Keributan Di Pagi Hari

1096 Words
Aku menggeliat usai membuka mataku beberapa saat lalu. Tubuhku terasa kaku seolah aku baru saja terbangun dari tempat yang keras. Tapi, sepertinya alasku tidur memang keras dan ... dingin. Sontak aku pun terduduk. Lalu menatap kondisiku yang sungguh mengenaskan. Aku tidur di lantai dengan satu guling yang aku peluk erat.   What the hell.   Apa-apaan ini?! Sejak kapan aku pindah tidur di lantai?   Aku menatap ke atas kasurku yang terlihat kosong. Tidak ada sosok pria luknut itu di sana. Aku pun terdiam. Lalu berpikir, apa semalam hanya mimpi? Mimpi buruk yang bahkan sampai membuatku terjatuh dari atas tempat tidur.   “Kamu sudah bangun?” tanya sebuah suara dari arah kamar mandi.   Kepalaku seketika itu langsung menoleh, menatap ke arah pria yang terlihat berdiri di depan kamar mandi sambil membenarkan kancing kemejanya.   “Pak Alan?” lirihku, yang kemudian mengucek mataku pelan, memastikan apakah pria itu sungguh ada dalam sapuan pandangku.   “Kenapa kamu?” tanyanya lagi, ia seperti heran dengan tingkah anehku.   “Jadi semalam bukan mimpi?” Aku balik bertanya, lebih tepatnya bertanya pada diriku sendiri.   “Mimpi apa?”   “Mimpi nikah sama Pak Alan,” kataku, masih belum percaya kalau pria yang sudah berpakaian rapi itu sungguh nyata.   “Oh, jadi semalam kamu beneran mimpi yang nggak-nggak?” ujarnya.   “Maksudnya?”   “Kamu mimpi porno, ‘kan?” tudingnya.   “What?” Aku terkejut, bahkan tubuhku sampai refleks berdiri tegap dan melemparinya tatapan tajam. “Bapak kalau ngomong jangan sembarangan. Astaga, ini mimpi apa bukan sih? Bapak kok bisa ada di kamar saya? Saya enggak mungkin beneran nikah sama Bapak, ‘kan?” tukasku.   Pak Alan terlihat menghela napasnya. Lalu kemudian ia tampak melangkahkan kakinya, dia berjalan mendekatiku. Langkahnya itu semakin lama, semakin dekat. Sampai akhirnya gerakannya itu membuat tubuhku merespons darurat. Satu jengkal dia melangkah maju mendekatiku, satu jengkal pula aku melangkah mundur menjauhinya.   Sampai akhirnya aku terdesak ketika mendapati bokongku dengan mulus jatuh terduduk menimpa kasur. Pada titik itu, aku tidak bisa lagi bergerak. Apalagi saat sosok Pak Alan sudah berdiri tepat di depan mataku.   Sialnya lagi, pria itu tiba-tiba memajukan tubuhnya, mengekang tubuhku dengan tubuhnya yang terlihat lebih besar beberapa kali lipat dariku.   "Pak ... Bapak mau apa?" tanyaku dengan suara gemetar yang terdengar begitu kentara.   "Menurut kamu?" Pria itu dengan sangat teramat menyebalkannya malah balik bertanya. Wajah yang ia tampilkan pun terlihat datar tanpa beban.   "Pak, ampun, Pak. Saya masih kecil lho, Pak," celetukku sembari menampilkan raut memelasku padanya.   “Alan, Re ... ya ampun ... Papi, Pi, Papi sini, Pi. Lihat, Pi ... anak kita mau buat anak ....” Teriakan nyaring dari Mami yang terdengar kegirangan itu seketika membuat Pak Alan langsung menjauhkan tubuhnya dariku. Ia bahkan dengan baik hatinya membantuku bangkit dari tempat tidur.   Kemudian, dengan kepala tertunduk, aku dan Pak Alan berdiri di depan Mami yang tampak melemparkan senyum anehnya padaku.   “Ada apa, Mi? Papi baru selesai ....” Perkataan Papi terhenti saat manik matanya tampak menyorot kami dengan raut herannya. “Lho, lho, ini kenapa pada nundukin kepala semua?” tanya Papi, yang kemudian menatap ke arah Mami.   “Mami marahin mereka, ya?” tuding Papi.   “Eh. Papi jangan nuduh Mami sembarangan dong. Siapa yang marahin mereka, Mami itu tadi cuma enggak sengaja mergokin mereka lagi otw mau buat anak,” terang Mami, yang sejujurnya terdengar sangat vulgar di telingaku.   “Mau ... mau buat apa?” Papi tampak terkejut dengan penuturan Mami yang terlalu blak-blakan.   “Anak,” jawab Mami. “Iya ‘kan, Re?” tanya Mami padaku seraya mengerlingkan matanya jahil.   “Apa-apaan sih, Mi. Siapa yang mau buat anak. Orang tadi itu aku sama Pak Alan—”   “Kok ‘Pak’ manggilnya?” sela Mami, cepat.   “Ya ... soalnya 'kan Pak Alan ... dosen aku, Mi,” jawabku seraya tersenyum kaku pada Mami yang tampak menatapku tajam.   Aku ingat dengan jelas, Mami sudah memperingatiku semalam, kalau mulai saat ini aku harus memanggil Pak Alan dengan panggilan yang romantis. Tapi, demi gunung Sinai yang berdiri teguh, aku tidak akan pernah mau memanggil pria itu dengan panggilan romantis. Ya ampun, bayanginnya aja udah bikin perutku mules luar biasa.   “Sudah, sudah. Jangan ribut. Sekarang mending kita sarapan, ya? Reya sama Alan juga mau buru-buru balik ke Jakarta, ‘kan?” sahut Papi. Ah, Papi memang yang terbaik. Beliau selalu menyelamatkanku dari segala macam badai. Apalagi badai amarah Mami.   * * *   AUTHOR POV   “Den Sean kayaknya keliatan lagi seneng banget, ya? Bibi lihat dari tadi Den Sean senyum-senyum terus,” kata seorang wanita paruh baya—Bi Inem—pembantu di rumah Sean.   Sean Adijaya Putra—Sean—dia merupakan seorang pria yang lahir dari keluarga kaya, atau di jaman sekarang disebut sebagai anak dari keluarga sultan.   Ayahnya seorang pemain saham ulung, yang memiliki banyak lot saham di beberapa perusahaan blue chip. Sedangkan ibunya lebih suka mengoleksi banyak properti yang dapat meraup keuntungan bernilai tinggi tiap bulannya.   Kehidupan Sean adalah impian semua orang. Harta, tahta, dan wanita. Ketiganya telah berada dalam genggaman tangan Sean. Banyak wanita berbaris demi mendapatkan sepercik cinta Sean yang seolah sulit untuk digapai. Tapi, faktanya cinta Sean memang tidak dapat dimiliki oleh siapa pun. Karena cinta Sean telah dimiliki oleh seorang gadis yang harusnya menjadi perempuan yang paling beruntung di dunia ini. Dia adalah Reya. Reyana Melanisti, yang tiga tahun lalu berhasil menawan hati Sean hingga membuat lelaki itu jatuh pada pesona Reya.   “Em ... Bibi mau tau aja apa mau tau banget?” kata Sean seraya terkekeh pelan.   “Walah, nggak usah ditanya lagi, sudah pasti Bibi mau tahu banget ini,” jawab Bi Inem.   “Sini deh, Bi. Aku bisikin,” ujar Sean.   Bi Inem pun menuruti perkataan tuan mudanya itu, ia mendekati Sean yang terlihat telah menyelesaikan sarapannya.   “Hari ini, hari jadi aku sama Reya yang ke tiga tahun,” lirih Sean.   “Oalah, pantesan dari tadi senyum-senyum terus. Ternyata lagi mikirin Non Reya tho,” ucap Bi Inem sambil mesem menatap tuan mudanya itu. “Semoga langgeng terus ya, Den. Langgeng sampai halal,” lanjut Bi Inem.   “Lagi nomongin apa sih kalian? Kok kayaknya seru banget,” sahut seorang wanita dengan pakaian glamornya, dia ibu Sean—Mommy Jessy.   “Enggak ada kok, Mom,” jawab Sean, yang seketika itu langsung melunturkan senyumnya. “Ya udah, aku pergi dulu ya, Bi,” pamit Sean.   “Eh, kamu enggak sarapan dulu?” tanya Mommy Jessy.   “Udah,” jawab Sean, singkat. Pria itu kemudian menunjuk bekas piringnya yang sudah kosong.   Mommy Jessy terlihat menganggukkan kepalanya. Setelah itu, Sean melangkah pergi meninggalkan ruang makan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD