Klub itu meremang seperti biasa, menyiramkan sedikit cahaya untuk orang-orang yang menari di dalamnya.
Bir dan musik DJ, paduan sempurna untuk melepas beban dalam semalam. Tak ada yang peduli dengan masalah, apalagi mengingat beban dosa.
“Bravo! Kita memang selalu beruntung!”
“Semua karena bos kita! Bos Victor!”
“Kemenangan selalu di pihak Bos Victor! Victory!”
“Hidup Bos Victor!”
“Hidup! Victory!”
“Victory!”
“Hidup!”
“Ngomong-ngomong ke mana bos kita?”
“Ah, iya!”
Kerumunan orang yang sedang serempak mengangkat botol itu saling melihat pada satu sama lain. Tak ada sang bos dari salah satu di antara mereka. Orang yang mereka gaung-gaung namanya itu, tak ikut bergabung merayakan kemenangan.
Mereka adalah kelompok mafia yang menjalankan bisnis penyelundupan barang. Bekerja sama dengan berbagai perusahaan, menguasai pasar impor, mengakali petugas pajak, dan menyuap para penegak hukum.
“Hei, Daniel! Ke mana bos hari ini?” tanya salah satu dari mereka pada seorang pria berkacamata. Pria itu duduk di sofa VIP yang ada di sana, menikmati segelas bir, tanpa ikut ber-euphoria bersama yang lain.
“Di ruangannya!” jawab pria berkacamata itu dengan singkat.
“Ah, apa dia dengan wanita?” tanya salah seorang lagi dengan antusias.
“Baiklah, kita sebaiknya tak perlu mengganggu jika bos kita sedang bersenang-senang dengan wanita.”
“Tapi ... bukankah itu mustahil, jika bos bersama dengan wanita?”
“Ah, sudah! Sudah! Tak perlu meributkan Tuan Victor, bos kita! Mari bersulang!”
Dentingan gelas kembali terdengar, semuanya bersorak penuh tawa tanpa beban. Gelas-gelas diisi lagi, mereka bersulang kembali. Kaki yang tak tegak menopang badan itu lenggak-lenggok menyesuaikan irama, meski setiap ketukan yang terdengar oleh telinga mereka tak sesuai dengan ketukan aslinya. Alkohol mempengaruhi kesadaran, musik DJ yang terputar di otak mereka adalah gabungan dari musik yang benar-benar diputar oleh sang DJ dengan musik yang ada di halusinasi mereka.
Lalu dari ujung paling atas anak tangga, seorang pria memperhatikan semua yang ada di sana. Dia hanya berdiri dengan memasukkan kedua tangan pada saku setelannya. Jas dan vest warna abu-abu muda dengan dasi bergaris yang senada.
Hasil bisnis gelap triliunan rupiah itu membuat pria itu pantas mengenakan barang-barang mahal nan mewah. Merek ternama dari atas ke bawah, tak ada satu pun dari dirinya yang murah, bahkan senyumnya pun begitu mahal, membuat dirinya jauh dari kesan ramah.
Dia adalah seorang bos mafia, yang dikenal karena kemenangannya dalam setiap medan pertempuran. Entah itu pertempuran senjata, pertempuran bicara, maupun pertempuran mata uang. Dia adalah kemenangan itu sendiri, Victory.
Tatapannya yang tajam itu menarik perhatian. Dia hanya menggerakkan sedikit kepala, lantas pria berkacamata yang duduk di sofa VIP itu langsung berdiri dan menghampirinya.
“Bagaimana, Daniel?” tanyanya.
“Belum ada tanda-tanda mereka datang, Tuan!”
Pria itu mengeluarkan sebelah tangan untuk memegangi tangga. Jari-jarinya membuat ketukan sambil memperhatikan setiap tamu yang datang ke klubnya.
“Tetap waspada, bisa jadi bagian dari mereka sudah menyusup ke dalam tempat ini!”
“Baik, Tuan Victor!”
Setelah berkata demikian, pria tersebut kembali berpisah dengan asisten pribadinya. Dia berbalik menuju ruangan dan menatap gemerlap area ibu kota dari jendela yang besar di sana.
Para anak buah mengira dia bersenang-senang sendiri, menikmati wanita lalu lupa diri. Padahal, untuk menjadi seorang bos besar dia tak pernah lengah. Walaupun semua kesuksesan yang ia raih adalah hasil dari ‘potong kompas’ taktik licik yang ia gunakan, tapi tetap saja dia adalah pekerja keras.
Wanita?
Omong kosong!
Victor tak pernah mengizinkan seorang pun wanita menyentuh hatinya. Baginya, wanita hanyalah sebuah kelemahan yang tak bisa ia kontrol.
Dia sudah membusukkan perasaan bernama cinta, membuangnya ke lautan lepas, dan tak pernah berharap untuk ditemukan lagi.
Jalan yang ia tapaki teramat kelam. Bahkan lebih kelam dari masa depan seorang pemuda yang putus cinta.
Luka senjata di kanan-kiri tubuh baginya bukan apa-apa, ia bahkan hampir mati karena runtuhnya pertahanan yang ia sebut dengan cinta.
Pria itu memejamkan mata.
Ruangan yang kedap suara tiba-tiba memperdengarkan dentum musik ke telinganya. Itu artinya, ada sebuah celah yang dibuat dengan paksa di tempat tersebut.
Sebuah desing menyadarkan naluri bertahan hidupnya. Victor berkelit ke kiri dengan gerakan yang begitu cepat, hanya satu inci saja jarak peluru dengan bahu kanan. Lalu matanya melihat timah panas itu menancap pada kaca yang retak.
“Selamat datang!” ucap pria itu dengan santai.
Kaca yang retak itu dengan samar memantulkan bayangan seorang pria menodongkan senjata di belakang kepalanya.
Seakan ia sudah menduga, Victor sama sekali tak terkejut dengan kedatangan tamu tak diundang di ruangannya.
“Refleksmu sangat bagus! Untuk seorang pemula di dunia ini, aku akui kehebatanmu, Victor!” puji tamu itu.
Victor terkekeh. “Pemula?” Ia menertawakan kata tersebut, sekaligus juga menertawakan dirinya sendiri. “Ya, memang. Sepuluh tahun itu bukan apa-apa, dibanding dirimu seorang Taipan tua yang sudah merajai bisnis ini selama puluhan tahun.”
Dia merujuk pada dirinya sendiri, yang memang baru memulai masuk di dunia gelap ini sekitar sepuluh tahun lalu.
“Kau sadar dan tahu itu! Jadi ... kenapa kau menolak penawaranku?” ujar pria tua tersebut.
“Penawaran? Kau sebut itu penawaran, itu adalah permintaan! Kau yang lebih banyak diuntungkan dalam kasus ini!”
Victor mengumpat atas pernyataan orang tua tersebut. Perjanjian mereka sebelumnya adalah tentang kasus penyelundupan bahan pangan agar bisa memasuki wilayah Indonesia tanpa pajak, sekaligus izin penjualan dari barang-barang impor tersebut agar tampak legal.
Namun pria tua tersebut, malah ‘menyelipkan’ ratusan ton obat terlarang di antara bahan pangan impor itu. Hal tersebut membuat Victor berang, karena mereka menyalahi perjanjian.
“Ayolah! Jangan sok suci! Aku sudah menyuap banyak aparat di negaramu untuk mengirimkan barang tersebut kemari.” Taipan tua itu kembali terkekeh, kali ini dia memasukkan kembali pistol ke belakang celananya. “Seharusnya tak ada masalah, kan?”
“Tapi barangmu itu menghambat distribusi pangan yang seharusnya lebih cepat sampai. Kau tahu berapa puluh milyar kerugian yang harus kutanggung karena ulahmu, Kakek tua?” timpal Victor dengan agak bersungut. Tapi ia berusaha untuk mengembuskan napas agar kembali tenang.
“Puluhan milyar itu tak ada apa-apanya bagimu!”
“Tidak bisa! Jalur itu adalah milik kelompokku dan hanya aku yang berhak mengatur apa saja yang bisa keluar masuk dari sana.”
Si pria tua itu menggeleng kepala. “Aku hanya menitipkan satu barang, tapi kau sangat rewel di sini!”
“Barang itu di luar kesepakatan! Barang ilegal diurus dengan cara berbeda!”
“Kalau begitu kau yang mengurusnya!”
“Aku sudah tidak tertarik untuk berbisnis lagi dengan pria licik!”
“Oh, ayolah, kau bahkan lebih licik dari orang tua ini! Baik, kalau begitu aku beri kau penawaran licik yang lain!” Pria tua itu terkekeh.
Dia pun menepuk tangannya ke udara sebanyak dua kali, lalu kembali tertawa dengan suara seraknya. “Ini akan menarik, Victor!” ujarnya.
Pria yang disebut namanya itu pun menoleh dan melihat ke arah pintu ruangan yang sudah dibobol sejak tadi.
Dua orang pengawal pria tua tersebut, menyeret seseorang berseragam polisi. Dilihat dari pangkatnya, polisi tersebut merupakan seorang komisaris besar.
Namun setinggi apa pun pangkatnya, saat ini dia hanyalah seorang tahanan dari Taipan tua yang bekerja sama dengan mafia ternama. Seragam yang gagah itu tampak lusuh, apalagi tangannya terikat dan mulutnya tersumpal. Ditambah, dia juga terluka di area bahunya.
“Lihatlah dia!” ujar si pria tua.
Victor memicingkan mata, mengejek apa yang mereka dapatkan. Melumpuhkan polisi bukan hal yang aneh untuk Victor, apalagi hanya seorang dengan pangkat Komisaris. Jenderal sekalipun banyak yang bertekuk lutut padanya.
Kemudian salah seorang pengawal mencabut sumpalan kain pada mulut polisi tersebut.
Victor pun membelalakkan matanya, alis berkedut melihat bentuk kumis yang sangat ia kenal. Tompel yang berada di ujung bibir dan sedikit terhalang oleh kumis itu, masih terbayang bagaimana perpaduan antara tompel dan kumis tersebut berkedut seirama saat menertawakan dirinya sepuluh tahun yang lalu.
Bayangan seorang tamu undangan yang membuat dia trauma. Mata Victor pun memerah.
“Azam ... aku tahu itu kau ... tolong aku ...!”
Komisaris besar polisi itu pun tak sadarkan diri.