Beberapa hari berlalu dan Sarah ada di mansion milik seorang mafia bernama Victor. Perempuan itu menjadi kurus dalam kurun waktu yang singkat dan sering menangis karena ingat pada anaknya.
“Apa yang kaulakukan? Bersihkan yang benar!” bentak kepala pelayan pada orang baru tersebut.
Sarah yang mengenakan seragam pelayan langsung sadar dan mengusap air mata. Dia pun mempercepat gerak tangannya untuk membersihkan berbagai perabot porselen yang ada di sana.
“Semuanya bersihkan dengan baik, jangan sampai ada satu titik debu pun di perabotan-perabotan ini!” ujar kepala pelayan lagi.
Kemudian wanita paruh baya yang suka mengomel itu kembali melihat ke arah Sarah. “Kau ini, apa kemampuanmu hanya menangis saja? Tidak cuma kamu yang datang kemari karena terpaksa, semua orang yang ada di sini juga punya masalah masing-masing sehingga kita semua harus terkurung dalam mansion yang besar ini! Jangan lemah dan cengeng! Beruntung kita dipekerjakan dan tidak dibunuh oleh Tuan Victor!”
“Aku ... ingin tinggal bersama anakku!” timpal Sarah membuka mulutnya.
“Hah! Semua orang yang di sini juga terpisah dari keluarganya!” Mulut kepala pelayan itu berteriak di samping Sarah.
Sebagai orang yang dibentak-bentak, Sarah hanya bisa meringis sambil sesekali menghindar. Mengangkat sebelah pundaknya dan mengalihkan pandangan.
Lalu di tempat lain, tepatnya di bagian atas mansion tersebut, seorang pria yang memegang gelas air mineral dengan kaos tutleneck biru dan celana panjang abu, memperhatikan apa yang sedang terjadi.
Dia menatap tajam pada kepala pelayan yang terus-menerus membentak Sarah.
“Tuan ingin saya menghukum kepala pelayan tersebut?” tanya Daniel yang berusaha peka. Walaupun dia tak tahu ada hubungan apa antara tuannya dengan pelayan baru tersebut, tapi dia bisa menangkap jika sang tuan tak suka melihat wanita itu diperlakukan kasar oleh pelayan lain.
“Biarkan saja!” timpal Victor sambil pergi dari tempat itu.
Daniel pun menganggukkan kepala dan mengikuti ke mana Victor pergi.
Pria tersebut memasuki ruangan pribadinya yang dijaga ketat oleh pengawal. Begitu dia sampai di depannya, pengawal tersebut langsung membukakan pintunya.
Namun, Victor malah berhenti di tengah pintu itu dan tak melangkah masuk.
Pria tersebut mengangkat telunjuknya dan menyentuh daun pintu ruangannya.
“Ada yang salah, Tuan?” tanya Daniel yang ikut mengamati pintu tersebut.
Tak biasanya sang tuan memperhatikan daun pintu seperti ini.
“Lihatlah, dia berdebu, bukan?” ujar Victor sambil menunjukkan ujung jari telunjuknya.
Tak ada apa-apa di sana. Namun, Daniel pun mengangguk. “Sepertinya saya harus memanggil pelayan untuk membersihkan kamar Anda!”
“Benar!” Victor menganggukkan kepala. “Panggil pelayan baru itu untuk membersihkan ruanganku!”
“Dengan senang hati, Tuanku!” Daniel pun segera berlalu dan melakukan apa yang diinginkan oleh tuannya.
**
“Pelayan baru! Kau diminta untuk ke ruangan milik Tuan Victor! Bersihkan area di sana!” seru Daniel begitu mereka berada di tempat para pelayan berada.
Orang yang disebut pelayan baru itu tak menoleh, dia belum terbiasa dengan panggilan baru tersebut.
“Heh! Kamu yang dipanggil ...,” bisik kepala pelayan pada Sarah.
“Anu ... Tuan Daniel! Pelayan baru ini masih belum menyelesaikan masa pelatihannya menjadi pelayan, dia masih melakukan banyak kesalahan. Bagaimana kalau aku sa ...!”
“Tuan Victor menunggu pelayan baru itu untuk membersihkan ruangannya!” Seakan tak ingin mendengar ada penawaran lain, Daniel langsung memotong ucapan kepala pelayan tersebut dan melayang tatapan tajam pada semua yang ada di sana.
Sarah menunduk, tapi dia tak banyak bicara. Sementara itu wanita paruh baya yang dipanggil sebagai kepala pelayan tersebut, menatap sinis pada si pelayan baru.
“Jangan malu-maluin kau nanti di sana! Bersihkan ruangan itu dengan benar!” bentak kepala pelayan yang mengiringi langkah kaki Sarah untuk pergi.
Sesampainya di depan ruangan sang bos mafia, Sarah dipersilakan untuk masuk. Tapi dia ragu untuk melangkah.
“Bagian mana yang harus saya bersihkan?” tanya Sarah gugup pada Daniel sebelum ia ke dalam.
“Masuk saja!” jawab Daniel dengan dingin.
“Apa aku boleh minta sesuatu jika ....”
“Masuk!” Suara dari dalam menghentikan ucapan Sarah.
Dengan langkah kaki gemetar, Sarah pun mengikuti perintah. Dia melewati pintu besar itu yang kemudian tertutup. Suaranya berdebum dan itu mengejutkan jantung Sarah.
Seorang pria duduk membelakanginya. Dia menatap pada dinding besar yang tertutup oleh kain merah sambil menikmati secangkir kopi.
“Azam ....” Sarah memanggil pria tersebut dengan lirih.
Namun yang dipanggil tetap diam.
“Bolehkah aku memanggilmu seperti itu?” tanya Sarah memberanikan diri. “Aku ... tahu kau sengaja memerintah padaku untuk membersihkan ruanganmu ini ... hanya sebagai alasan! Kau ingin bertemu denganku, bukan?”
Perempuan itu mendekat pada Victor dengan langkah yang pelan, tapi pria tersebut masih bergeming.
“Walau kau sudah terlihat berbeda, entah seperti apa jalan yang sudah kautempuh selama ini, tapi ... bagiku ... kau tetap Azamku!” Sarah berhenti tepat di belakang kursi Victor lalu dia kembali menangis.
“Kau terlalu percaya diri!” tutur Victor sambil berdiri dan berbalik menatap Sarah.
Perempuan tersebut mendongakkan wajah dan melihat bagaimana wajah Victor yang menganggap remeh pada dirinya.
“Lihatlah ini!” Victor menunjuk pada meja di depannya.
Sejak tadi Sarah tidak melihat meja tersebut karena terhalang oleh tubuh Victor sendiri, tapi kali ini Sarah mendekat, lalu ia langsung histeris dan mundur. “Aaaaaah!” jeritnya.
Darah berceceran di atas meja tersebut dan seekor tikus terbengkalai dengan sebuah belati yang tertancap mengurai isi perut hewan pengerat itu.
“Kenapa terkejut? Aku memintamu untuk membersihkan bangkai itu! Anggap saja dia Azam yang sudah mati!” ketus Victor yang berdiri di tempatnya tanpa beranjak satu senti pun dari posisinya.
Sarah gemetar melihat bangkai tersebut, lalu ia mengalihkan pandangannya pada pria berkaus turtle neck itu. “Azam, jadi ... kau mendendam padaku?” tanya Sarah sambil menangis.
Namun wanita itu akhirnya mengangguk. “Iya, aku mengerti! Pasti sesakit itu karena aku sudah mengkhianatimu! Tapi ketahuilah, Azam! Aku masih mencintaimu sama seperti dulu. Aku selalu mencarimu dan di malam pertama pernikahanku, aku melarikan diri ke rumahmu ....” Ucapan Sarah tersendat karena ia menangis.
“Aku ... tertidur di atas ranjang tempat kita berdua. Aku menunggu di rumahmu, berharap kamu akan datang dan menjemputku untuk pergi dari tempat itu. Tapi ... kamu ....” Sarah menangis lebih kencang.
“Kamu tidak pernah kembali sampai akhirnya kedua orang tuaku menemukan aku dan membakar rumahmu! Azam ... kenapa kau lampiaskan dendammu pada perempuan yang sudah lemah tak berdaya seperti aku?”
“Berhenti membual!” ucap Victor dengan penuh amarah.
Sarah menggelengkan kepalanya, tapi hati Victor telah membatu sekeras karang di lautan.
“Lebih baik kau bunuh aku saja, Azam. Daripada aku harus melihatmu, tapi hanya kebencian yang tersirat dari matamu! Dan ... aku titip Adam!” tutur Sarah yang akhirnya dia duduk bersimpuh dengan lutut terkulai lemas.
“Pendusta! Kamu ingin mati hanya karena ingin menyusul suamimu! Bagaimana mungkin cintamu masih untukku, jika pada akhirnya kau melahirkan anak dari orang lain! Apa yang ada di pikiranmu saat berc*nta dengan laki-laki lain? Tidakkah kau memikirkan bagaimana perasaanku! Atau ... pemuda miskin yang tak memiliki orang tua sepertiku memang tak pernah penting di matamu!” Victor akhirnya mengatakan sebagian rasa sakit yang selama ini ia pendam di depan orang yang menyakitinya secara langsung.
Sarah menangis, lalu dia pun bertanya dengan lirih. “Azam, apa kau menganggap semua yang keluar dari mulutku itu adalah dusta?”
Victor tak menjawab, rahangnya mengeras dengan mata yang memerah penuh dendam dan amarah.
“Kau boleh percaya atau tidak, Adam itu ....”
Sarah pun terkulai lemas tak sadarkan diri di depan Victor.
“Sarah?”
Sepertinya sebesar apa pun dendam yang menggelapkan hati milik bos mafia tersebut, masih ada setitik cahaya terang yang berasal dari cinta suci milik seorang pemuda dengan nama lahir Azam Khairruzzaman tersebut.