Selama tinggal di markas yang menjadikannya sebagai seorang mafia besar, Victor tak pernah tahu seperti apa wajah sang bapak. Selain dari foto yang ditinggalkan, mereka tak pernah bertemu secara langsung.
Selepas sang bapak mengirimkan surat untuk Victor, yang mana kala itu masih bernama Azam, dia pergi untuk menjalani misi penting. Namun, tak ada satu pun dari kelompoknya yang kembali. Hanya kabar kekalahan yang sampai ke telinga anggota lainnya.
Saat organisasi sedang terguncang itulah, pemuda kampung tersebut datang. Hatinya yang lurus pun dibengkokkan, nalarnya yang masih waras pun dipaksa untuk menerima kesesatan.
Dengan berbekal cinta dan dendam, anak muda itu pun menenggelamkan dirinya dalam dunia yang segelap ini!
**
1 Minggu Kemudian
“Tuan Victor, Komisaris Besar itu tewas!”
“Apa yang pria tua itu lakukan padanya?” tanya Victor.
Terdiam semuanya.
Insiden penembakan di ruangan pribadi Victor saat di klub itu telah dibereskan. Taipan tua tersebut memberikan sang komisaris besar polisi untuk menjadi tawanan dari kesepakatan.
Entah kenapa saat itu Victor mendadak berubah pikiran. Dia setuju untuk mengubah kerja sama mereka, lalu mulai mempersiapkan segala keperluan untuk mengabulkan keinginan si Taipan tua tersebut, yaitu distribusi obat terlarang.
Hanya demi tawanan seorang komisaris polisi, yang tidak lain adalah duda polisi perebut cinta pertamanya.
Mungkin dalam hati kecil Victor, dia masih menyimpan dendam pada si duda polisi tersebut. Dengan menerima tawaran Taipan tua, dia berpikir jika dirinya bisa mengendalikan si polisi tersebut sesuka hati. Ya, sarana balas dendam.
Namun, di luar rencana, duda polisi yang mengambil cinta pertamanya itu malah mati.
“Menurut laporan, dia bunuh diri, Tuan!”
Mendengar hal itu, Victor mengernyitkan dahi. “Bunuh diri?”
“Benar! Dia terlilit utang judi milyaran rupiah!”
“Hmmm, pria mapan dengan pangkat yang tinggi! Tapi terlilit utang judi!” Victor berseru sendiri. Ia mengulang ucapan seseorang yang terngiang di telinganya sepuluh tahun lalu, sekaligus mencibir ucapan tersebut.
“Bagaimana reaksi si Taipan tua tersebut?”
“Tidak ada, Tuan!”
“Polisi itu adalah tawanan kita! Jika tidak ada tawanan lagi, kesepakatan kita batal! Katakan itu pada pihak mereka!”
“Baik!”
**
‘BRAK!’
Pria tua keturunan Tionghoa tersebut menggeram di atas meja.
“Apa yang diinginkan oleh bedeb*h cilik itu! Berani-beraninya pemula seperti dia menggagalkan kesepakatan sepihak denganku!” ucapnya kesal karena lagi-lagi diremehkan oleh Victor.
“Kombes polisi itu bunuh diri. Itu yang menyebabkan mereka berubah pikiran!”
Napas pria tua itu tersengal menunjukkan usia senjanya yang menolak emosi berlebihan. Dia mencoba menenangkan diri, lalu duduk sambil mengusap rambutnya.
“Kita tidak punya lagi penawaran untuk Victor!” ujar salah satu pengawal di sana.
Namun pria tua itu terkekeh, dia menarik laci pada meja kerjanya dan mengambil sesuatu dari sana.
Sepucuk kertas yang lusuh karena pernah diremas begitu kencang dengan tangan yang basah, beberapa baris kata-kata tertulis di sana. Pria tua itu tersenyum. “Aku punya yang lain!” timpalnya sambil memikirkan rencana baru yang lebih brilian di kepala.
**
Suasana pemakaman diiringi isak tangis. Para keluarga mengiringi jenazah yang dikubur ke dalam tanah tersebut. Seiring dengan usainya pemakaman, perlahan-lahan satu per satu orang-orang pergi dari sana. Tersisa sanak keluarga yang ingin mendoakan lebih lama.
Semuanya menangis, wajah memerah, mata sembab. Tapi ada juga seorang perempuan yang berdiri tepat di samping batu nisan. Menatap lurus nama yang terukir di sana, kerudung hitamnya ia kalungkan dan ia kenakan ujungnya untuk menutup sebagian wajah.
Tidak, ia bukan menutup wajah karena menangis dan tak ingin mata sembapnya terlihat. Justru sebaliknya, ia menyembunyikan senyum di balik kain hitam itu. Ia menundukkan kepala, agar orang lain tak melihat bagaimana matanya berbinar. Salah satu penghalang terbesar dalam hidupnya telah tiada.
“Ma, pulang, yuk!” Seorang anak kecil menarik tangan perempuan tersebut.
“Hmmm!” Sang mama menjawab dengan anggukkan kepala, lalu mereka pun memutar haluan meninggalkan pemakaman.
“Kau mau ke mana, Sarah?” tanya seorang wanita tua mencegah kepergian ibu dan anak tersebut.
“Saya mau pulang, Bu! Adam kepanasan,” jawabnya menggunakan sang anak sebagai alasan.
“Suami baru meninggal kok! Bukannya ditangisin sambil berdoa, malah langsung pergi usai pemakaman!” omelnya yang tak dipedulikan oleh Sarah.
Sarah menggandeng tangan Adam, anaknya, lalu mereka pun segera menuju rumah untuk beristirahat.
Namun ... tanpa mereka duga, ada beberapa hal yang menunggu mereka di depan rumah berbendera kuning tersebut. .
Spontan, anak kecil dengan bulu mata lentik nan panjang itu terpejam sambil sembunyi di belakang tubuh ibunya.
Kemudian dengan ramah, Sarah mencoba bertanya pada mereka. “Maaf, ada kepentingan apa ya?”
“Suamimu!” jawab salah satu di antara mereka dengan tegas. “Kami adalah rentenir yang bertugas menagih hutang padanya!”
Wajah Sarah yang memang pucat sejak tadi bertambah pucat saja, dia menunduk sambil memeluk sang anak.
“Suami saya baru saja dikuburkan, dia sudah ....”
“Kami sudah tahu!” Bahkan rentenir itu tak mengizinkan Sarah untuk mengusaikan bicaranya. “Kami tidak peduli dengan apa pun, kalian harus membayar utang pada kami!”
Mata Sarah membelalak, lalu dia menggelengkan kepala. “Aku dan dia tak ada hubungan apa pun! Kami sudah berniat untuk cerai sejak lama, jadi aku dan orang itu tak terlibat masalah keuangan bersama, jangan tagih padaku!”
“Apa itu urusan kami? Yang jelas kau adalah istri sahnya saat dia bunuh diri! Kau ahli warisnya, termasuk penanggung beban utangnya!”
Sarah menggelengkan kepala.
“Kalau begitu, ambil saja harta kami yang tersisa! Dia hanya meninggalkan rumah dan sedikit perabotan di sana. Asal jangan datang lagi kemari!” Sejujurnya, Sarah sendiri sudah lelah. Ini bukan yang pertama rentenir datang menagihnya.
Penagih itu terkekeh. “Jangan samakan kami dengan penagih utang sebelumnya! Kami tidak akan mengambil hartamu!”
Perkataan itu memang terdengar bagus, tapi Sarah sama sekali tidak lega. Dia justru was-was, jika bukan dengan harta peninggalan, lantas apa yang mereka inginkan untuk membayar utang mendiang suaminya?
Lalu saat suasana lengang tanpa suara, mata penagih utang itu melirik pada Adam.
Spontan, Sarah langsung memeluk anaknya. “Tidak! Kalian tidak akan kuizinkan untuk mengambil anakku!”
Namun penagih itu malah berkedip memberi kode pada anak buahnya. “Siapa bilang kami akan mengambil anakmu saja? Kau juga harus ikut dengan kami!”
**
Sarah masih berusaha untuk berada di dekat sang anak walau tubuhnya terikat. Mereka ditinggalkan dalam sebuah ruangan cukup gelap yang entah ini di mana.
“Ma ..., takut ...!” rengek Adam sambil mendempetkan tubuh pada sang mama.
“Mama di sini, Sayang! Berdoalah kita pasti ditolong oleh seseorang!”
Lalu ... saat keduanya sedang gemetar ketakutan, terdengar pintu ruangan itu dibuka. Dua orang pun masuk dan siluetnya terlihat membentuk bayangan yang cukup panjang.
Seorang pria ditemani sang asisten berkacamata, datang dengan ketukan pantofel memecah keheningan.
Begitu cahaya masuk dan wajah mereka tersorot, dua mata itu bertatapan.
Sarah langsung mengenali sorot mata itu. Sorot seorang pemuda yang putus asa karena pupusnya cinta. Sorot mata pemuda dengan bulu mata lentik nan panjang yang dulu selalu memberi tatapan keteduhan pada dirinya.
Sambil terseok, wanita itu langsung menyeret dirinya untuk mendekat pada pria tersebut.
‘Cekrek!’ Pria berkacamata di belakang langsung menarik pelatuk. Dia sangat protektif pada atasannya dan tak pernah mengizinkan seorang tawanan mendekati tuannya.
“Tenanglah!” cegah pria di depan meminta asistennya untuk menurunkan senjata.
“Baik, Tuan!”
Lalu dengan santai, pria tersebut menyambut kesenduan dari wanita tawanan. Dia berjongkok dan menatap begitu dalam pada manik mata wanita yang pernah merobek-robek isi hatinya.
“Azam, kaukah itu? Azam, Sayangku ....” Suara Sarah terisak-isak memanggil nama pria yang ia kenal.
Dengan tangan yang masih sama, pria tersebut mengusap pipi pucat Sarah. Tapi kali ini, usapannya terasa bagai cengkeraman singa. Senyum yang dulu teduh, kini bagaikan seringai serigala.
Lalu dengan suara beratnya, dia meluapkan rindu dendamnya dalam sebuah kalimat. “Siapa Azam? Dia sudah mati!”