Dipaska Menikah

1122 Words
Sesuai kata Mbak Anjani. Kedua orangtuaku benar-benar datang menjemputku. Mereka bahkan langsung memboyongku untuk pulang ke Bogor. Sekalipun aku mengeluh ingin pindah kosan saja dan tetap di Jakarta karena besok ada jadwal bimbingan dengan Pak Alan, Mami tetap memaksaku untuk pulang ke rumah. “Mi, Reya harus balik Jakarta, besok ada bimbingan sama dosen Reya yang super duper galak. Kalau Reya sampai enggak temuin dia, Reya bisa-bisa enggak lulus nanti,” keluhku. “Reya, kamu itu bandel ya diomongin. Kamu enggak lihat tadi temen satu tempat kosan kamu meninggal gara-gara diperkosa terus dibunuh? Mami enggak mau anak Mami kenapa-kenapa. Jadi, Mami sama Papi mau kamu—” “Mi, bentar lagi mereka dateng. Buruan suruh Reya ganti baju,” sela Papi yang baru kembali setelah bertelepon ria dengan teman baiknya. “Oh, oke, Pi,” jawab Mami. “Ayo, Reya. Masuk kamar, kamu ganti baju terus dandan. Mami bantuin,” kata Mami. “Dandan? Ngapain dandan, Mi? Ini apa lagi sih? Reya mau balik ke Jakarta bukannya mau dandan,” protesku. “Udah enggak usah protes. Ayo ikut Mami cepetan, keburu mereka dateng nanti,” ujar Mami yang langsung menyeretku paksa. Tenaga Mami yang merupakan seorang polisi wanita memang luar biasa kuat. Papi bahkan tidak pernah berani adu tinju dengan Mami. Selain karena mengalah, ya karena takut kalau kalah. Papi sendiri, dia adalah seorang dokter spesialis mata. Karena propesinya itu, aku harus menderita dan iri pada teman-temanku saat SMA dulu. Ya, itu semua karena Papi tidak memberiku izin untuk memiliki handphone. Alasannya sangat kuno. Papi bilang radiasi handphone tidak bagus untuk mataku. Aku harus menjaga mata, mata dan mata. Pokoknya menyebalkan. Aku bahkan harus minum jus wortel dan makan wortel setiap hari, berasa jadi kelinci, 'kan. *** Satu jam. Dua jam. Tiga jam kemudian. Pukul 18.15 WIB. Usai merias wajahku dan membantuku memakai baju. Mami tampak tersenyum puas menatapku dari pantulan cermin di dalam kamarku. Saat itu, aku sendiri merasa pangling dengan wajahku yang dipoles make up tipis. Aku—cantik juga, ya. Percaya diriku meningkat. “Cantik banget sih kamu, Re. Anak siapa sih?” goda Mami. “Anak tetangga,” jawabku asal. Mami langsung mendesis dan mencubit pipiku gemas. Ampun deh, punya ibu kayak Mami itu harus banyak sabar. Soalnya selain enggak bisa masak dengan baik dan benar. Mami itu mudah banget gemes dan suka nyubit tanpa aba-aba. “Sakit, Mi,” keluhku sembari mengelus pipiku pelan. “Mbak Rani, Reya. Ayo keluar, udah pada dateng tuh,” ujar seorang wanita paruh baya, dia adalah tanteku. Wait! Tante Rini yang tinggal di Bekasi kok tiba-tiba ada di rumahku? “Tante, kok Tante ada di sini?” tanyaku. “Loh? Emangnya Tante enggak boleh dateng ke acara nikahannya ponakan Tante sendiri?” “Nikahan?” tanyaku bingung, sebelum akhirnya aku sadar kalau di rumah ini hanya aku anak Mami dan Papi satu-satunya. “NIKAHAN SIAPA?!” pekikku. Tante Rini dan Mami pun sampai berebut menutup mulutku. “Hust. Jangan teriak-teriak. Suara kamu itu kayak terompet tau. Jangan berisik, di luar lagi banyak orang,” tegur Mamiku. “Mi, aku enggak mau nikah. Mami aku mau kuliah aja, aku enggak mau nikah,” rengekku. Padahal pagi tadi aku merengek ingin menikah daripada kuliah. Dan sekarang malah sebaliknya. Sepertinya ini karma karena aku kurang bersyukur. “Apaan sih, Re. Kayak anak kecil aja. Lagian walaupun kamu nikah, kamu juga tetep kuliah kok,” jelas Mami. “Mami sama Papi nikahin kamu, karena kami takut kejadian siang tadi menimpa kamu. Apalagi kata petugas kepolisian yang enggak lain adalah temen Mami bilang kalau pelakunya sebelum masuk ke kamar kos korban, dia masuk ke kamar kos kamu duluan. Papi bersyukur kamu pulang sore, kalau kamu pulang siang, yang ada rumah ini kibar bendera kuning bukannya janur kuning,” sahut Papi yang entah sejak kapan sudah berada di ambang pintu kamarku. “Tapi, Pi ....” “Sudah, enggak usah tapi-tapian. Ayo keluar, biar cepetan akad nikahnya dan kamu bisa langsung ke Jakarta. Katanya kamu mau cepet-cepet balik ke Jakarta buat ngejar bimbingan besok?” kata Mami yang luar biasa ngeselin. “Mami, aku anak Mami bukan sih?” “Mami nemu kamu di bawa pohon durian, enggak tau kamu anak siapa,” ujar Mami, “udah ayo, jangan kayak anak kecil. Kamu itu udah gede, udah kepala dua, gak usah cemberut gitu mukanya,” imbuh Mami. Dengan bibir yang semakin tertekuk, aku pun mengikuti Mami dan Papi serta Tanteku yang sejak tadi hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah keluarga kami yang absurd. Sesampainya kami di ruang tamu. Kepalaku hanya tertunduk tanpa berani menatap siapa pun dan apa pun itu. Aku gugup, apalagi saat Mami menuntunku untuk duduk di samping pria yang nantinya akan menjadi suamimu. Ya, Tuhan. Ujian macam apa ini? Aku bahkan belum tahu bagaimana wajah calon suamiku. Apa dia punya mata lengkap? Apa dia punya rambut? Apa dia botak? Apa dia punya dua lubang hidung? Aku bahkan tidak tahu semua itu. Poor you, Reya. Malang sekali nasibmu. “Saya nikahkan dan kawinkan engkau Alan Prajaya dengan putri saya Reyana Melanisti, dengan mas kawin cincin emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai,” ucap Papi, yang seketika membuat jantung terasa berhenti berdetak. Entah ini karena aku berhalusinasi atau apa, tapi aku benar-benar mendengar barusan Papi menyebut nama dosen luknutku itu. Apa Alan Prajaya yang Papi maksud itu Alan Prajaya yang itu? Ah, tidak mungkin. Lagi pula di dunia ini banyak orang yang memiliki nama serupa, 'kan? Pasti bukan Alan si dosen itu. Pasti bukan. “Saya terima, nikah dan kawinnya Reyana Melanisti dengan mas kawin tersebut, tunai.” DEG! Suara ini ... ini benar-benar suara—TIDAK! Aku terkejut saat manik mataku menangkap sosok itu. Dia, pria di sampingku. Pria yang barusan melafalkan ijab kabul untuk meminangku menjadi istrinya adalah Pak Alan. Jadi, nama Alan Prajaya yang Papi sebut tadi benar-benar Alan Prajaya si dosen kejam itu? Tidak, Ini pasti mimpi. Iya, ini mimpi. Aku pasti terlalu banyak menderita karena Pak Alan, makanya aku sampai mimpi nikah sama dia. Ya Tuhan. Tapi, kenapa mimpi ini terlalu nyata? “Bagaimana para saksi, sah?” tanya si penghulu pada semua yang hadir di acara nikahan dadakanku ini. Jangan sah, jangan sah. Aku mohon kalau ini bukan mimpi, jangan sah, jangan sah! Namun, harapanku itu tidak mungkin menjadi nyata. Karena .... “Sah!” Kata itu telah terlontar dengan sangat jelas dari bibir para saksi. “Alhamdulillah.” Aku lemas. Tidak tahu lagi bagaimana aku akan hidup setelah ini. Mungkin, lebih baik aku tenggelam di dasar benua. Tidak, tidak. Bagaimana kalau aku beneran tenggelam? Aku masih mau hidup. Ah, kepalaku rasanya ingin meledak. Bagaimana bisa aku nikah sama Pak Alan?! Dia jadi pembimbing tugas skripsiku aja udah cukup bikin darahku mendidih. Apalagi jadi pembimbing hidupku?! Bisa mati muda aku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD