa aku mendapatkan dua dosen pembimbing yang super duper menyebalkan seperti Bu Resti dan Pak Alan?! Kenapa harus aku?! Kenapa?! Di saat semua teman satu angkatanku mendapatkan dosen pembimbing yang baik hati dan tidak sombong. Aku harus menelan nasib malangku seorang diri, karena aku satu-satunya mahasiswi di muka bumi ini yang paling tidak beruntung mendapatkan dua dosen pembimbing yang terkenal galak, menyebalkan, dan kategori bad lainnya. “Argh! Nyebelin!” seruku, tak peduli lagi dengan tatapan mahasiswa lain yang memandangku heran. “Kamu kenapa? Teriak-teriak kayak orang gila. Ini kampus, bukan hutan.” Seseorang dengan suara baritonnya tiba-tiba terdengar menyengat telingaku. Sontak, aku pun menoleh. Dan—benar dugaanku, suara itu adalah milik salah satu dosen pembimbingku, Pak Alan. “Eh, Bapak,” sapaku dengan senyum yang ku ukir palsu. Nyatanya, di dalam benakku saat ini aku membayangkan dia dan Bu Resti tenggelam di telan badai tornado. Aku harap mereka lenyap, dasar pasangan jomblo nyebelin. “Kenapa senyum-senyum kayak 'gitu?” ocehnya. “Hehehe, enggak apa-apa kok, Pak. Bapak makin ganteng deh hari ini,” pujiku, walau sejujurnya aku sangat mual dengan perkataanku sendiri. “Ck, kamu pikir kalau kamu puji saya seperti itu, saya akan ACC proposal kamu, begitu?” tukas Pak Alan. Pupus sudah harapanku. Demi bulan yang mengelilingi bumi, aku capek kuliah, aku capek! Aku enggak sanggup hadepin Bu Resti apalagi Pak Alan! Huaaa ... Mami! Reya mau nikah aja, enggak sanggup kuliah lagi. “Bapak jangan suudzon gitu dong sama saya. Saya—” “Kamu sudah bimbingan sama Bu Resti, 'kan?” potongnya. “Udah,” jawabku pelan. “Ya udah balik ke tempat kamu sana, ngapain masih di sini?” “Tapi, Pak. Proposal saya?” “Kenapa proposal kamu? Bukannya tadi sudah dicoret-coret sama Bu Resti? Kamu masih mau minta dicoret-coret sama saya juga?” cibirnya. Serius, itu bibir pengen deh aku tampol. Gemes, pengen nyabut jantungnya. Huh! Sabar, Reya. Sabar. “Enggak, Pak. Ya udah, Pak. Saya pamit, permisi,” pamitku yang langsung lari kencang meninggalkan dosen paling menjengkelkan itu. *** Di kantin, aku duduk sambil menatap proposalku yang benar-benar kusut seperti nasibku. Aku menatapnya sembari menghela napas berulang kali, meratapi nasib mengenaskanku dengan penuh melodrama. “Woi, ada apa? Belum siang tapi muka udah kayak kain pel gitu,” sindir seorang teman dekatku, Clara. “Diem deh, Ra. Lo enggak tau ceritanya sih,” keluhku. “Emang ceritanya 'gimana?” sahut teman dekatku yang lainnya, Lala. “Gue kayaknya mau nikah aja deh, enggak sanggup lanjut kuliah,” celetukku. “Lah? Kenapa? Emak sama bapak lo kehabisan dana nguliahin lo?” tanya Clara. Aku menggeleng lesu. Sebagai anak tunggal dengan orang tua yang sama-sama bekerja sungguh tidak masuk akal kalau mereka kehabisan dana dalam hal membayar uang kuliah, kos dan jajanku. “Bukan itu.” “Terus?” tanya Lala. “Gue capek ngadepin Bu Resti yang cerewet kayak terompet, terus belum lagi Pak Alan yang sok ganteng kayak keset WC itu. Mereka berdua nyebelin tau. Gue sampe mau nangis ini,” ujarku yang langsung pura-pura menangis walau tak keluar air mata satu tetes pun. Kedua temanku pun menghela napas beratnya bersamaan. Mereka mengelus punggungku, memberikan dorongan semangat. “Sabar ya, Re. Lo pasti bisa kok dapet ACC dari mereka,” ujar Lala si pintar yang paling optimis di antara kami bertiga. Aku mengangguk, lalu memeluk keduanya, meminta energi semangat dari mereka. “Tapi ya, Re. Saran gue, lo jangan terlalu benci deh sama Pak Alan,” ujar Clara tiba-tiba. “Gimana enggak terlalu benci? Dia nyebelin, lo tau sendiri, Clara,” celotehku. “Ih, dengerin dulu penjelasan gue. Soalnya ... menurut kamus romansa, benci sama cinta itu beda tipis. Tipiiis banget. Bisa jadi nanti lo bukannya benci tapi malah jatuh cinta lagi,” sindir Clara dengan tawa pecahnya. Aku diam, menatapnya dengan bola mataku yang seakan siap keluar dari tempatnya. Clara yang melihat aura membunuhku pun berdehem. Lalu tersenyum dengan cengiran khasnya. “Re, kayaknya gue bakal doain lo sama Pak Alan yang jomblo sejati itu jodoh, aamiin,” ucap Clara yang langsung kabur dengan tawa lepasnya. Aish! Gadis gila itu. Amit-amit deh, jangan sampai omongan Clara jadi nyata. *** Sorenya, aku pulang dari kampus dengan wajah super duper kusut. Aku sangat kesal. Bagaimana tidak?! Seharusnya aku pulang sejak siang tadi. Tapi, Pak Alan dengan tidak manusiawinya menyuruhku datang ke ruangannya untuk mendapatkan bimbingan tambahan. Dan, yang aku dapatkan bukannya bimbingan melainkan ocehannya yang sepanjang rel kereta. Telingaku bahkan sampai mau lepas dari tempatnya. Aku berharap semester tujuh dan delapan cepat berlalu. Aku harus segera wisuda, agar bisa lepas dari dua pembimbing gila itu. Pak Alan dan Bu Resti, sungguh tak ada bedanya. Mereka memang cocok, sama-sama suka menyusahkan mahasiswanya. Huh! Sesampainya di kosanku yang berjarak tak jauh dari kampus, aku melihat ada mobil polisi dan ambulan terparkir di depan gerbang kos. Keningku berkerut, kepalaku pun bertanya-tanya, ada apa ini? “Reya,” panggil seseorang dari sisi kananku. Aku menoleh. Ternyata yang memanggilku adalah Mbak Anjani, perempuan yang satu tempat kos denganku, dia adalah pegawai bank yang merantau dari Solo, Jawa Tengah. “Mbak Anjani,” sapaku, langsung mendekatinya. “Ada apa ini, Mbak? Kok ada mobil polisi sama mobil ambulan di kosan kita?” tanyaku. Mbak Anjani terlihat menghela napasnya, raut wajahnya seketika itu berubah sedih. “Kamu kenal Ririn?” tanyanya. “Mbak Ririn yang baru ngekos dua bulan lalu?” “Iya.” “Oh, kenal, Mbak. Emangnya kenapa Mbak Ririn?” “Dia meninggal.” “Hah?!” “Diperkosa.” “Di ... di apa?! Se ... serius, Mbak?” kagetku, tak percaya. Mbak Anjani menganggukkan kepalanya pelan, “Iya, kejadiannya tadi siang. Kata saksi mata ada laki-laki enggak dikenal masuk ke area kosan kita, kalau dari yang Mbak dengar barusan, dia diperkosa terus dibunuh sama pelaku. Soalnya pas ditemuin sama temennya, dia—kondisinya tanpa busana,” jelas Mbak Anjani dengan raut getirnya. Aku sendiri pun merasa ngilu mendengarnya. “Reya,” panggil Mbak Anjani lagi. “Hm?” “Kalau siang tadi kamu ada di kosan. Mungkin kamu yang bakal jadi korbannya, bukan Ririn,” kata Mbak Anjani. “Ha? Kok bisa aku?” “Soalnya kamar kos kamu yang paling deket sama gerbang. Terus kamar kos kamu juga berantakan. Coba deh kamu liat langsung. Polisi juga pasang police line di kamar kamu. Tadi ibu kos juga telepon orang tua kamu, mungkin sebentar lagi orang tua kamu bakalan jemput kamu. Baguslah. Mbak juga mau pindah, enggak nyaman kalau masih tinggal di kosan ini,” terang Mbak Anjani. Aku syok. Jantungku saat itu seolah berhenti berdetak. Tapi di sisi lain aku merasa beruntung. Ya, aku sangat beruntung tadi siang tidak langsung pulang karena Pak Alan tiba-tiba menyuruhku datang ke ruangannya. Dosen menyebalkan itu—ah! Aku benci mengakui ini, tapi dia secara tidak langsung memang sudah menyelamatkan nyawaku. Baiklah, aku ucapkan terima kasih padamu, Pak Alan. Terima kasih karena ocehanmu sepanjang jalur rel kereta ternyata telah menyelamatkanku dari maut. Sungguh sulit dipercaya, tetapi itulah faktanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD