Malam Pertama

1202 Words
  “Enggak bisa, pokoknya malam ini aku harus balik ke Jakarta,” ujarku, menolak anjuran Mami yang menyuruhku untuk menginap di rumah selama satu malam ini, dan baru kembali ke Jakarta besok pagi.   “Gini deh, Mami tanya sama kamu. Tadi kamu bilang alasan kamu balik ke Jakarta karena apa?” tanya Mamiku.   “Ada jadwal bimbingan,” jawabku, santai. Ya, santai. Karena itu memang benar. Hei, aku tidak sedang berbohong. Besok aku memang punya jadwal bimbingan dengan dua dosen pembimbingku. Catat itu. Dua dosen pembimbingku. Yang artinya, besok aku harus menyiapkan mentalku untuk menghadapi singa jantan dan singa betina itu.   “Oke. Sekarang Mami tanya lagi. Siapa dosen pembimbing kamu, Reya?”   Oke. Mami memang benar-benar menyebalkan. Karena seketika itu aku sadar, ada seorang pria yang saat ini duduk di sampingku. Ya, dia adalah dosen pembimbingku, yang sekarang merangkap menjadi pembimbing hidupku.   “Alan dosen pembimbing kamu, ‘kan?” Kali ini Papi yang bertanya.   “Ya ... iya. Tapi ....” Aku melirik Pak Alan yang terlihat diam menatapku tanpa ekspresi. “Tapi ‘kan masih ada Bu Resti yang harus aku temui,” timpalku, mencari-cari alasan agar bisa kembali ke Jakarta.   Begini, biar aku jelaskan, kenapa aku sangat ingin kembali ke Jakarta? Alasannya, jika aku menginap di rumah ini. Maka, itu artinya malam ini benar-benar akan menjadi malam pertamaku dengan Pak Alan. Karena sudah pasti aku tidak mungkin bisa mengusir Pak Alan dari kamarku. Dan aku sungguh tidak mau hal mengerikan yang disebut sebagai ‘malam pertama’ itu benar-benar terjadi.   “Kamu tenang aja. Aku udah bilang sama Bu Resti kalau besok kamu bimbingan penuh sama aku,” sahut pria di sampingku, Pak Alan.   “Tuh, kamu denger sendiri ‘kan, Re? Suami kamu yang bakal bimbing kamu. Jadi, kamu enggak usah khawatir sampai mau nekat balik ke Jakarta jam segini,” kata Mami.   Aku melongo mendengar perkataan Mami yang seperti badai besar bagiku. ‘Suami kamu yang bakal bimbing kamu’. Astaga, Mami. Bagaimana aku bisa tenang? Justru itu yang buat putrimu ini seribu persen khawatir setengah mati.   ***   Aku masuk ke dalam kamar dengan raut kesal yang tiada habis. Mami sama Papi benar-benar tidak mengerti perasaan anaknya sendiri. Apa mereka beneran nggak tahu kalau selama ini aku cerita tentang dosen galakku itu maksudnya adalah Pak Alan? Pria yang mereka suruh jadi suamiku.   “Pak Alan,” panggilku pada pria yang baru saja masuk ke dalam kamar.   Pak Alan menatapku. Dia diam menungguku melanjutkan perkataan. Tatapannya itu sama sekali tidak berubah. Sorotnya yang terkesan dingin seketika membuat bibirku membeku.   Aku menghela napas berat. “Nggak jadi deh,” ucapku, yang kemudian melangkah pergi dari hadapannya.   “Mau tanya soal proposal skripsi kamu?” tanya Pak Alan.   Aku menoleh sekilas padanya, sebelum menjawab aku menyempatkan bokongku untuk singgah lebih dulu di tepi ranjang.   “Enggak,” jawabku.   “Kalau mau bahas masalah skripsi besok aja, pas jam kuliah,” katanya, lalu melangkah menghampiri kasurku.   “Kenapa harus pas jam kuliah? Kalau misal saya minta bimbingan sekarang aja memangnya nggak bisa?” balasku, menatap pergerakannya yang kini telah sampai di dekat tempat tidur.   “Enggak bisa,” jawab Pak Alan seraya naik ke atas ranjang.   Aku memutar tubuhku, lalu menatap ke arahnya yang tampak duduk bersandar sambil membaca buku tebal yang tak kutahu buku apa itu.   “Kenapa enggak bisa? Bukannya sekarang Bapak ada di depan saya? Saya juga bawa proposal skripsi saya kok. Lagian ‘kan lebih cepat lebih baik,” celotehku, yang semakin berani karena mendapatkan pancingan emosi. Apalagi yang melemparkan umpan pancingan itu adalah pria bernama Alan Prajaya.   Untuk beberapa saat lamanya, Pak Alan diam tak menanggapi perkataanku. Namun, aku tidak gentar, sorot mataku masih menatapnya lekat, menunggu pria itu memberikan tanggapannya atas semua pertanyaan yang aku lontarkan padanya.   Dan pada akhirnya, Pak Alan menutup bukunya, pria itu lalu membalas tatapanku. Tapi, tidak lama kemudian, dia mengembuskan napasnya pelan, lalu kembali membuka bukunya sambil berkata, “Saya tidak suka mencampurkan urusan pribadi dengan urusan kampus.”   Aku mendecih, lalu menatap jam dinding yang melekat di atas meja belajarku. Ya, ini memang sudah di luar jam kampus. Karena jika saat ini jarum jam itu masih menunjuk angka sembilan atau sepuluh, mungkin aku masih bisa membalas perkataannya. Masalahnya, sekitar beberapa pekan yang lalu, Pak Alan pernah dengan kejamnya menyuruhku datang ke kampus pukul sembilan malam dan melakukan sesi bimbingan sampai pukul sepuluh malam lewat lima menit. Ya, walaupun akhirnya dia memesankan taksi online untukku dan membayar ongkos pulangku.   “Ngeselin banget sih,” ocehku, lirih.   Kemudian, aku bangkit dari dudukku seraya mengambil bantal dan menarik selimut yang beberapa bagian tertindih oleh tubuh kokoh Pak Alan.   “Mau ke mana?” tanya Pak Alan, suaranya yang terdengar berat itu sungguh mampu menghentikan gerakan tubuhku.   “Tidur,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya.   “Terus itu bantal sama selimutnya mau dibawa ke mana?” tanya Pak Alan, lagi.   Aku menoleh, lalu menatapnya yang tampak sudah meletakkan buku tebalnya ke atas nakas dekat tempat tidurku.   “Ya dibawa ke sofa untuk aku tidurlah,” jawabku.   “Oh, kamu mau tidur di sofa?”   “Iya.”   “Ya udah, silakan,” katanya.   “Ha?”   “Apa?”   “Bapak nggak ada niat ngelarang saya tidur di sofa?”   “Apa saya harus larang kamu untuk tidur di sofa? Lagian kalaupun saya larang, apa kamu mau nurutin larangan saya itu? Enggak, ‘kan? Yang ada kamu malah makin ngelawan sama saya,” tandasnya.   “Sumpah, ya, ngeselinnya Masya Allah banget,” gumamku sembari menatap pria itu kesal.   “Kenapa?”   “Enggak,” ucapku. “Saya cuma kagum aja sama Bapak,” timpalku, yang kemudian kembali melangkah menuju pintu kamar.   Namun, langkahku seketika itu terhenti saat aku sadar kalau aku tidak mungkin tidur di luar kamar ini. Aish, andaikan kamarku seluas samudera, terus ada sofa empuk di dalamnya. Sial, kenapa aku tidak menyadarinya.   “Kenapa diem aja? Enggak jadi tidur di sofa?” tanya Pak Alan.   Aku mengembuskan napas kesal. Lalu, menatap Pak Alan geram. Entah keberanian dari mana, tapi tiba-tiba kakiku dengan cepat melangkah mendekatinya. Bahkan tanganku dengan sempurnanya melemparkan selimut dan bantal yang aku pegang ke arah Pak Alan.   “Bapak ngerjain saya, ya?”   “Kenapa kamu marah sama saya?” Dia balik bertanya.   “Bapak tahu kalau kamar saya enggak ada sofanya, kalau saya tidur di sofa artinya saya harus tidur di luar kamar saya. Dan kalau Mami sama Papi saya tahu, saya pasti kena marah sama mereka. Bapak berharap saya kena marah sama orang tua saya, ‘kan?” tukasku.   “Kamu barusan fitnah saya?”   “Saya enggak fitnah Bapak. Tapi, memang itu faktanya.”   “Buktinya mana? Bahkan secara logika, kamu marah sama saya aja itu udah enggak masuk akal,” ujar Pak Alan.   Dan, perkataannya itu menjadi akhir dari amarahku yang baru aku sadari bahwa amarahku ini benar-benar menggambarkan sifat kelabilan yang terlalu hakiki.   Aku yang tak bisa menahan malu pun bergerak cepat meraih bantal dan selimut yang tadi aku lemparkan padanya. Kemudian, aku menutupi seluruh tubuhku dengan selimut itu. Sial. Malam pertamaku dengannya benar-benar membuat jiwaku membara. Aish, dosen satu ini selalu saja berhasil membuat seluruh emosiku bergejolak. Kesal, marah, malu, dan segala emosi lainnya sangat berhasil dia korek dari hatiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD