sahabat

1154 Words
Alden diam di kelas. Kepala cowok itu menunduk memainkan game di ponselnya. Hari ini Alden tidak ke kantin, cowok itu malas mengantri. Sesekali mulut cowok itu menggigit roti di tangannya dengan pokus ke arah ponsel. Roti itu pemberian teman cewek sekelasnya tadi, dan Alden sungkan untuk menolaknya hingga akhirnya ia terima dan berakhir di dalam perut. Alden memang bukan cowok yang banyak tingkah. Ia tidak seperti cowok kebanyakan yang akan membuang barang pemberian dari pengagumnya seenak jidat, Alden masih memiliki hati. Dan itu membuat seluruh pengagumnya semakin mengaguminya saja. Alden mengangkat kepalanya saat mendengar suara petik gitar. Itu permainan gitar Septian—sahabat Alden selain Dewa juga Dio. Alden melirik sahabatnya satu per satu. Semua sedang asik pada kegiatannya. Khusus Dewa juga Dio yang duduk di atas meja mereka sedang berebut sendok pada bekal makanan yang berada di tengah-tengah mereka, entah di dapat dari mana bekal itu. Khusus Septian, sahabat yang satu nya itu sedang terpejam dengan permainan gitar di tangan. Pemandangan seperti biasa. Dan seperti biasa pula, pemandangan seperti ini menghangatkan Alden. Tanpa disadari mereka semua, Alden kembali menunduk dan tersenyum, bukan senyuman tengil yang sering cowok itu perlihatkan pada mereka. Namun, sebuah senyuman yang amat sangat tulus. “Kapten dulu dong yang makan! Gue kan yang minta ke Suri.” Suara Dewa terdengar memprotes. Cowok itu merebut sendok yang berada di tangan Dio, dan Dio secepat kilat menjauhkan sendok itu dari jangkauan Dewa. “Mau lo duluan kek. Gue kek. Tetap, aja Suri bawa bekal itu buat kita semua. Kita punya hak yang sama.” Dio menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya, dan Dewa hanya mendelik kesal. Ah Suri. Suri adalah cewek cupu teman sekelas mereka saat kelas sepuluh. Cewek itu setiap hari selalu membawa dua bekal, satu untuk dirinya dan satu untuk mereka. Jangan salah, Suri tidak dibully atau menaksir mereka, hanya saja cewek itu malas jika bekal makanannya terus dimakan oleh mereka semua. Hingga akhirnya cewek itu berinsiatif membuat bekal untuk mereka juga. Sekarang cewek itu sekelas dengan Septian, di kelas XI B. “Diem lo, playboy kampung!” Perang di mulai lagi, Dewa memang suka cari masalah. “Diem lo, kanjeng Dewa!” Dewa berseru heboh. “Tuh! Gue kanjeng Dewa, Dewa mah dipuja.” Dewa menepuk d**a bangga. “Gue direbutin cewek-cewek.” Dio membalas dengan malas. Dewa jika mengajak ribut kayak anak TK. “Najis temsek!” Seketika mereka semua tertawa—kecuali Dio. Alden mematikan ponselnya, namun sedetik kemudian Alden mengaduh saat sebuah pensil terlempar tepat ke dahinya. Ujung runcing pensil itu sedikit melukai dahinya hingga saat Alden mengusapnya ada sedikit darah di sana. Septian dan Dewa juga berhenti tertawa. Mereka semua melirik bingung pada sang pelaku. Di depan sana Sefrin tengah menatap berang pada Alden yang masih meringis. “Pensil hina lo ketingalan.” Teriak Sefrin, cewek itu menyeringai saat matanya menatap Alden yang tengah meringis dengan sebuah mahakarya buatannya di dahi cowok itu. Sefrin itu keluar dari kelas dengan Aleta yang terus melotot ke arahnya. Hati nya sedikit puas melihat Alden meringis kesakitan. Meskipun Aleta terus mengomel dengan tingkah lakunya tadi. Di kelas Septian berdehem, cowok itu meninggalkan gitarnya di meja dan duduk di samping Alden. Dewa dan Dio masih terpaku di tempat. “Lho kok?” “Pensil gue ketinggalan.” Alden mengambil pensil di bawah kakinya, pensil ini memang miliknya. Seolah tersadar Dewa melotot. “Sep!!! Tadi Alden sebangku sama Sefrin.” Dewa berseru heboh, cowok itu turun dari meja dan duduk di kursi menghadap Septian. Raut wajah Septian sedikit berubah. “Wah, serius lo?!” “Dua rius gue!” Dewa mengangkat dua jari nya. Dio ikut turun dan mengambil posisi di depan Alden, Dio memandang Alden, cowok itu hanya diam. Memang bukan rahasia lagi jika Sefrin menjadi salah-satu cewek incaran satu sekolah. Dan juga berbeda dengan Dio, Dewa, atau cowok lainnya yang memang menyukai Sefrin karena fisiknya, Septian memang benar-benar serius menyukai Sefrin dari sejak pertama masuk. Cowok itu jatuh cinta pada Sefrin. “Aneh ya? di saat lo ngotot pengen sekelas sama Sefrin eh—malah gak sekelas. Itu mungkin namanya takdir Sep, mungkin Sefrin memang jodoh gue.” Dewa tertawa renyah mengabikan wajah kesal Septian. “Atau mungkin, Sefrin malah jadi jodoh Alden. Ya gak?” Dio memukul punggul Dewa. “Mulut lo ya!” setidaknya Dio sedikit lebih waras dari Dewa, karena Septian benar-benar sensitif jika menyangkut Sefrin. Dewa mendesis. “Apaan?! Gue Cuma mengungkapkan isi hati gue, karena di hari pertama kita masuk Sefrin sama Alden udah kayak ada masalah aja. Gak mungkin kan Sefrin tadi tiba-tiba gitu, ada asap pasti ada api lah.” Kata-kata Dewa sukses membuat Alden tersedak ludahnya sendiri. Dewa jika berbicara memang suka ngasal, tapi kali ini tepat sasaran. “Yah, kalo Alden sama Sefrin saling suka gue ngalah aja.” Septian merangkul Alden. “Toh, Alden sahabat gue.” Raut wajah Alden berubah datar, ia terlihat malas menanggapi ocehan ketiga sahabatnya. Terserah mereka mau berbicara apa, pikir Alden. “Gue udah gila kalo mau sama si Sefrin.” Alden berbicara tanpa intonasi yang berarti. Mereka melongo. Alden itu terbilang cowok yang tenang, namun, sekali berbicara memang sering menyakitkan. Dewa merasa puas. “Iya benar. Pamali halangin cinta orang. Meskipun, gue yakin Sefrin pastinya mau sama gue. Dan, lo Alden jangan sembarangan ngomong ntar malah lo yang kecantol.” Dio tidak terima, gelar playboy nya kalah oleh Dewa. “Ngimpi banget lo wajah pas-pasan juga.” Dewa memang tidak akan mengalah. “Gak papa yang penting gue lebih cakep dari lo temsek.” “Gue gak temsek! Gue gak item dan gak pesek.” Lagi-lagi Dewa selalu mengejeknya, padahal kulit Dio tidak hitam tapi kuning langsat, hidung nya juga tidak pesek. Tapi memang dasar Dewa yang hiperbolis. “Tapi, lo lebih item dan lebih pesek dari pada gue.” Dio berdiri. “Ngajak berantem lo?!” “Hehe... Gue becanda.” Dewa meringis, cowok itu tertawa canggung. Di hanya becanda, Dio terlalu bawa perasaan. “Dasar bocah.” Alden dan Septian hanya tertawa-tawa kecil. Dio dan Dewa jika bersama memang sering bertengkar dan saling ejek, dan itu menjadi salah-satu hiburan untuk mereka. Septian melihat Alden dengan ekor matanya. Ia berbisik pelan sebisa mungkin agar suaranya tidak terdengar oleh dua makhluk i***t yang sedang bertengkar itu. “Gimana jadi?” Mengerti maksud Septian Alden mengaguk. “Jadi lah.” “Jam sepuluh.” “Hmm.” Sahut Alden. Septian mengulas senyum tipis khasnya. Cowok itu kembali menonton pertengkaran Dewa juga Dio yang tidak ada habisnya. Aneh sebenarnya karena biasanya Alden akan ikut dengan mereka berbuat onar, namun kali ini Alden hanya diam. Mungkin Alden sedang ada masalah, pikirnya. Memang di banding kedua temannya, Alden jauh lebih normal dibanding mereka berdua dan itu membuat Septian senang setidaknya di antara mereka semua ada yang normal dan tidak semuanya berkelakuan aneh seperti Dewa juga Dio. Bagi Septian, memiliki teman-teman berisik itu terlalu merepotkan. Tapi, tidak ada hiburan yang lebih baik dari mendengarkan setiap celotehan mereka. Karena itu, ia memilih memainkan peran sebagai pendengar yang baik. “Ngapa lo senyum-senyum sendiri, Nyet? Gak waras?!” Septian menepuk dahinya, baru saja Septian berpikir bahwa Alden banyak diam hari ini. namun rupanya, sekarang temannya itu malah mengejeknya dengan seringaian dibibir. Cowok saling menghina karena bercanda. Sedangkan cewek saling memuji hanya karena sekedar basa-basi. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD