Bab 5

1336 Words
Keesokan harinya “Bagaimana kondisinya?” tanya Victor pada Daniel yang datang menuju ruangannya. “Ini dokumen yang Anda minta, Tuan!” Daniel menyerahkan sebuah map untuk Victor. “Emmm, maksud Anda kondisi pelayan baru itu?” Victor menyambar map dan membuka isinya. “Hmmm!” timpalnya. “Dia menolak untuk makan sejak semalam. Dokter bilang, dia kekurangan asupan makanan. Maka dari itu ... tubuhnya ringkih,” jelas Daniel pada sang tuan. “Merepotkan!” umpat Victor sambil menutup map dengan keras dan langsung membanting dokumen ke atas meja. Pria itu berdiri dan segera meninggalkan ruangan. Kemudian dirinya masuk ke sebuah kamar yang tak jauh dari ruang pribadinya. Kamar yang cukup luas dan ada seorang perempuan duduk di tepi ranjang mengenakan gaun putih, rambut panjang terurai, dan tatapan kosong. Sepiring makanan tergeletak di atas nakas dengan segelas air mineral. Tampak sudah mendingin dan tidak disentuh sama sekali. “Kau menguji kesabaranku!” ujar Victor begitu ia berdiri di depan Sarah. “Biarkan aku mati!” jawab Sarah tanpa menatap orang yang mengajak bicara. “Mati saja kalau begitu!” Victor pun mengepalkan tangan, lalu dia berbalik dan menjauh dari posisi Sarah. Sarah hanya menangis tanpa suara di sana. Dia diam, lalu air mata mengucur dengan deras ke pipinya. Baginya, dia melalui banyak rasa sakit semenjak menikah dengan pria yang tak ia cintai, ditambah Azam juga pergi. Hidup dengan lelaki yang begitu arogan, sambil menghitung hari menunggu pria yang pergi segera kembali. Tapi ternyata, dalam cerita pria itu, Sarah bukan korban yang sesungguhnya. Dia adalah pelaku yang sudah berdusta dan menyakiti perasaan cinta suci dari si pemuda. Bahkan mungkin baginya, mati pun tetap tak akan berguna. Victor yang sudah melangkah lebih jauh dari kamar itu pun berbalik. Entah dia berubah pikiran atau kenapa? Namun pantofelnya itu langsung membawa dia kembali dan mengetuk lantai kamar tempat Sarah mengurung diri. Pria itu tak mengucap salam apa pun, dia berdiri di depan Sarah lalu mengeluarkan pistol dari dalam jas dan meletakkannya di atas nakas. Lebih tepatnya, di samping piring makan milik Sarah. Wanita yang seumur hidup tak pernah melihat senjata, walaupun suaminya merupakan seorang polisi tersebut langsung terkejut dan bergidik. Matanya menatap pada Azam dan juga pistol tersebut secara bergantian. Kemudian Victor sendiri mengambil piring makanan tersebut, menyendoknya lalu mengarahkan pada mulut Sarah. “Buka mulutmu, makan ini! Atau akan kupecahkan kepala asistenku yang berdiri di sana!” Daniel yang berdiri di ujung pintu hanya meneguk ludah. Dia agak terkejut dengan ucapan sang tuan, tapi ia juga tak berani membantah. Hidup dan matinya sejak awal bergabung sudah berada di tangan Victor. Untuk itu, dia berusaha tetap tenang sambil membetulkan posisi kacamatanya. Sarah gemetar sambil melirik pada Daniel yang berdiri di sana. Kemudian dia beralih menatap Victor dengan tatapan tajamnya. Tangannya agak ragu, dia mengambil alih sendok di tangan Victor. “Aku ... makan sendiri!” “Lakukan di depanku!” Pria itu melipat kedua tangan dan membiarkan Sarah mengambil alih sendoknya. Meski tidak lahap, tapi pada akhirnya ada makanan yang masuk ke perutnya. “Adam?” Victor berjalan mondar-mandir dengan perlahan di depan Sarah. Dia tersenyum miring sambil menyebut nama itu. “Apakah itu nama anakmu?” Sarah yang berusaha menelan makanan ke perutnya pun mengangguk pelan, tapi ia tak berkata apa-apa. “Apa yang ingin kaukatakan tentang dia? Aku akan mendengarkan ucapanmu sampai selesai sekarang!” ujar Victor. Entah kenapa, sesungguhnya dia juga penasaran dengan ucapan Sarah yang tak selesai kemarin. Namun saat ini, Sarah memilih untuk melanjutkan makanannya dan tetap diam. Dia tak berkata apa-apa untuk menjawab ucapan Victor. “Kenapa kau diam?” tanya Victor lagi. Lalu Sarah menggeleng. Dia pun meletakkan piringnya dan mengambil minum beberapa teguk saja. “Aku ingin istirahat!” jawab Sarah singkat, dia langsung berbaring dan memunggungi Victor. Melihat itu, Victor pun hanya mengembuskan napas. Dia akhirnya memilih untuk meninggalkan ruangan tersebut. ** Beberapa jam kemudian “Daniel, sepertinya aku belum melihat dokumen transaksi barang tiga hari lalu!” ujar Victor. Daniel pun menimpali. “Tiga hari lalu itu ... penyelundupan serbuk obat. Anda ingin melihat dokumennya?” Victor mengangguk. “Baik, kalau begitu, saya akan minta perusahaan tersebut mengirimkan detail transaksi!” “Tidak perlu!” Victor mengangkat tangannya. “Aku akan melihat dokumen itu secara langsung dari markas mereka!” “Anda mau ke markas taipan tua tersebut?” “Hmmm!” ** Gerbang besar itu pun terbuka dan mobil merayap masuk perlahan mengantarkan bos besar tersebut tepat di depan lobi markas milik seorang pengusaha keturunan Tionghoa. “Ah, ini seperti aku kedatangan tamu besar! Bahkan aku sampai menunda keberangkatanku untuk ke luar negeri saat mendengar kau akan kemari!” sambut pria tua tersebut sambil terkekeh. “Maaf aku sudah mengganggu! Tapi aku tidak akan lama!” “Baiklah! Baiklah! Kemarilah, aku akan berikan dokumen yang kamu minta!” Taipan tua itu menatap pada salah satu asistennya. Yang kemudian, si asisten mengangguk dan pergi. Seakan dalam tatapan orang tua itu mengandung perintah yang bisa didengar oleh si asisten. “Bagaimana kalau kita mengobrol di taman belakang saja!” ajak pria tua tersebut. Victor tak menjawab, dia hanya mengikuti ke mana si tuan rumah pergi. “Ini dokumennya, Tuan!” Sang taipan tua itu menerima dokumen dari asisten. “Nah, ini yang kaumau bukan?” Taipan tua membawa Victor menuju ke belakang rumah lalu dia menyerahkan dokumennya. Pria tua tersebut memasang senyum yang lebar melihat mata Victor yang langsung tertuju pada seorang bocah kecil yang sedang belajar wushu di taman belakang tersebut. “Tuan Victor!” panggil si taipan tua menyadarkannya. “Bukankah kau ingin ini?” tuturnya. “Ooh, iya! Iya! Terima kasih!” Victor menerima dokumen tersebut, tapi matanya masih terus menatap bagaimana bocah tangkas itu menggerakkan tangannya dengan cepat memukul udara. “Apa kau tertarik dengan anak itu?” tanya orang tua tersebut. Victor pun langsung mengalihkan pandangannya dan membuka dokumen di tangannya. “Tidak sama sekali!” Dia mencoba mengabaikan apa yang terjadi di sekitarnya, lalu duduk di kursi yang mengelilingi meja bulat di sana. Victor berusaha untuk konsentrasi sambil menatap dokumen tersebut. Daniel hanya mengikuti ke mana bosnya ini pergi. Meski dalam hati ia bertanya-tanya, apa kepentingannya Victor melihat dokumen transaksi itu. Sesungguhnya, hal-hal yang perlu diketahui oleh Victor akan langsung dikirim padanya tanpa diminta. Tapi ... ini sungguh aneh! “Opung! Aku bisa melakukannya!” teriak anak kecil itu di sana. “Istirahatlah, kau sudah berlatih sejak pagi!” Victor mengangkat wajah lalu menatap pada taipan tua tersebut. “Sepertinya kau mudah akrab dengan anak kecil kakek tua!” “Oh, kau tidak tahu aku adalah penyayang anak-anak! Bahkan aku melarang orang-orangku untuk menjual narkoba pada anak di bawah umur!” timpal pria tua tersebut. Kali ini Victor langsung mencibir. “Apakah itu yang disebut sayang anak-anak?” Sang taipan pun terkekeh. “Tuan Victor, aku sungguh penasaran. Apa di alam baka, polisi itu akan mengumpat padaku karena anaknya kuambil seperti ini? Sepertinya, jika dia benar ayah kandungnya, arwahnya pasti akan berkali-kali mengunjungi rumahku untuk melihat bagaimana kabar anaknya! Benar begitu, kan?” “Untuk apa kautanyakan padaku!” jawab Victor ketus. Lalu matanya pun teralih pada seorang anak kecil yang baru menyelesaikan latihannya, keringat tampak mengucur di dahi bocah tersebut. “Hei, bocah! Kemarilah! Sapa tamu opung!” titah taipan tua. Lalu dengan sopan, anak laki-laki itu menundukkan kepala pada Victor. Kemudian Victor hanya menganggukkan sedikit kepalanya untuk membalas sapaan tersebut. “Nah, pergilah dan ganti bajumu!” titah sang kakek tua tersebut seakan pada cucunya sendiri. “Aku tidak menikah, aku tidak memiliki keturunan. Melihat ada anak yang hebat seperti dia, rasanya aku ingin menjadikan pewarisku! Dia akan kudidik sejak dini!” ujar pria beruban tersebut dengan percaya diri. Victor masih terdiam dan belum ada keinginan untuk menimpali. “Tapi ... aku sedikit heran, anak itu memiliki mata yang sangat mirip denganmu! Bahkan ... bisa aku mengatakan jika dia adalah ... dirimu versi kecil. Hahaha! Aku jadi iri, kau tak perlu menghamili perempuan untuk memiliki seseorang yang mirip denganmu!” Taipan tua itu tertawa dengan keras. Sampai akhirnya, Victor pun memutuskan untuk pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD