MC 2 - Perencanaan Penculikan

1654 Words
Panca sedikit terhenyak ketika merasakan genggamannya pada tangan Velia berupa remasan kencang dan berkeringat dingin. Dengan nada lembut, Panca menanyakan pada kekasihnya itu, “kenapa?” Velia menggeng kemudian menyunggingkan bibirnya tipis sembari netranya sedikit melirik ke arah Rendi. “Kamu pucat, Vel, mau pulang aja?” “Ke apartemen kamu aja, ya, boleh?” tanya Velia dengan binar mata penuh harap. Panca tersenyum sembari menyelipkan rambut Velia ke telinga. “Aku harus pulang ke rumah. Mama bisa ngomel-ngomel kalau aku nggak pulang.” “Udah lama, lho, Sayang,” rengek Velia mesra yang membuat Baldin segera menajamkan telinganya. Namun, mata Baldin masih awas pada sosok Rendi yang masih celingukan—entah apa yang dicarinya. Fokus Baldin terpecah! Antara mata dan telinga harus fokus pada obyek yang berbeda. Sedangkan kapasitas otaknya sudah tidak bisa diajak kerja dengan cepat dan tanggap. Panca mengecup telapak tangan Velia dengan lembut, “saat aku sudah memimpin perusahaan, aku sudah bisa tinggal di apartemen. Saat itu mungkin waktu kita akan lebih banyak.” Panca mendekatkan wajahnya ke hadapan Velia—mengecup singkat di bibir Velia berwarna lush red itu. “Sorry.” Panca hanya menggumam singkat pada kekasihnya.   *** “Pelantikan Panca sebagai CEO PT. Boga Rasa akan dilaksanakan besok. Ingat dengan segala rencana yang sudah kita susun satu bulan sebelumnya. Satu hal yang harus kalian tanamkan pada otak kalian adalah ‘DILARANG GAGAL’!” ucap seorang Pria dengan wajah yang sudah mulai tampak sedikit kerutan di area mata itu penuh penekanan. Meski usianya kini sudah hampir mencapai separuh abad, garis ketampanan tampak tidak memudar. Sorot matanya begitu tajam, mengeluarkan kharisma pemimpin. Namun, kali ini pria itu memimpin sebuah aksi kriminal yang tentu saja akan membahayakan setiap orang yang terlibat di dalamnya. Bang Jali—begitu ia disapa oleh orang-orang yang berada di sekitarnya, begitu disegani dan juga ditakuti. Bekas parut luka yang berada di pipinya membelah hingga ke garis rahang. Masih ada pula bekas luka yang tidak terlihat karena tertutup pakaian, luka itu terletak di punggungnya. Bagaikan sebuah goresan abadi, luka itu menjadi sebuah titik balik dari hidup Bang Jali. Dan … luka itu pulalah yang membawa Bang Jali harus melakukan perencanaan penggagalan pelantikan CEO Boga Rasa—Panca Arjo Mahawira. *** Satu minggu sebelum pelantikan “Papa … menyerahkan perusahaan secara penuh pada bocah yang masih berusia dua puluh lima tahun bukanlah keputusan yang bijak.” Pernyataan dari pria itu diangguki oleh sebagian besar peserta yang hadir dalam rapat tersebut. Pria tersebut tak putus asa untuk meyakinkan seluruh jajaran dewan direksi juga para pemegang saham baik dari internal keluarga dan eksternal, untuk tidak mengiakan gagasan ayahnya yang hendak mengangkat keponakan dari anak tunggal adik perempuannya. Lian Pradja Prawira merekatkan kedua tangannya ke atas meja dan menjadikannya sebagai penopang dagu. Tatapannya menyisir seluruh orang yang hadir dalam ruang rapat tersebut. Kemudian Lian Pradja tersenyum tipis, “ini ruang rapat perusahaan, mohon untuk profesional, Pak Yohan.” Setelah menegur putranya yang bernama Yohan itu—Lian Pradja kembali memperhatikan wajah-wajah yang akan diingatnya. Lian Pradja tidak perlu dengan secara langsung mengotori tangannya dari para penjilat, entah itu keluarganya atau pekerja bahkan rekan bisnisnya. Keputusannya sudah bulat bahwa mengangkat salah satu cucunya yakni Panca—adalah solusi terbaik demi kelangsungan perusahaan. Risiko yang akan dirinya hadapi akan jauh lebih besar memang, dengan membiarkan cucunya yang belum matang itu memimpin perusahaan yang sudah berdiri hingga tiga generasi tersebut. Namun, sekali lagi demi tetap mempertahankan eksistensi perusahaan serta menyingkirkan mereka-mereka yang memang ingin menghancurkan perusahaan, Lian Pradja terpaksa harus menumbalkan cucunya.  ***  “Saya rasa kita sudah sepakat bahwa CEO pengganti adalah Panca. Kita sudah melihat profil Panca selama tiga tahun di perusahaan. Bagaimana Panca membantu menyelesaikan masalah saat demo buruh—yang sebenarnya hanyalah ulah para pengacau yang hendak mengadu domba direksi dengan para pegawai. Mengembuskan isu bahwa perusahaan akan melakukan pembaharuan terhadap aturan kepegawaian.” Lian Pradja menghela napas dalam dan pelan, kemudian kembali melanjutkan penjelasannya. “Mampu mengendalikan tenaga kerja dan kembali mendapatkan kepercayaan oleh para tenaga kerja sangatlah tidak mudah, dan Panca mampu melakukannya. Panca turun langsung, berdiskusi, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Pernyataan pria yang sudah akan menginjak usia enam puluh tujuh tahun itu pun cukup membuat wajah beberapa peserta rapat terutama para petinggi perusahaan memerah. Malu! Karena mereka kalah gesit dengan seorang pemuda yang baru saja bekerja di perusahaan tapi sudah peka dengan kondisi perusahaan. “Maka … tidak ada perlu lagi yang membuat kita harus berdebat, apakah Panca akan tetap menjadi CEO atau digantikan kandidat lain. Lagipula … kapasitas seseorang tidak dilihat dari usianya, selama dia mampu menghadapi tekanan dan memecahkan masalah maka dia layak menjadi pemimpin.” Lian Pradja segera berdiri dari kursinya setelah menutup rapat, dan berlalu dari ruang rapat yang cukup membuatnya sesak. Ia tahu bahwa tak ada kata mundur, segalanya harus dipertaruhkan. Satu minggu lagi cucunya—Panca—akan segera dilantik secara resmi menjadi CEO. Ia hanya berharap cucunya itu akan mampu menghadapi badai yang sudah pasti akan datang saat memimpin perusahaan. Perusahaan keluarga yang dulunya hanya bernama Tahu Yin Pradja atau masyarakat kota Bandung mengenalnya sebagai Tahu Yin Pi—nama generasi pertama keluarga Pradja yang mengawali usaha pembuatan makanan berbahan dasar kedelai tersebut. Hingga generasi kedua ‘Tahu Yin Pi’ masih berbentuk sebagai home industry. Dari tangan dingin Lian Pradja-lah Tahu Yin Pi semakin dikenal dan besar hingga berkembang menjadi perusahaan yang bersaing di pasar saham, melemparkan kepemilikan tidak hanya pada anggota keluarga tapi juga pada publik. Melebarkan sayapnya dengan tetap mempertahankan merek ‘Tahu Yin Pi’ sebagai produk utama. Namun, Lian Pradja berinovasi dengan berbagai produk berbahan dasar kedelai dan olahan dari Tahu berbagai aneka varian rasa. Tidak hanya itu saja, Lian juga mulai concern dengan produk-produk makanan frozen food yang pada saat itu belum banyak diproduksi di Indonesia, oleh karena itu PT Boga Rasa yang didirikannya merupakan salah satu pelopor produk frozen food. Berkat Lian-lah indurstri rumahan kecil berkembang hingga menjadi sebuah perusahaan multinasional. Salah satu komitmen yang tetap Lian pegang adalah tidak akan melakukan PHK karyawan kecuali karyawan tersebut melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan dan tindakan yang tidak disiplin. Agar prinsip ini tetap berjalan Lian membutuhkan pemimpin yang peka dan empati terhadap karyawan. Dan, orang yang tepat adalah cucunya—Panca. Seiring waktu yang terus berjalan, usia Lian Pradja pun mulai bertambah. Dirinya pun harus digantikan oleh seseorang yang mampu memimpin perusahaan. Namun, Lian pernah kehilangan seseorang yang sangat berpotensi memimpin perusahaan. Lian menyesal atas kesalahannya yang menyingkirkan orang tersebut. Biarlah itu menjadi luka masa lalu Lian, kini ia telah menemukan penggantinya yang tepat. *** Velia—nama yang tertera di layar ponselnya—isyarat notifikasi pesan dari sang kekasih. Velia : Sayang, udah terima makanan dari aku belum, kok, nggak ada chat dari kamu kalau udah nerima. Padahal babang drivernya udah konfirmasi, makanannya udah sampai ke resepsionis. Pesan Velia diakhiri dengan stiker wajah masam dan stiker menangis. Panca hanya tersenyum membacanya. Saat hendak jarinya bergerak mengetik, pintu ruangannya terbuka, menampilkan sosok tengil dari temannya yang luar biasa, bernama Baldin—sedang membawa goodie bag berwarna biru—yang sudah Panca ketahui kalau itu kiriman dari Velia. “Nih, makan siang dari pacar manja lo,” ucap Baldin dengan nada kurang bersahabat pada sahabatnya sendiri. Panca menata kotak makanan juga botol minuman yang Panca tahu adalah kesukaannya. Kemudian segera memotret dan mengirimkan hasil gambarnya pada sang kekasih. Panca : Thanks for this meal, honey. Tidak lupa Panca menyematkan stiker wajah sedang menyium. “Lo sama Velia serius?” tanya Baldin dengan nada yang cukup beda dari biasanya. Kali ini terdengar lebih tegas dan serius. Bukan ketus atau berkesan slengean seperti biasanya. Membuat Panca sedikit terkejut dan heran. “Kenapa emangnya?” “Ya gue pengen tahu, sampai sejauh mana lo mau berhubungan sama Velia.” “Ya, gue serius. Sejak gue pulang ke Indo, Velia, masih sama kayak dulu ‘kan. Ngebucinin gue.” “Perasaan lo gimana?” “Lo tahu ‘kan Bal, prinsip gue gimana?” Baldin mengangguk, masih mengingat jelas kata-kata dari sahabatnya itu. “Elo akan lebih memilih orang yang mencintai lo daripada orang yang lo cintai. Karena jelas bagi lo, orang yang mencintai lo nggak akan nyakitin lo.” “Exactly!” seru Panca sembari menjentikkan jarinya. Berbunyi cukup keras. “Dan gue tanya sekali lagi, lo cinta sama Velia?” “Gue nyaman.” “Cinta?” Baldin masih terus setia memberikan pertanyaan-pertanyaan dengan kesan ala socrates—menggiring seseorang untuk menemukan jawabannya sendiri dengan sikap kritis—Baldin masih menyangsikan perasaan Panca pada gadis bernama Velia itu. “Lo, kenapa, sih, interogasi gue kayak gini?” “Gue bukan menginterogasi, Ca. Gue cuma pengen tahu, ada atau pernah enggak elo merasa sesuatu atau seseorang memercik rasa penasaran lo, membuat jantung lo berdegup kencang, membuat perut lo seakan melilit ketika dekat dengan dia. Pernah enggak, sih, lo?” Panca berdiri kemudian berjalan ke arah Baldin dan tepat saat di dekat telinga kiri sahabatnya itu, Panca berbisik, “gue deg-degan dan ada yang berdiri tiap gue melumat bibir Velia dan meremas-remas.” Baldin memberikan tonjokan keras pada bahu kanan Panca cukup keras, kemudan Baldin berujar sarkas, “Astagfirullah, bibir anda bersih sekali. Telinga saya sampai berdengung.” Panca hanya tergelak akan ucapan Baldin. Sedangkan sahabatnya itu masih tidak menyerah dengan memberikan pertanyaan yang sama pada Panca. “Dan kalau suatu saat lo menemukan seseorang yang membuat lo seperti itu, dan itu bukan Velia, apa yang akan lo lakukan?” Panca yang tadi telah kembali duduk setelah menggoda Baldin, hanya menatap Baldin kemudian mengedikkan bahunya seraya berkata, “dunno.” Baldin hanya bisa mengumpat pelan atas jawaban Panca yang ‘bodo amat’. Dengan kesal, Baldin menancapkan dengan kuat sedotan besi yang ramah lingkungan itu pada es cendol dawet yang dibelinya dan menyedotnya dengan kuat. Dalam hati Baldin merutuk dan menyumpahi Panca, akan merasakan jatuh cinta hingga menjadi bucin lalu kehilangan. Dan saat itu terjadi, Baldin akan menertawakan nasib Panca yang sudah pasti akan mengenaskan itu.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD