Dia Yang Menyebalkan

1043 Words
Usai akad nikah dan acara do'a bersama serta makan-makan. Beberapa anggota keluargaku dan keluarga Pak Alan pun mulai berpamitan pulang. Melihat hal itu, aku langsung memanfaatkan kesempatan untuk pergi diam-diam ke kamar. Aku lelah, sangat lelah dengan situasi dadakan yang terjadi saat ini. Aku bahkan sampai belum bisa menerima kalau statusku sekarang adalah seorang istri. Istri dari Pak Alan yang luar biasa suka menyusahkan mahasiswanya. Helaan napasku pun berembus kasar, aku membuka pintu kamarku, lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu rapat. Melihat kasurku yang terlihat empuk, rasanya aku ingin segera melemparkan diriku ke sana. Namun, rasa gerah yang melingkupi badanku pun membuatku harus menahan diri dan mulai melepaskan semua pernak-pernik yang ada di kepalaku, menghapus make up dan kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Ya, aku harus merilekskan otakku dengan air dingin. Setelah masuk dan mengunci pintu kamar mandi, aku langsung menghidupkan kran shower yang berada tak jauh dari pintu kamar mandiku. Suara gemericik air yang jatuh menimpa lantai kamar mandi pun membuatku tersenyum tipis. Aku bersenandung kecil sembari membuka baju kebayaku, menyisakan tank top putih yang siap aku buka. Namun, saat aku hampir menyingkap tank top putih itu dari tubuhku. Tiba-tiba terdengar sebuah suara bariton dari arah bathub yang berada di pojok kamar mandi. “Kalau kamu masih mau melanjutkan aksi buka-bukaan kamu itu. Saya anggap kamu sedang menawari saya untuk mengambil hak saya sebagai suami kamu,” katanya. Mendengar suara tak asing itu, sontak aku menoleh ke belakang. Mataku seketika itu membelalak lebar melihat Pak Alan yang berdiri di belakangku dengan kedua tangannya yang bersedekap, serta rambutnya yang basah dan ... tubuhnya yang hanya tertutupi oleh handuk sebatas pinggang sampai atas lututnya. Tanpa aku sadari, leherku bergerak menelan ludahku sendiri. Damn it. Dia terlihat eksotis dan sempurna. Apalagi enam kotak yang menonjol keras di perutnya itu, rasanya tanganku sudah gatal ingin sekali menyentuhnya jika saja aku tidak segera sadar bahwa dia adalah Pak Alan. Ingat, dia dosen yang terkenal galak dan penuh aturan. Aku pun langsung menggelengkan kepalaku kuat, lalu, “Aaaaa ....” Aku berteriak kencang, membuat Pak Alan sampai bergerak maju dan menyumpal mulutku dengan handuk kecil bekas mengeringkan rambutnya. “Bapak apa-apaan sih,” ocehku sembari melemparkan handuk kecil itu tepat ke mukanya. Ups! Sepertinya aku salah lempar. Bodoh kamu, Reya. Benar-benar bodoh! Ini sama saja aku sedang menggali lubang nerakaku sendiri. Pak Alan tampak diam, aku tidak bisa menilai ekspresi wajahnya sama sekali. Mimik mukanya itu sangat datar, seperti jalan tol yang mulus tanpa lubang. Sulit sekali diprediksi. Beberapa saat setelah kami saling diam, akhirnya Pak Alan bersuara usai berdehem cukup keras, “Kamu mau sampai kapan pamer paha kamu di hadapan saya seperti itu?” Paha? Pamer? Sejak kapan aku—what?! Sejak kapan aku membuka resleting kebaya bagian bawahku? Aku terkejut melihat rok kebayaku ternyata sudah meluncur jatuh ke bawah, memperlihatkan pahaku dengan sangat jelas dan sempurna. Untung saja aku memakai hotpants. Kalau tidak, mungkin situasi ini benar-benar merugikanku. Aku ingin kembali berteriak. Tapi melihat pelototan tajam dari mata Pak Alan yang melarangku untuk bersuara pun membuatku ciut dan menutup mulutku rapat. “Kamu tenang saja, saya juga tidak tertarik dengan ukuran kecil seperti kamu ini,” ujar Pak Alan yang kemudian keluar dari dalam kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi dengan cukup keras, sampai membuatku terlonjak kaget. “Dasar m***m!” teriakku. Napasku memburu melihat pintu kamar mandi itu dengan raut kesal. Lagian dia sejak kapan sih masuk ke kamarku? Bahkan sampai mandi di kamar mandiku. Kok aku enggak tahu? Aish! Sialan. *** Setelah mengguyur tubuhku dengan air dingin. Aku pun keluar dari dalam kamar mandi. Dan—saat aku baru saja keluar, aku kembali dibuat kaget dengan kehadiran Pak Alan yang dengan tenangnya duduk bersandar di tempat tidurku sembari memainkan ponselnya. “Bapak kok masih ada di sini sih?” tanyaku sembari mencengkeram kuat handuk yang menutupi tubuhku dari bagian atas hingga sebatas paha. Dia hanya melirikku sekilas, lalu kembali memainkan handphone-nya tanpa berniat menjawab pertanyaan dariku. “Ish, jadi orang nyebelin banget,” ocehku pelan seraya mendekati lemari dan mengambil pakaianku cepat. Kemudian, dengan terpaksa aku kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk memakai pakaianku. Setelah selesai berpakaian, aku keluar dari dalam kamar mandi. Dan kulihat Pak Alan masih berada di tempat yang sama dengan posisi yang sama. Aku menghela napasku kasar, lalu melangkah menuju meja rias, berniat mengeringkan rambutku. Tapi, saat aku mencarinya, pengering rambutku seolah menghilang entah ke mana. Ah! Pasti Mami yang mengambilnya. Mami memang selalu suka meminjam barangku tanpa ingat lagi mengembalikannya, menyebalkan, bukan? Dengan wajah tertekuk kesal, aku pun meraih sisir dan mulai menyisir rambut sebahuku yang masih basah. Usai menyisir rambut dan memakai skin care, aku mulai bingung harus melakukan apa lagi. Ingin bermain handphone pun rasanya mustahil, karena ponselku saat ini tergeletak tepat di sisi Pak Alan. Ini salahku karena kebiasaan melemparkan ponselku ke atas ranjang. Kamu memang sangat bodoh, Reya. “Sudah selesai dandannya?” tanya Pak Alan yang tiba-tiba berbicara seraya menatap ke arahku dengan manik matanya yang menghunus tajam. “Siapa yang dandan? Saya barusan cuma pakai—” “Sudah enggak usah banyak alasan. Ayo cepetan keluar. Tadi Mami kamu datang, suruh kita cepetan ke ruang keluarga,” kata Pak Alan sembari beranjak dari tempat tidurku. “Bapak pakai baju siapa itu?” cakapku yang entah kenapa penasaran sekali dengan pakaian Pak Alan yang terlihat lebih santai, kaos putih polos dan celana panjangnya. Dari mana dia mendapatkan pakaian gantinya? “Apa pertanyaan itu cukup penting untuk saya jawab sekarang?” tukas Pak Alan, “jangan membuang waktu saya hanya untuk menjawab pertanyaan tidak bermutumu itu. Ayo cepetan keluar,” timpalnya dengan tegas. Tuh kan, dia itu memang nyebelin. Dasar sok perfeksionis. Bikin orang geram sampai pengen nyekik jantungnya. Ish! “Kenapa diam saja? Ayo cepetan,” ocehnya saat melihatku hanya diam dengan mulutku yang komat-kamit, sibuk mengatainya dengan segala sumpah serapahku padanya. “Iya, Pak,” jawabku, malas. Pak Alan terlihat menghela napasnya berat, setelah itu dia membuka pintu kamarku, lalu melangkah keluar lebih dulu. Tak ingin mendapatkan ocehannya lagi. Aku pun berjalan cepat mengekorinya dari belakang. Ya, aku memang tidak bisa berbuat apa-apa sekalipun aku sangat teramat membencinya. Aku hanya bisa menurut dan diam melihat tingkah dan sikap menyebalkannya itu. Nasibku memang buruk sekali, bukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD