10. Kuda Peliharaan Aeradale

2166 Words
Arcaviel tiba-tiba merasa telanjang saat netra sehitam jelaga itu tertuju kepada leher polosnya. Gurat arogansi Raja Aeradale secara kilat berganti dingin. Pria berdarah biru itu beranjak dari depan pintu ruang kerjanya dengan langkah besar. Ia terlalu cepat sampai Arcaviel memundurkan sedikit dari tubuhnya secara impulsif. Sadar tindakan gadis itu agak menyinggung hati Reeval, Arcaviel berhenti. Dua telapak tangan besar Reeval menjamah pinggangnya, sama cepat dengan transisi gurat pria itu tadi. Arcaviel tersentak atas sentuhannya. Reeval enggan menghiraukan, alih-alih memutar tubuh Putri Aeradale untuk memunggungi dirinya. Kemudian, Reeval menarik tangannya kembali ke sisi pria itu, tidak lagi menyentuh tubuh mungil Arcaviel. “Reeve?” gumam Arcaviel, tanpa menoleh pada raja itu. Yang dipanggil bergeming. Netra hitam jelaganya terfokus pada satu titik—area vital yang kerap menggugah cairan tubuhnya naik. Tersadar dari pikiran rusaknya, Reeval menekan semua itu dalam-dalam dan beralih muka dari tengkuk Arcaviel. Ia sepintas lalu mendapati raut bingung si pelayan Aeradale, sama sekali tidak acuh. Baru setelahnya, Reeval meraih ikatan sanggulan Arcaviel. Putri Aeradale terkejut bukan main. Ia belum siap menerima tarikan ikatan sanggulannya dari belakang. Kepala dan tubuh Arcaviel otomatis terhuyung mundur sebelum satu tangan Reeval menahan pundaknya. “Maaf, sepertinya aku terlalu kasar,” bisik pria itu, tepat di samping telinganya, mengaktifkan reseptor Arcaviel sehingga roma halus bagian tengkuknya berdiri. “Bukan masalah,” sahut Arcaviel, cepat. “Jangan menggelungkan suraimu di sembarangan tempat.” Reeval mengatupkan gigi. Ia menjadi kesal lagi begitu teringat suara-suara siluetnya. Bagaimana tidak, mereka mengekspos perbincangan antarkesatria tentang keelokan Putri Aeradale—dari atas kepala hingga bawah kaki. Itu membuat Reeval ingin marah, atau jika bisa, memecat mereka sekalian. Tetapi, Reeval tidak ingin bertindak gegabah. Hanya segelintir bawahannya yang tahu bila bangunan berparit ini mempunyai banyak kuping. Kelakuan mereka akan direkam oleh mana Reeval, bertujuan supaya tidak ada pengkhianat atau aksi b***t orang lain yang berpotensi mengusik kerajaan inti Aeradale. Selama tindakan mereka masih bisa ditoleransi, Reeval tidak akan melakukan apa-apa. Namun, tetap saja, Raja Aeradale sangat tahu tentang pandangan kesatria pria terhadap adiknya. Menjadi kesatria berarti mereka perlu bertolak dari sang kekasih atas abdinya. Para kesatria bujangan perlu membiasakan diri untuk hidup tanpa wanita—kecuali kesatria yang sudah berkeluarga. Biasanya, untuk kesatria yang sudah keluar dari status bujang, akan diberikan dua opsi: keluarganya dipersilakan tinggal di dalam kastel sebagai pengganti upeti atau mendapatkan upeti saja yang jumlahnya memang cukup besar. Opsi mana pun tetap saja sama, sebetulnya. Betapa padat jadwal latihan para kesatria. Menemui keluarga kecil mereka merupakan hal yang jarang dan hampir mustahil, terlebih atap mereka berbeda. Kesatria wajib tinggal di barak, sedangkan para istri dan anak tinggal di sayap lain dari kastel. Maka dari itu, tanpa Reeval perlu menduga pun, mau kesatria bujang atau yang sudah beristri, kehadiran Arcaviel akan membuat mereka lupa diri. Helaan napas lolos dari bibir Reeval. Jemari kukuhnya mulai menyugar surai cokelat pirang sang adik yang sudah terjuntai manis di punggung Arcaviel. Pria itu menyortir sedikit helaian sisi kanan dan kiri surai adiknya, kemudian mengetengahkan kedua sisi tersebut. Ia segera memilin ikatan di sana, tampak sudah terbiasa menata surai lawan jenisnya. “Begini saja lebih baik,” bisik Reeval, mengedepankan surai cokelat pirang Arcaviel dari punggungnya untuk menghalau leher polos sang adik terekspos. Arcaviel menegang. Ia dapat merasakan ruas-ruas jemari Reeval tanpa sengaja menyentuh kulit lehernya. Rona merah sedikit timbul di pipi gadis itu, bersamaan dengan perasaan merinding. Sentuhan di tengkuk merupakan salah satu kelemahannya, atau mungkin kelemahan semua wanita—bisa Arcaviel lihat juga, Sahara tergugah untuk ikut mengusap tengkuknya. Manik biru Arcaviel memancang kosong ke lorong kastel. “T-Terima kasih,” gumam si Putri Aeradale, suaranya terdengar pecah. Ia bahkan tidak bisa fokus dengan suaranya sendiri. Diangkatnya jemari Arcaviel menuju hasil ikatan Reeval, sedikit kagum dengan ketelatenan pria itu yang agaknya berada di luar dugaan. Ini rapi sekali, sepertinya Reeve sudah terbiasa menata rambut wanita. Arcaviel berbalik untuk menatap sang kakak. “Aku suka ini,” akunya, menerbitkan keterkejutan dari raja di hadapannya. Reeval mengangkat sedikit sudut bibirnya, kemudian menoleh kepada Sahara. “Lain kali, kau pastikan Putri tidak mengatur surainya dengan gelungan lagi,” titah pria itu. “B-Baik, Yang Mulia.” “Aku tinggal dulu,” Reeval menepuk puncak kepala Arcaviel satu kali, “jaga dirimu—dan jangan terlalu baik dengan kesatria-kesatria itu.” Amanat tersebut begitu membingungkan. Arcaviel berniat untuk menanyakan alasan, namun ia urung bertanya lebih jauh saat Raja Aeradale telah memunggungi mereka. Atensi Arcaviel dan Sahara sama-sama masih kepada Reeval. Sahara setengah membungkuk, sedangkan Arcaviel memfokuskan indra penglihat ke depan. Atensi keduanya baru terpecah ketika pria itu berbelok masuk ke ruang kerjanya. “Putri,” Sahara mengangkat suara paling pertama, “mari kita pergi.” Arcaviel mengangguk sekali, baru berbalik untuk meneruskan langkah tertunda mereka. “Hm, apa hanya aku yang merasakan permasalahan ini hanya sepele, namun dibesar-besarkan oleh Rajamu?” tanyanya, ketika seorang pun tidak ada yang membuka suara kembali. “Kenapa Reeve seperti itu?” “Entahlah, Putri.” Gurat kebingungan juga terpatri jelas di paras manis Sahara. “Saya rasa ini ada kaitannya dengan kunjungan kita ke barak. Anda tahu, tempat singgah para kesatria dan … hm, bagaimana cara saya menjelaskannya, ya?” “He-em, kenapa? Katakan saja,” tutur Arcaviel. Rona merah kembali terbit di kedua pipi Sahara. Mengapa pelayan manis di sampingnya ini sering kali merona? “J-Jadi, atas abdi mereka sebagai kesatria Aeradale, mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis—y-yah, semacam itu.” Arcaviel ingin ternganga. Ia mencegah rahangnya terbuka dengan mengulum bibir. Atmosfer seketika menjadi lebih dingin dan kikuk. Ia salah karena sudah meminta Sahara untuk menjelaskan lebih jauh. Melihat Sahara begitu malu, Arcaviel jadi merasa bersalah. Jika ia berada di posisi Sahara, sudah pasti ia akan segan juga untuk menguraikan hal ini. Lagi pula, berapa usia Sahara? Empat belas? Lima belas? Entahlah, pasti lebih muda dari Arcaviel. “Ah, begitu.” Arcaviel tertawa terputus-putus. Ia kini tahu maksud dari sikap berlebihan Reeval. Mengekspos leher jenjangnya berarti mengundang. Pria mana yang akan tahan, terutama mereka yang tidak pernah memuaskan dahaga? Kakaknya itu betul-betul menjaga Arcaviel. “Omong-omong, berapa usiamu?” “Enam belas,” Sahara menjeda sejenak, “tahun ini tujuh belas, Putri.” Arcaviel mendelik dalam diam. Ia bahkan terlihat jauh lebih muda! “Kita hanya berbeda satu tahun,” manik biru Arcaviel mengilat antusias, kelopaknya terlihat lebih sipit saat senyum merekah cerah di bibir ranumnya, “dan kau hanya berbeda empat tahun dari Raja. Itu artinya ... kau tahu maksudku, Sahara.” “Jangan katakan itu, Putri.” Sahara kentara salah tingkah. Gelagatnya yang tiba-tiba tidak bisa diam saat menuruni undakan membuat Arcaviel tertawa. “Jika terdengar sampai ke telinga Lady Hala, bisa-bisa dia kesetanan.” Gurat tawa Arcaviel memudar, tergantikan oleh air muka keheranan. “Siapa Lady Hala?” “Tahala Aristide, putri dari pasangan Duke dan Duchess Aristide,” asa di dalam sepasang netra bulat Sahara sirna, tergantikan dengan nyala api kemarahan, “calon tunangan Yang Mulia.” * Arcaviel kembali di sini, istal tempat para kuda terparkir. Manik birunya jelalatan mencari kuda putih bersurai lebat yang ia temui saat malam pertama dirinya diringkus oleh para kesatria. Dan setelah drama penyusup itu, Reeval memikul tubuhnya seperti karung beras melintasi istal. Arcaviel tertarik dengan salah satu kuda, tetapi ia tidak menemukannya selain kuda-kuda berwarna senada—rata-rata cokelat. Kuda tunggangan para kesatria, pikir Arcaviel. Ia tidak mungkin lupa dengan hewan yang turut mengepungnya malam itu. Arcaviel memandang sejenak kuda cokelat di depannya. Dua manik hitam sebesar kelereng tersebut mengejap. Bulu matanya, meski tidak selentik si kuda putih, menyapu halus jemari Arcaviel yang terangkat di udara, seakan-akan ia ingin Arcaviel mengelusnya. Arcaviel tersenyum, ia gemas bukan main. Segera saja kedua telapak tangannya meraup moncong si kuda cokelat, mengusap tanpa henti sampai hewan itu meringkik senang. Sahara juga melakukan tindakan serupa ke kuda cokelat lain. Hewan berkaki empat itu sepertinya juga sangat menikmati sentuhan Sahara, terlihat dari bagaimana kudanya merapatkan netra. “Sahara, apa kau tahu tentang satu-satunya kuda putih di istal ini?” Ada suara dengus, berasal dari kuda di depan Sahara. Si kuda kentara tidak suka begitu tangan Sahara meninggalkan moncongnya. “Oh, kuda putih yang surainya lebih lebat, Putri? Dia peliharaan Yang Mulia,” balas Sahara, menggulirkan netra ke arah lain, menandakan ia sedang berpikir. “Namanya siapa, ya? Saya agak lu—” “Hugen, Nona Pelayan.” Suara lain merebak di antara kedua gadis itu, lebih serak dan berat. Arcaviel lekas melongok ke balik pundak. Dua manik birunya mengilat antusias begitu tatapannya jatuh kepada seekor kuda putih bersurai lebat—kuda yang sama dengan malam itu. Namun, air mukanya berganti bingung ketika ia mendapati seorang pria paruh baya bertubuh tambun di samping si kuda. “Salam Hormat, Putri Arcaviel.” Pria paruh baya itu menyilangkan satu lengan ke d**a, kemudian membungkuk hampir sembilan puluh derajat. “Saya Battista Taylan, penjaga istal kerajaan.” “Ah ya, salam kenal, Tuan Taylan.” Arcaviel mengangguk sekali, tetapi kebingungan saat Battista tidak kunjung menegakkan punggung. Takut pria paruh baya itu akan mengalami sakit pinggang, Arcaviel cepat-cepat berkata, “Berdiri kembali, Tuan. Jangan seformal itu dengan saya.” Battista baru menegakkan tubuh tambunnya. Arcaviel menghela napas lega. Astaga, ia tidak akan terbiasa dengan kehormatan ini. Pernah menjadi kembang desa Silkvale, Arcaviel sebagai Amorette mungkin terbiasa melihat orang lain memujanya. Rata-rata pria sepantar, sedikit di atasnya, atau bahkan di bawahnya. Tetapi, Arcaviel merasa terganggu dengan bagaimana ia menerima penghormatan dari kesatria-kesatria, para pelayan, maupun pria paruh baya penjaga istal ini. “Bagaimana kabar Anda, Putri?” Battista menginspeksi Arcaviel dengan kilat ramah-tamah di netranya. “Apakah Anda menyukai kondisi kerajaan Anda saat ini?” “Kabar saya sangat baik. Ah, tentu saja saya menyukai kondisi kerajaan.” Arcaviel tersenyum manis dan menujukan pandangan kepada si kuda putih. “Apalagi saya bisa menatap langsung kuda putih ini kembali.” “Hugen niscaya senang melihat Anda,” Battista menepuk leher hewan itu yang terlihat berisi, “benar, kan, Hugen?” “Gagah sekali namanya, Tuan.” Arcaviel bahkan tidak repot-repot menyembunyikan pukauan terhadap Hugen, si kuda putih peliharaan Raja Aeradale. “Jadi, ia jantan?” “Tidak, Hugen betina.” Battista tertawa. “Jangan terkejut. Nama kuda ini boleh saja jantan, tetapi sikapnya terlalu elegan.” “Yang Mulia Lanford menjadikan kuda betina sebagai tunggangan?” Sahara turut melontarkan suara, mengisi perbincangan keduanya. Ah, Arcaviel bahkan hampir melupakan keberadaan pelayan Aeradale itu. Diam-diam, Arcaviel berterima kasih karena sudah mewakili pertanyaannya dalam hati. “Apa Hugen cukup tangguh?” tanya si Putri Aeradale, mengimbuh pertanyaan dari Sahara. Mereka sama-sama tidak habis pikir. “Terkadang, kita tidak bisa melihat kekuatan seseorang dari sampulnya.” Battista memandang Hugen dengan teduh. “Begitu juga Hugen. Hugen turut andil saat aksi penjarahan di desa beberapa bulan silam, tahu. Kaki belakangnya sempat patah sedikit lantaran sempat tergelincir, tetapi ia berhasil tumbuh semakin gagah.” Arcaviel terkesima. Ia mendatangi kuda itu, mengusap moncongnya. Hugen menundukkan leher untuk menyetarakan wajahnya dengan Arcaviel. “Kau hebat,” pujinya, direspons ringkik bahagia—seolah-olah hewan itu tahu bila Arcaviel tengah memujinya. “Astaga, kau juga pintar!” Battista tertawa untuk kali sekian. Ramah sekali pria tambun itu. “Jika tidak pintar, Yang Mulia dan Anda tidak mungkin memilihnya.” “Eh, aku?” “Anda belum ingat.” Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Arcaviel memiringkan kepala, menanti pria paruh baya itu kembali berbicara, “Hugen juga milik Anda, Putri. Bahkan dari awal sekali.” Arcaviel menatap lurus manik bulat sebesar kelereng milik Hugen. Setelah ia amati, ada sedikit sinar kerinduan di dalam jelaganya. Arcaviel lekas memeluk moncong Hugen. Peliharaannya meringkik sekali lagi, menggoyangkan moncongnya agar bisa mengusap pipi sang majikan. Selagi mendekapnya, jemari Arcaviel mengusap surai putih lebat hewan itu. “Terima kasih sudah merawatnya dengan sangat baik, Tuan Taylan.” “Sama-sama, Putri.” Battista kentara bangga dengan dirinya sendiri lantaran ia sudah menyenangi atasannya. “Hugen sudah selesai saya mandikan. Bila Anda ingin membawanya pergi, silakan saja.” “Ah, baiklah.” Arcaviel melirik Sahara yang mengangguk antusias, setuju untuk mengusung Hugen dalam eksplorasi mereka. “Kebetulan kami ingin pergi melihat-lihat kastel pada bagian lain. Bersama Hugen sepertinya tidak buruk juga. Benar, kan, Sahara?” “Benar, Putri.” Sahara mengacungkan ibu jarinya. “Kalau begitu, saya pamit terlebih dahulu untuk memandikan kuda-kuda lain, Putri.” Battista menujukan pandangan ke arah Sahara, kemudian beralih lagi menuju Arcaviel. “Semoga kebahagiaan selalu menyertai Anda.” Battista menarik tuas pada salah satu istal, mengeluarkan seekor kuda cokelat lain dari sana. Seperginya pria paruh baya itu dengan si kuda, Arcaviel dan Sahara secara serentak menoleh pada satu sama lain. Dari sorot keduanya, sepertinya mereka punya beban pikiran yang sama. Baik Arcaviel maupun Sahara lantas beralih muka—memandang Hugen yang meringkik antusias, seolah-olah ingin cepat ditunggang oleh majikannya. Arcaviel melirik pelayannya di samping. “Hm, Sahara, kau bisa menunggang kuda?” “T-Tidak, Putri.” Gelagat Sahara menjadi lebih kikuk, kentara tidak mempunyai pengalaman sama sekali di bidang sana. “Bagaimana dengan Anda?” Arcaviel seketika ingin memerosotkan pundak. “Sama, aku juga tidak,” akunya, canggung. Dan suara ringkik tak sabar Hugen kembali merobek senyap.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD